Jakarta | Jurnal Inspirasi
Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menerapkan pembatasan sosial dalam skala besar dengan disertai dengan pemberian sanksi bagi yang melanggar. Bahkan bersiap menerapkan kebijakan darurat sipil guna menangani pandemi virus Corona (Covid-19) di Indonesia. Hal itu diungkapkannya saat rapat terbatas membahas laporan Gugus Tugas Penanganan Corona yang digelar lewat video conference, Senin (30/3).
“Saya minta kebijakan Pembatasan Sosial Berskala
Besar physical distancing dilakukan dengan lebih tegas lebih disiplin
dan lebih efektif lagi. Tadi sudah saya sampaikan, perlu didampingi adanya
kebijakan darurat sipil,” kata Jokowi di Istana Negara.
Juru bicara presiden, Fadjroel Rachman kemudian
menuliskan penjelasan dari pernyataan Jokowi mengenai kebijakan darurat sipil
tersebut. “Presiden Jokowi menetapkan tahapan baru melawan Covid-19 yaitu:
pembatasan sosial berskala besar dengan kekarantinaan kesehatan. Hanya jika
keadaan sangat memburuk dapat menuju Darurat Sipil,” kata Fadjroel dalam
keterangan tertulis, Senin (30/3).
Anggota Komisi Hukum DPR Nasir Djamil mengatakan rencana Presiden Jokowi yang ingin memberlakukan status darurat sipil dalam menghadapi pandemi virus Corona belum mendesak. Ide Jokowi ini, kata dia, justru menunjukkan pendekatan kekuasaan, bukan menggerakkan fungsi-fungsi organisasi.
“Apalagi belum bisa memastikan apakah semua kepala
daerah di Indonesia memiliki kapabilitas untuk menjadi penguasa darurat sipil daerah,”
kata Nasir.
Menurut politikus Partai Keadilan Sejahtera ini, situasi
darurat sipil berpotensi terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Ia
meminta Jokowi hati-hati dan jangan mudah menerima usulan agar memberlakukan
darurat sipil. Nasir menuturkan darurat sipil ini terkesan “menggoda”
karena penguasa sipil akan memiliki kekuasaan penuh. “Tapi di balik itu
darurat sipil menunjukkan bahwa penguasa sipil gagal mengatasi kondisi darurat
dengan instrumen yang ada,” ucap dia.
Ia menyarankan agar presiden dan para menteri serta para
kepala daerah seluruh memaksimalkan kewenangan yang telah diatur dalam
peraturan perundangan terkait menghadapi bencana. “Yang terjadi justru
para menteri seperti tidak tahu apa yang harus dikerjakan,” tuturnya.
Penolakan juga disuarakan lembaga swadaya masyarakat
(LSM) yang terdiri atas Elsam, Imparsial, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH
Pers, ICW, PBHI, PILNET Indonesia, dan KontraS. Mereka menilai status darurat
sipil saat ini tidak tepat karena tidak sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku.
Menurut mereka, pemerintah harus mengacu pada UU No
24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan. “Sebelum penetapan masa tanggap darurat nasional, semestinya
Presiden Joko Widodo melakukan penetapan status darurat bencana nasional (Pasal
51 ayat 2),” ungkap mereka dalam pernyataan pers, Senin (30/3).
Selain itu, koalisi LSM mendesak pemerintah untuk membuat
alur komando kendali (kodal) bencana yang lebih jelas. Mereka mengatakan, tidak
adanya pengaturan struktur kodal bencana dalam Keppres 9/2020 membuat
penanganan bencana Covid-19 berjalan secara parsial dan tidak terkoordinasi.
“Kodal ini harus langsung dipimpin oleh Presiden Joko Widodo,” tutur mereka.
Koalisi LSM menilai, pemerintah belum saatnya menerapkan
keadaan darurat militer dan darurat sipil. Seharusnya, pemerintah dapat
mengoptimalisasi penggunaan UU Kekarantinaan Kesehatan dan UU Penanggulangan
Bencana, yang masih dapat dilakukan pemerintah dalam penanganan wabah Covid-19.
Sementara Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menilai darurat kesehatan lebih dibutuhkan dalam menangani Covid-19 ketimbang darurat sipil. “Dalam situasi Covid-19 yang terus meningkat, belum maksimalnya sarana prasana yang digunakan memerangi Covid-19 ini, harusnya darurat kesehatan,” kata Anam dalam siaran tertulisnya.
