Jakarta | Jurnal Inspirasi
Kementerian Hukum dan HAM menjadi sorotan setelah buronan terpidana kasus pengalihan hak tagih (cassie) Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra yang selama ini disebut tinggal di Papua Nugini sudah berada di Indonesia. Kemenkum HAM selaku pemegang data keimigrasian tidak mendeteksi kedatangannya.
Dikutip dari CNN, Kamis (2/7), kuasa hukum Djoko Tjandra,
Andi Putra Kusuma membeberkan bahwa kliennya sudah berada di Indonesia. Dia
mengaku bertemu dengan Djoko saat mendaftarkan permohonan Peninjauan Kembali di
PN Jakarta Selatan pada 8 Juni 2020. “Intinya kami bertemu dengan beliau
(Djoko Tjandra) tuh pada saat beliau sudah ada di Indonesia. Kita tidak ikut
mengatur atau mengurusi bagaimana masuk ke Indonesia,” kata Andi.
Sidang perdana Peninjauan Kembali yang diajukan Djoko
sudah digelar pada Senin lalu (29/6) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Djoko tidak hadir meski sudah berada di Indonesia sejak 8 Juni.
Andi mengatakan kliennya sakit dan mendapat surat sakit
dari klinik di Kuala Lumpur, Malaysia. Andi tidak merinci apa penyakit yang
diidap Djoko. Dia juga mengklaim tidak mengetahui apakah Djoko tinggal di
Malaysia atau di negara lain. “Atau tinggal di Kuala Lumpur juga enggak
ada (penjelasan lebih), cuma itu kliniknya di Kuala Lumpur,” kata Andi.
Terpisah, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan
pihaknya tidak mendeteksi kepulangan Djoko Tjandra ke Indonesia. Dia mengaku
tidak memperoleh data keimigrasian tentang hal itu.
Sebelumnya, Andi mengatakan telah bertemu Djoko pada 8
Juni. Namun Kejaksaan Agung malah menyebut ada kabar Djoko sudah berada di
Indonesia sejak 3 bulan lalu meski masih belum bisa dipastikan. “Dari mana
data bahwa dia tiga bulan di sini, tidak ada datanya kok. Di sistem kami tidak
ada, saya tidak tahu bagaimana caranya,” ujar Yasonna mengutip Antara,
Selasa (30/6).
Yasonna mengaku tidak tahu keberadaan Djoko yang telah
masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) selama bertahun-tahun itu. “Kemenkumham
tidak tahu sama sekali di mana. Makanya kemarin kan ada dibilang ditangkap,
kita heran juga. Jadi kami sudah cek sistem kami semuanya, tidak ada,”
kata Yasonna.
Kejaksaan Agung sendiri mengakui kebobolan. Intelijen
Kejagung tak berhasil menangkap Djoko Tjandra yang telah lama menjadi buronan. Jaksa
Agung ST Burhanuddin mengatakan Djoko Tjandra berada di Jakarta sejak 3 bulan
yang lalu. Namun, hingga kini belum berhasil diringkus. Termasuk ketika Djoko
mengajukan PK ke PN Jaksel pada 8 Juni. “Pada tanggal 8 Juni Djoko Tjandra
informasinya datang di Pengadilan Jakarta Selatan untuk mendaftarkan PK-nya.
Ini juga jujur ini kelemahan intelijen kami, tetapi itu yang ada,” kata
Burhanuddin pada 29 Juni lalu.
Burhanuddin pun mempertanyakan pencekalan pihak imigrasi
terhadap Djoko Tjandra. Menurutnya, Djoko Tjandra yang berstatus narapidana
seharusnya masih dalam status cekal dan tak bisa masuk Indonesia. “Kalau
ini sudah terpidana, seharusnya pencekalan ini terus-menerus dan berlaku sampai
ketangkap. Ini akan menjadi persoalan kami nanti dengan imigrasi,” ujarnya.
Pada Agustus tahun 2000, Djoko Tjandra dinyatakan bebas
dari segala tuntutan karena kasus Bank Bali bukan pidana, melainkan perdata.
Kejaksaan Agung lalu mengajukan kasasi. Kasasi ditolak pada 2001. Djoko Tjandra
dilepaskan dari segala tuntutan. Kemudian pada 2008, Kejaksaan Agung mengajukan
Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.
Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Arvin
Gumilang mengatakan pencegahan bepergian ke luar negeri dilakukan terhadap
Djoko atas permintaan KPK. Berlaku mulai 24 April 2008 hingga 6 bulan ke
depan.
Kemudian, red notice dari Interpol atas nama Joko
Soegiarto Tjandra terbit pada 10 Juli 2009. Pada 29 Maret 2012 terdapat
permintaan pencegahan ke luar negeri dari Kejaksaan Agung RI berlaku selama 6
bulan. Pada pada 12 Februari 2015 terdapat permintaan DPO dari Sekretaris
National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia terhadap Joko Soegiarto
Tjandra.
Ditjen Imigrasi lalu menerbitkan surat perihal DPO kepada
seluruh kantor imigrasi ditembuskan kepada Sekretaris NCB Interpol dan
Kementerian Luar Negeri. Pada 5 Mei 2020, terdapat pemberitahuan dari
Sekretaris NCB Interpol bahwa ‘red notice’ atas nama Joko Soegiarto Tjandra
telah terhapus dari sistem basis data terhitung sejak tahun 2014, karena tidak
ada permintaan lagi dari Kejaksaan Agung RI.
Ditjen Imigrasi menindaklanjuti hal tersebut dengan menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020. Pada 27 Juni 2020, terdapat permintaan DPO dari Kejaksaan Agung RI, sehingga nama yang bersangkutan dimasukkan dalam sistem perlintasan dengan status DPO. “Di samping kronologi di atas, perlu disampaikan juga bahwa atas nama Joko Soegiarto Tjandra alias Joe Chen tidak ditemukan dalam data perlintasan,” ujar Arvin.
ASS|*