Bogor | Jurnal Inspirasi
Pendataan bantuan Jaring Pengaman Sosial (JPS) bagi warga
miskin baru terdampak Covid-19 yang dilakukan oleh Dinas Sosial (Dinsos)
dinilai carut marut. Pasalnya, hingga kini masih ada data yang tumpang tindih
di lapangan.
Anggota Komisi IV DPRD Kota Bogor, Endah Purwanti
mengatakan bahwa laporan mengenai tumpang tindihnya data penerima JPS Covid-19
terjadi hampir di beberapa kelurahan. Di antaranya pada Kelurahan Cibuluh,
Cimahpar, Tegal Gundil dan Kedung Halang. “Di Cibuluh dan Cimahpar ada
yang sudah meninggal tapi masih terdata sebagai penerima. Bahkan tadi di Tegal
Gundil RW marah-marah soal data itu,” ujarnya kepada wartawan, Rabu
(29/4).
Endah menjelaskan bahwa carut marutnya pendataan penerima
JPS lantaran adanya birokrasi yang berbelit-belit dan ketidakpahaman RT RW
dalam mengusulkan data. “Contoh kasus di Cimahpar ada RW semua KK-nya di
salah satu RT yang berjumlah 100, semuanya dimasukan. Akhirnya terjadi tumpang
tindih antara PKH, JPS dan bantuan gubernur,” katanya.
Selain itu, kata dia, sejak awal Pemkot Bogor tidak
mematuk kriteria yang jelas terhadap siapa yang berhak menerima bantuan.
“Kemudian kolom form untuk diisi di RT RW terlalu banyak. Begitupun saat
di kecamatan. Ini yang menyebabkan jadi caur marut. Kalau mau pakai data dari
Disdukcapil, nggak perlu lagi ada pendataan. Tinggal RT RW saja mengusulkan
yang non Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS),” ucapnya.
Selain itu, kata Endah, data yang dibuat oleh Dinsos pun
selalu berubah-ubah. Bahkan, hingga kini Komisi IV belum mendapatkan rincian
terkait penerima bantuan non-DTKS. “Kami kemarin dapat data, tapi baru
yang 19 ribu KK. Padahal kami perlu data non DTKS yang totalnya 157 ribu dari
awalnya 230 ribu. Kemudian untuk data DTKS 71 ribu. Kemudian setelah
diverifikasi yang non DTKS berubah lagi menjadi 156 ribu. Jadi data ini
berubah-ubah terus,” katanya.
Kata Endah, DPRD sangat membutuhkan data utuh dari Dinsos
agar dapat dikroscek. Namun, tak kunjung diberikan oleh Dinsos dengan alasan
data tersebut belum dituangkan dalam Perwali. “Harusnya data itu dipublish
ke umum, agar dapat dicek,” tegasnya.
Lebih lanjut, Endah menyatakan bahwa saat ini masyarakat
pun sudah mulai mempertanyakan kapan bantuan akan disalurkan oleh pemerintah.
“Kemarin janjinya tanggal 27 April. Tapi sampai sekarang belum ada,”
ucapnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Puslitbang Pelatihan
dan Pengawasan Kebijakan Publik (P5KP), Rudi Zaenudin mengaku sangat
menyayangkan carut marut pendataan penerima bantuan terdampak Covid-19.
“Contoh kasus di salah satu wilayah Kecamatan Tanah Sareal, nama-nama yang
awalnya diusulkan RT RW untuk non DTKS, tidak ada yang muncul satupun. Akhirnya
kelurahan yang menjadi ‘korban’ karena selalu didatangi warga,” ucapnya.
Pria yang juga Ketua PK KNPI Tanah Sareal ini juga
mempertanyakan sumber data yang digunakan oleh Dinsos untuk memverifikasi,
sementara dari 320 ribu KK, 71 ribu berstatus DTKS yang telah menerima PKH,
bantuan sembako nasional. Sedangkan sisanya diverifikasi RT dan RW, namun data
yang muncuk bukan yang diusulkan sehingga menjadi polemik.
“Dinsos harus bisa pertanggung jawabkan sumber data
darimana yang dipakai. Dan itu harus dipublish ke masyarakat karena ini
menyangkut penggunaan negara yang mesti transparan akuntabel agar tak salah
sasaran atau harus sesuai dengan yang diusulkan,” jelasnya.
Disinggung mengenai tumpang tindihnya data penerima
bantuan Covid-19. Wakil Walikota Bogor, Dedie A. Rachim mengatakan bahwa data
yang digunakan oleh Dinsos untuk memverifikasi penerima bantuan baik DTKS dan
non DTKS dapat dipertanggung jawabkan alias valid.
“Untuk data DTKS 2020 itu datanya dihimpun sejak
2019. Jadi, meskipun dipakai sebagai dasar tahun 2020, bisa saja dalam
perjalanan waktunya ada yang meninggal dunia, pindah alamat atau hal lain. Oleh
karena itu semua data bersifat dinamis,” jelasnya.
Menurut Dedie, dengan adanya peristiwa pandemi Covid-19,
Pemkot Bogor memiliki kesempatan untuk memadukan serta merevisi data DTKS dan
non DTKS sebagai dasar data warga penerima bantuan DTKS 2021 mendatang.
“Data yang digunakan ini valid. Tapi harus
disempurnakan. Yang utama adalah mengenai NIK KTP yang harus cocok dengan
nama,” ucapnya.
Dedie juga menyatakan bahwa pendataan yang diambil
berdasarkan data penduduk yang bersumber dari Disdukcapil adalah sebagai dasar
untuk mengecek keabsahan NIK. “Kita kan bicara DTKS secara global. Nah
database PKH itu dari DTKS,” tuturnya.
Sebelumnya, Kepala Bagian Hukum dan HAM Sekretariat
Daerah Kota Bogor Alma Wiranta mengatakan, database penerima bantuan, sudah
diatur dan tertera dalam Keputusan Walikota Bogor Nomor 027.45-312. Sebagai
landasan dan payung hukum pendistribusian bantuan kepada masyarakat. Data
tersebut, tentunya dibuat berdasarkan hasil verifikasi di tiap kecamatan.
“Jadi aturan itu sebagai payung hukum bagi penerima
bantuan, yang masuk dalam keluarga terdampak Covid-19, berupa Non DTKS Tahun
2020. Data ini dibuat berdasarkan hasil verifikasi di tiap kecamatan dan dinas
terkait, yang mengelola data keluarga miskin akibat covid-19,” paparnya.
Berdasarkan regulasi tersebut, jumlah penerima JPS di Kota Bogor mencapai 23 ribu keluarga. Dengan rincian 19.904 keluarga asli Kota Bogor, dan 3.096 keluarga lainnya merupakan kalangan keluarga perantau yang ada di Kota Hujan. “Jadi ada dua kategori kelompok yang dapat bantuan. Pertama, asli warga Kota Bogor, dan perantau yang ada di Kota Bogor,” bebernya.
** Fredy Kristianto