Menurut Anam darurat kesehatan dan darurat sipil memiliki
perspektif tujuan yang berbeda. Darurat kesehatan, kata dia, bertujuan
memastikan kondisi kesehatan masyarakat yang terancam, dan dibutuhkan kerja
sama serius dengan masyarakat, termasuk solidaritas sesama yang tidak terkena
dampak Covid-19.
Sedangkan tujuan darurat sipil biasanya untuk memastikan
roda pemerintahan berjalan dan tertib sipil. Ia menilai, pemerintah saat ini
berjalan baik, meski belum maksimal dalam menangani Covid-19.
“Ketidakmaksimalan ini salah satu persoalannya adalah platfrom dan
kesolidan kebijakan dalam penanganan Covid-19,” katanya.
Menurut Anam, dalam menangani pandemi ini, pendekatan
utama adalah kepentingan kesehatan. Salah satunya dengan cara membangun
kesadaran masyarakat dan solidaritas, seperti RT, RW, dan puskesmas menjadi
garda komunikasi terdepan. “Tujuannya pada kerja-kerja kesehatan, bukan pada
kerja penertiban,” ujarnya.
Ia menuturkan pemerintah bisa mulai memperbaiki tata kelola dalam menerapkan darurat kesehatan nasional. Misalnya, platform kebijakan yang utuh dan terpusat. Presiden diminta langsung memimpin agar konsolidasi pusat dan daerah lancar. “Ini juga karena kebutuhan penanganan Covid 19 ini, apalagi ada momentum-momentum besar yang akan mempengaruhi seberapa besar sebaran virusnya, misalkan soal mudik Lebaran atau acara lain yang rutin karena ada acara keagamaan,” ucapnya. Asep Saepudin Sayyev |*
Kebijakan
Darurat Sipil:
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Pencabutan
Undang-Undang No.74 Tahun 1957 (Lembaran Negara No. 160 Tahun 1957) Dan
Penetapan Keadaan Bahaya.
– Peraturan
Umum Pasal 1 Ayat 1 bahwa:
“(1) Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan
Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia
dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan
darurat militer atau keadaan perang, apabila:
a. keamanan atau ketertiban
hukum di seluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia
terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam,
sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara
biasa…”
–
Pasal 34 mengatur tentang peraturan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh
Pejabat Daerah, yakni:
- Peraturan-peraturan dari
Pemerintah Daerah Pejabat Daerah dan Instansi-instansi Daerah lain tidak boleh
dikeluarkan dan diumumkan, jika tidak memperoleh persetujuan lebih dahulu dari
Penguasa Darurat Militer Daerah yang bersangkutan.
- Kepada Penguasa Darurat Militer
Daerah dapat diberi kekuasaan penuh atau kekuasaan bersyarat oleh Presiden
untuk mengatur hal-hal yang harus diatur oleh perundang-undangan pusat, kecuali
hal-hal yang harus diatur dengan Undang-undang.
- Pasal 18 UU, penguasa
Darurat Sipil memiliki hak untuk:
- Penguasa Darurat Sipil berhak
mengadakan ketentuan bahwa untuk mengadakan rapat-rapat umum,
pertemuan-pertemuan umum dan arak-arakan harus diminta idzin terlebih dahulu.
ldzin ini oleh Penguasa Darurat Sipil diberikan penuh atau bersyarat. Yang
dimaksud dengan rapat-rapat umum dan pertemuan-pertemuan umum adalah
rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan umum yang dapat dikunjungi oleh rakyat
umum.
- Penguasa Darurat Sipil berhak
membatasi atau melarang memasuki atau memakai gedung-gedung, tempat-tempat
kediaman atau lapangan-lapangan untuk beberapa waktu yang tertentu.
- Ketentuan-ketentuan. dalam ayat
(1) dan (2) pasal ini tidak berlaku untuk peribadatan, pengajian, upacara-upacara
agama dan adat dan rapat-rapat Pemerintah.
- Pasal 19 menyebutkan
Penguasa Darurat Sipil berhak membatasi orang berada di luar rumah. Selain
itu, Penguasa Darurat Sipil juga berhak memeriksa badan dan pakaian tiap-tiap
orang yang dicurigai serta menyuruh memeriksanya oleh pejabat-pejabat Polisi
atau pejabat-pejabat pengusut lain, seperti yang tercantum dalam pasal 20.