Jakarta | Jurnal Inspirasi
Meskipun kasus Covid-19 mengalami penambahan yang
mencapai ratusan orang per hari, pemerintah menyiapkan protokol untuk mengatur
“new normal” atau situasi normal baru. Pemerintah akan mengatur mulai
dari tata cara beribadah sampai langkah masuk ke restoran. Provinsi Bali,
Yogya, dan Kepulauan Riau bakal jadi proyek percontohan pertama.
Persiapan protokol new normal ini disampaikan
Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy,
usai rapat kabinet dengan Presiden Joko Widodo. “Jadi nanti akan ada
protokol bagaimana di restoran, bagaimana ibadah, nanti menteri agama akan
mengatur itu. Lalu protokol bagaimana datang di acara yang pengunjung relatif
banyak, dan sebagainya, nanti akan diatur secara detil dan itu harus
dipatuhi,” kata Muhadjir dikutip dari BBC.
Namun, rencana tersebut menurut pengamat ekonomi adalah
bentuk keberpihakan pemerintah pada kelompok bisnis dan akan terus menguras
uang negara untuk meredam penyebaran virus corona yang semakin sulit
dihentikan. Senada, peneliti epidemiologi juga menyebut rencana
menghadapi new normal ini sangat berbahaya karena berpotensi
meningkatkan risiko penularan Covid-19 di masyarakat. Berdasarkan penelitian,
sekitar 80% kasus Covid-19 adalah kasus infeksi tanpa gejala.
Sebelumnya pada Jumat (15/05) lalu, Presiden Joko Widodo
juga sudah menyinggung tentang pentingnya kesiapan masyarakat dalam menghadapi
apa yang disebutnya sebagai “tatatan kehidupan baru”. “Kebutuhan
kita sudah pasti berubah untuk mengatasi risiko wabah ini. Itu keniscayaan,
itulah yang oleh banyak orang disebut sebagai new normal atau tatanan
kehidupan baru,” katanya.
Namun mantan Wakil Presiden yang juga Ketua Umum Palang
Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla mengingatkan pemerintah berhati-hati terhadap
opsi herd immunity atau kekebalan kelompok, untuk menghadapi
Covid-19.
“Herd immunity bisa saja, cuma korbannya banyak,”
kata pria yang akrab disapa JK, saat diskusi di Universitas Indonesia Webinar
dengan tema “Segitiga Virus Corona”, Selasa (19/5).
Mantan Wakil Presiden ini mencontohkan
penerapan herd immunity di Swedia. Dengan penerapan opsi tersebut,
angka kematian di Swedia ternyata lebih tinggi dibanding negara di sekitarnya.
“Tingkat kematian di Swedia lima kali lipat dibanding negara di sekitarnya
akibat ingin mencoba herd immunity,” ujarnya.
Meski begitu, JK tak bisa melarang bila pemerintah
mengambil opsi herd immunity, untuk melawan Covid 19 di Indonesia. “Boleh
saja tapi korbannya banyak. Kalau korban materi barangkali bisa saja diganti,
tapi kalau korban jiwa bagaimana, jadi jangan coba-coba yang kayak gini,
korbannya banyak pasti, apakah kita akan memilih itu, jangan,” ujarnya.
Menurut JK, opsi herd immunity juga tidak
direkomendasikan oleh WHO atau lembaga kesehatan dunia lainnya. “Negara apa
yang ingin seperti itu, dan itu tidak dianjurkan oleh WHO atau lembaga mana
pun,” katanya.
Sebelum rapat kabinet tentang new normal pada 18 Mei, pemerintah sudah beberapa kali menyinggung pelonggaran pembatasan, misal dengan membolehkan warga yang berusia 45 tahun kebawah untuk kembali bekerja dan membolehkan kelompok masyarakat tertentu untuk mudik.
Dalam pembicaraan di media sosial kemudian berkembang isu pemerintah tengah berniat memberlakukan strategi herd immunity (upaya menghentikan laju penyebaran virus dengan cara membiarkan imunitas alami tubuh).
Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono,
berpendapat yang dilakukan pemerintah semata peloggaran PSBB dan bukan
pembiaran sistemik agar masyakat banyak yang terinfeksi (herd immunity). “Tidak
mungkin terjadi karena herd immunity hanya terjadi bila lebih dari 70-80 persen
penduduk Indonesia terinfeksi dan punya imunitas yang berhasil hidup.”
Senada, peneliti epidemiologi dari Eijkman -Oxford
Clinical Research Unit Henry Surendra mengatakan jika yang dituju pemerintah
dengan melakukan pengurangan pembatasan sosial adalah menciptakan herd
immunity , maka rencana itu sangat berbahaya.
“Dibutuhkan sekitar 70% populasi yang berarti
sekitar 190 juta orang Indonesia untuk terinfeksi baru herd
imunity tercapai. Ini berpotensi menimbulkan banyak korban jiwa,”
katanya.
Istana melalui Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media
Sekretariat Presiden Bey Machmudin mengatakan, “Herd Immunity, tidak
akan lah.” Sementara dalam jumpa pers usai rapat kabinet, Muhadjir Effendy
mengatakan protokol yang dibahas adalah upaya mengurangi PSBB yang bertujuan
untuk memulihkan produktivitas. “Di satu sisi juga wabah Covid-19 tetap
bisa dikendalikan, tetap ditekan, hingga nanti antiklimaksnya selesai, terutama
setelah ditemukan vaksin,” jelas Muhadjir.
