Oleh: Indriya
Rusman
Dosen
FAI UIKA Bogor
Pandangan Al-Qur’an mengenai manusia sebagai khalifah memiliki tugas
mulia dan misi besar untuk di jalankan di muka bumi, sebagaimana dikemukakan
dengan jelas di dalam beberapa ayat Al-Qur’an, salah satunya di dalam QS.
Az-Zariyat (51) ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ
اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Artinya:
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
agar mereka beribadah kepada-Ku”.
Berdasarkan hal ini-lah bertafakkur tentunya menjadi salah satu ciri
penting, bukan saja yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya, tetapi juga
menjadi salah satu prasyarat melaksanakan peran penting sebagai khalifah, untuk
mengemban pembangunan peradaban sekaligus pembawa visi misi di muka bumi. Dalam
istilah Arab, tafakkur artinya berpikir. Menurut Al-Fairuzabadi, salah seorang
linguis Muslim awal terkemuka, al-fikr
(pikiran) adalah refleksi atas sesuatu: afkar adalah bentuk jamaknya. Menurut
pandangannya, fikr dan tafakkur adalah sinonim dan keduanya memiliki
makna sama.
Menurut Profesor Malik Badri, seorang psikolog Muslim kontemporer,
menjelaskan perbedaan antara tafkir
dan tafakkur. Tafakkur lebih dalam
dan lebih luas ketimbang tafkir. Tafakkur menjembatani persepsi dan
konsepsi dari kehidupan dunia ini ke akhirat dan dari makhluk ke Penciptanya,
Allah Swt. Perantaraan ini dikenal dengan i’tibar.
Jadi, tafkir bisa jadi terbatas pada
pemecahan masalah hidup kita saat ini yang tak melibatkan emosi, namun, tafakkur melampaui hidup ini ke wilayah
lebih luas, akhirat, dan melampaui kedangkalan materialisme menuju horizon
lebih dalam, “ruh”, dan dengan demikian tafakkur
memotivasi seluruh aktivitas eksternal dan internal kaum muslim.[1] Di
dalam Al-Qur’an terdapat 18 kali yang mengulang-ulang mengenai taffakur, salah satunya Allah Swt
menyampaikan FirmanNYA di dalam QS. A-Nahl (16) ayat 11:
يُنْۢبِتُ لَكُمْ بِهِ الزَّرْعَ
وَالزَّيْتُوْنَ وَالنَّخِيْلَ وَالْاَعْنَابَ وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرٰتِۗ
اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
Artinya:
“Dengan (air hujan) itu Dia menumbuhkan untuk kamu
tanam-tanaman, zaitun, kurma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sungguh,
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang
yang berpikir.
Sedangkan pengertian Pendidikan Islam menurut Muhaimin dapat dipahami
dalam beberapa perspektif, yaitu:
- Pendidikan menurut Islam, atau pendidikan yang berdasarkan Islam dan sistem pendidikan yang Islami, yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan serta disusun dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu Al-quran dan Al-sunnah/hadits. Dalam pengertian yang pertama ini, pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang mendasarkan diri atau dibangun dan dikembangkan dari sumber-sumber dasar tersebut.
- Pendidikan ke-Islaman atau pendidikan agama Islam, yakni upaya mendidikan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi way of life (pandangan dan sikap hidup) seseorang. Dalam pengertian yang kedua ini dapat berwujud (a) segenap kegiatan yang dilakukan seseorang dalam membantu seorang atau sekelompok peserta didik dalam menanamkan dan menumbuh kembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai pandangan hidupnya, yang diwujudkan dalam sikap hidup dan dikembangkan dalam keterampilan hidupnya sehari-hari; (b) segenap fenomena atau peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah tertanamnya and tumbuh kembangnya ajaran Islam dan nilai-nilainya pada salah satu atau beberapa pihak.
- Pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam. Dalam arti proses bertumbuh kembangnya Islam dan umatnya, baik islam sebagai agama, ajaran maupun sistem budaya dan peradaban, sejak zaman Nabi Muhammad Saw sampai sekarang. Jadi dalam pengertian yang ketiga ini istilah “pendidikan Islam” dapat dipahami sebagai proses pembudayaan dan pewarisan ajaran agama, budaya dan peradaban umat Islam dari generasi ke generasi sepanjang sejarahnya.[2]
Pendidikan
Islam menurut Ahmad
Tafsir berpendapat bahwa pendidikan agama Islam adalah bimbingan yang diberikan
seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal seusia dengan
ajaran Islam.[3]
Sedangkan menurut Ibn Khaldun di dalam buku Mukadimmah mempunyai pengertian yang cukup luas. Pendidikan bukan
hanya merupakan proses belajar mengajar yang dibatasi oleh empat dinding,
tetapi pendidikan adalah suatu proses, dimana manusia secara sadar menangkap,
menyerap, dan menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman.[4]
Dari beberapa pengertian diatas
maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan
Islam adalah usaha-usaha dalam mendidikan Islam secara terencana melalui
pengalaman, pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan sehingga peserta didik
dapat mengenal, memahami, menghayati dan mengimani ajaran Islam.
Sebagai orang yang beriman dengan memahami pengertian taffakur dan pendidikan Islam di atas dalam menghadapi Coronavirus Covid-19, yang merupakan virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan Cina pada Desember 2019. Kita semua dapat bertafakkur juga dengan kisah yang pernah terjadi saat zaman kekhalifahan Umar bin Khattab, dimana pada zaman pemerintahan beliau ini pernah terjadi wabah yang bermula di daerah Awamas, sebuah kota sebelah barat Yerussalem, Palestina, sehingga dinamakan demikian.
Di dalam buku biografi Umar bin Khattab karya Muhammad Husein Haekal menjelaskan, wabah tersebut menjalar hingga ke Syam (Suriah), bahkan ke Irak. Diperkirakan kejadian wabah ini akhir 17 Hijriah, dan memicu kepanikan massal saat itu. Di dalam sebuah hadis yang di sampaikan Abdurrahman bin Auf mengenai sabda Nabi SAW: “Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian kalian di dalamnya, maka janganlah kalian lari keluar dari negeri itu.” (Muttafaqun ‘alaihi, HR. Bukhari & Muslim).
Pada akhirnya wabah tersebut
berhenti ketika sahabat Amr bin Ash ra memimpin Syam. Kecerdasan beliau-lah dan
dengan ijin Allah Swt yang menyelamatkan Syam. Amr bin Ash berkata: “Wahai
sekalian manusia, penyakit ini menyebar layaknya kobaran api. Maka hendaklah
berlindung dari penyakit ini ke bukit-bukit!”. Saat itu seluruh warga mengikuti
anjurannya. Amr bin Ash dan para pengungsi terus bertahan di dataran-dataran tinggi
hingga sebaran wabah Amawas mereda dan hilang sama sekali.
Dari kisah di atas kita semua
dapat belajar dari orang-orang terbaik bersikap, dan juga yang telah di
contohkan oleh Rasulullah Saw. Apa yang dapat kita ambil ibrah atau
pembelajarannya adalah:
Pertama, karantina sebagaimana sabda
Rasulullah SAW diatas, itulah konsep karantina yang hari ini kita kenal.
Mengisolasi daerah yang terkena wabah, adalah sebuah tindakan yang tepat. Kita
bisa melihat dari sebuah tabel dibawah ini, bersumber dari harian Washington
Post.
Keterangan bebasnya dapat
diartikan sebagai berikut, searah jarum jam:
1. Orang bergerak bebas, dimana
orang menularkan corona secara bersamaan.
2. Kurva kedua dilakukan
lockdown, sehingga ada waktu untuk bisa melakukan penyembuhan secara bertahap.
3. Kurva ketiga dilakukan “social
distancing”, dengan berdiam diri di rumah dan mengurangi berbagai kegiatan
sementara waktu.
4. Kurva keempat dilakukan dengan
sangat extreme, dengan melakukan jam malam dan sangat ketat, untuk tidak keluar
rumah bahkan diberikan jam waktu.
Kedua, bersabar.