Menurut peneliti epidemiologi dari Eijkman -Oxford
Clinical Research Unit Henry Surendra terdapat empat hal yang harus dipenuhi
sebelum melakukan pelonggaran pembatasan sosial. Pertama, laju kasus baru sudah
turun secara konsisten, atau angka reproduksi (R0) kasus turun signifikan
misalnya sudah sampai dengan kurang dari sama dengan satu.
Kedua adanya tren penurunan populasi berisiko dalam hal
ini penurunan PDP, ODP, dan OTG.
“Ketiga, jumlah dan kecepatan tes sudah memadai,
yaitu kapasitas tes PCR, jadi minimal sudah tidak ada lagi tumpukan antrean
sample di laboratorium dan stok reagen aman untuk 1-2 bulan ke depan.
“Terakhir adalah kesiapan sistem kesehatan. Tidak
hanya kapasitas rumah sakit yang siap menampung jika terjadi lonjakan kasus,
tapi juga kapasitas tim di lapangan dalam melakukan deteksi dini, pelacakan
kasus dan kontak, serta pelaporan secara real time,” kata Henry.
Ketika empat syarat tersebut belum terpenuhi maka
keputusan melakukan pelonggaran PSBB akan sangat berbahaya karena berpotensi
meningkatkan risiko penularan Covid-19 di masyarakat.
Apalagi, kata Henry, berdasarkan penelitian di luar
negeri bahwa sekitar 80% kasus Covid-19 adalah kasus infeksi tanpa gejala. “Adanya
pelonggaran ini saya kira tidak berdasar pada kajian epidemologi dan kesehatan
masyarakat karena sampai saat ini laju pertumbuhan kasus di Indonesia belum
turun secara konsisten, selain itu jumlah tes harian masih minim, dan penerapan
PSBB masih belum maksimal,” kata Henry.
Direktur Program Institute for Development of Economics
and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, menilai rencana pengurangan atau
pelonggaran aturan pembatasan sosial yang dibungkus dalam bentuk
protokol new normal adalah bentuk keberpihakan pemerintah pada kelompok
bisnis, tanpa mempertimbangkan sisi kesehatan masyarakat. “Pemerintah
hanya mendengarkan sekelompok orang dari pihak bisnis. Pemerintah terburu-buru
jika aturan itu dikeluarkan dalam waktu cepat,” kata Esther.
Ia menambahkan jika rencana itu diterapkan hanya akan
membuat perekonomian Indonesia semakin terpuruk karena menguras uang pemerintah
untuk meredam virus tersebut.
“Jadi berapa pun nanti anggaran yang dikeluarkan
pemerintah itu tidak akan mampu untuk meredam virus covid karena penyebarannya
luas sekali. Jadi satu-satunya cara adalah membatasi diri, menghimbau
masyarakat untuk stay at home.
“Yang utama itu kesehatan baru ekonomi. Nyawa tidak
bisa dibeli dengan uang. Kita sudah sehat, uang itu bisa dicari. Tidak ada
negara yang melonggarkan PSBB jadi landai, ini rencana yang salah,”
katanya.
Sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah menerbitkan
protokol transisi menuju the new normal atau tata kehidupan baru
sebelum vaksin Covid-19 belum ditemukan.
“Kompleksitas dan ketidakpastian ada di depan, yang
berarti bahwa kita memasuki periode di mana kita mungkin perlu menyesuaikan
langkah dengan cepat,” kata Direktur Regional WHO untuk Eropa Henri P.
Kluge dikutip dari dokumen resmi di situs WHO.
Menurut WHO, sebelum langkah pelonggaran pembatasan untuk
menuju ‘the new normal’ diterapkan, pemerintah mesti membuktikan
bahwa transmisi virus corona sudah dikendalikan. Pelonggaran pembatasan,
menurut WHO, harus dilakukan secara bertahap dan otoritas terkait diminta terus
mengevaluasi kebijakannya.
Syarat lainnya, lanjutnya, kapasitas sistem kesehatan
masyarakat – diantaranya rumah sakit – harus tersedia untuk mengidentifikasi,
menguji, mengisolasi, melacak kontak, dan mengkarantina pasien COVID-19. Disebutkan
pula dalam protokol itu, tata kehidupan baru bisa diterapkan apabila risiko
penularan wabah sudah terkendali terutama di tempat dengan kerentanan tinggi.
Masing-masing negara juga diharuskan mampu menerapkan
langkah pencegahan di tempat kerja, berupa jarak fisik, fasilitas cuci tangan
dan diikuti etika batuk atau bersin. Protokol WHO juga menyebutkan setiap
langkah menuju transisi ‘the new normal’ harus dipantau oleh otoritas
kesehatan.
“Akhirnya, perilaku masing-masing warga akan menentukan karakter virus. Ini akan membutuhkan ketekunan dan kesabaran, tidak ada jalur cepat untuk kembali normal,” demikian protokol WHO.
** Asep Saepudin Sayyev |*