Di dalam sebuah hadis riwayat
Imam Bukhari diceritakan, suatu kali Aisyah bertanya kepada Nabi SAW tentang
wabah penyakit. Rasulullah SAW bersabda, “Wabah penyakit itu adalah orang-orang
yang DIA kehendaki. Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang yang
beriman. Jika terjadi suatu wabah penyakit, ada orang yang menetap di
negerinya, ia bersabar, hanya berharap balasan dari Allah Swt. Ia yakin tidak
ada peristiwa yang terjadi kecuali sudah ditetapkan Allah. Maka, ia mendapat
balasan seperti mati syahid.”
Ketiga, berbaik sangka dan
berikhtiarlah.
Karena Rasulullah SAW bersabda:
Tidaklah Allah SWT menurunkan
suatu penyakit kecuali Dia juga yang menurunkan penawarnya. (HR. Bukhari).
Dalam kisah Umar bin Khattab
berikhtiar menghindarinya, serta Amr bin Ash berikhtiar menghapusnya. Istilah
saat ini dan sedang kita lakukan adalah melakukan “social distancing”, dilansir
dari The Atlantic, tindakan yang bertujuan untuk mencegah orang sakit melakukan
kontak dalam jarak dekat dengan orang lain untuk mengurangi peluang penularan
virus. Artinya juga sementara waktu menjauhi perkumpulan, menghindari pertemuan
massal, dan menajga jarak antar manusia.
Keempat, banyak berdoalah.
Perbanyak do’a-do’a keselamatan,
salah satu contohnya yang sudah diajarkan Rasulullah Saw untuk di lafadzkan di
setiap pagi dan sore berikut ini:
“Bismillahilladzi laa yadhurru maasmihi, say’un fil ardhi walafissamaai
wahuwa samiul’alim”.
Artinya:
“Dengan nama Allah yang apabila
disebut, segala sesuatu dibumi dan langit tidak berbahaya. Dialah maha
mendengar dan maha mengetahui).
Barang siapa yang membaca dzikir
tersebut 3x dipagi dan petang. Maka tidak akan ada bahaya yg memudharatkannya.
(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Berdasarkan pemahaman Spiritualism dan Rasionalism dapat dikatakan juga, seseorang yang memiliki tingkat
spiritual tinggi, maka akan memiliki hormon endorphin yang lebih banyak
dibandingkan dengan yang tingkat spiritual rendah. Mengapa bisa demikian?.
Walaupun belum ditemukan penelitian secara ilmiahnya, namun logikanya secara
sederhana bisa kita perhatikan pada orang yang jauh dari Allah Swt, biasanya
mudah mengalami stress, pada kondisi stress hormon yang bekerja adalah
adrenalin, norepinephrine dan kortisol. Hormon stress akan menyebabkan asam
lambung naik, sistem imun turun, sehinggag mudah terkena penyakit. Sebaliknya
pada oang-orang yang beriman dan tawakal, hormon oxytocin bekerja lebih baik,
sehingga akan menghasilkan endorphin yang tinggi yang menimbulkan kedamaian,
ketenangan sehingga sistem imun tubuh menjadi lebih kuat.
Terkait dengan wabah coronavirus
covid 19 ini, sebagai seorang mu’min, maka sebaiknya selain melakukan juga
ikhtiar karantina atau “social distancing” ini, maka tingkatkan juga spiritual
kita. Jika dapat bertafakkur lebih jauh, sebagai muslim semua wabah ini adalah
sebuah rahmatNYA, sebuah peringgatan bagi yang berpikir, untuk terus
menjadikannya sebagai wasilah atau jalan untuk terus banyak mendekatkan diri kepada
Allah Swt, sehingga ketika tingkat kepasrahan tinggi maka akan dirasakan
ketenangan dan dengan segala usaha dan do’a keselamatan juga kepada Allah Swt,
dengan selalu melibatkanNYA, dan berharap semua wabah ini akan berakhir, dan
dapat pula segera ditemukan penyebabnya, InShaAllah AamiinYRA.
Dialah
Allah Sang Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui.
[1] Jamal Badi, Mustapha Tajdin,
Islamic Creative Thingking, Mizan, Bandung: 2007
[2] Muhaimin, Pembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam
di Sekolah Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005
[3] Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan Islam, Bandung: Rosda,
2012
[4] Ibnu Khaldun, Mukaddimah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2014