26.9 C
Bogor
Monday, May 6, 2024

Buy now

spot_img

Regulasi Green Concrete Dalam Rangka Mewujudkan Pembangunan Lingkungan yang Berkelanjutan

Oleh:
Prof. Dr. Ir. Drs. Syafwandi, MSc

(Fakultas Teknik Sipil Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang)

JURNALINSPIRASI.CO.ID – Istilah Green Concrete merupakan symbol keprihatinan para pakar konstruksi atas penggunaan matrial konstruksi yang mengancam keberlanjutan lingkungan. Dalam perjalanan sejarah sejak ditemukannya beton sampai saat ini, proses pembuatannya tidak berubah,karena material pembuatan beton melalui fabricated dan penambangan.

Seluruh prosesual tersebut menimbulkan pencemaran dan keberlanjutan lingkungan, sehingga berkontribusi secara signifikan terhadap penipisan sumber daya alam yang terbatas (Suharwanto, 2005). Apabila exploitasi manusia terhadap lingkunganuntuk mendapatkan material beton berlanjut, maka lingkungan akan mengalami kejenuhan, sehingga tidak dapat lagi memberikan dukungan terhadap pertumbuhan suatu populasi.

Sebagai subyek lingkungan manusia seharusnya berkewajiban untuk menjaga agar lingkungan hidup terus berlangsung secara seimbang. Alhasil manusia seharusnya bekerjasama dengan alam agar lingkungan tetap lestari dan tidak merugikan satu sama lain (BHATT,1990:49). Untuk menciptakan kelestarian lingkungan, pemerintah Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang No. 32/2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Melalui undang undang tersebut pemerintah menginginkan terjadinya keseimbangan antara pembangunan dan lingkungan.

Sementara perlunya regulasi green concrete dalam rangka mewujudkan cita-cita UU No.32/2009. Para pakar maupun akademisi mulai menciptakan inovasi green concrete, yakni dengan membuat beton melalui pemanfaatan (susitusi, pencampuran) limbah industry seperti: fly ash, copper slag, abu sekam padi maupun tebu, serta limbah keramik, kerang dam sebagainya.

Dari pengamatan, seluruh perguruan tinggi prodi Teknik sipil maupun Lembaga penelitian seperti LIPI , BPPT sampai saat ini masih gencar melakukan penelitian tentang green concrete, dan hasilnya cukup mencengangkan bagi peningkatan kualitas beton. Namun pemanfaatan limbah industry untuk pembuatan beton di Indonesia belum banyak dilakukan oleh pemerintah ataupun kontraktor.

Kondisi ini oleh berbagai kalangan terutama akademisi disebababkan mindset user yang masih menganggap limbah adalah limbah.

Mestinya mindset yang harus dibangun bahwa limbah adalah produk yang bisa dimanfaatkan kembali untuk kepentingan green concrete dan mengurangi dampak lingkungan dari sampah industry yang sangat melimpah yang dihasilkan oleh PLTU dan industry tambang maupun pertanian. Selain itu factor pemerintah yang belum mengeluarkan regulasi tentang green concrete juga menjadi penyebab hasil penelitian tentang green concrete jalan ditempat, hanya bermanfaat bagi kepentingan skripsi, thesis, disertasi, journal dan kompetisi.

Atas dasar itu, penulis dalam rangka Seminar Perkembangan Dunia Teknik Sipil di Era Globalisasi dengan topik Regulasi Green Concrete Dalam Rangka Mewujudkan Lingkungan Yang Berkelanjutan memaparkan kebijakan dan konsep.

Kebijakan pada hakekatnya adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang mesti diikuti dan dilakukan oleh para pelakunya untuk memecahkan suatu masalah (Anderson, 1079). Konsep kebijakan public di Indonesia adalah penerapan kebijakan melalui program aktivitas dalam mekanisme yang terikat pada system yang sangat bermanfaat untuk bangsa.

Topik kali ini berkaitan dengan green concrete, secara spesifik Indonesia belum memiliki kebijakan tentang hal tersebut. Namun selama ini semua kegiatan yang terkait dengan pemanfaatan alam maupun pembangunan mengacu kepada Undang-Undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan yang mengamanahkan konsep dampak lingkungan yang positif dan menghindari dampak negative.

Selanjutnya bagaimana tentang gerakan green concrete? Green concrete sendiri adalah konsep pembuatan beton yang menggunakan limbah industri untuk menghasilkan beton dengan karakteristik tertentu yang bertujuan tidak menghabiskan sumber daya alam (SDA) serta berwawsan lingkungan.

Gerakan green concrete yang telah dimotori oleh para akademisi maupun peneliti dari instansi terkait sudah banyak menghasilkan produk penelitian green concrete , namun belum digunakan secara massal untuk kepentingan pekerjaan konstruksi sipil. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan dari pihak pemerintah sebagai payung hukum pemanfaatan green concrete.

Lalu yang masuk green concrete adalah beton, salah satu material konstruksi yang paling popular, dan volume penggunaannya di dunia hanya kalah dari air. Mulai dari bangunan tinggi, jembatan, dam, saluran, tiang listrik, bantalan rel kereta api, perkeras jalan hingga perumahan sederhana banyak menggunakan beton.

Material utamanya adalah kerikil, pasir, semen serta air. Sayangnya, produksi semen tergolong kurang ramah lingkungan. Setiap produksi satu ton seme, satu ton gas karbon dioksida juga dihasilkan dan dilepaskan ke atmosfir. Gas karbon dioksida ini terkelompok dalam gas rumah kaca yang bertanggung jawab atas perubahan iklim dunia.

Malhotra (202) memperkirakan produksi semen menyumbang 7% dari total produksi gas rumah kaca. Produksi semen juga memerlukan banyak energi, selain juga didapati banyak struktur beton sudah memerlukan perbaikan ketika baru berumur lebih kurang 20 tahun saja.

Mehta (2002) mengemukakan untuk memproduksi beton di seluruh dunia pada tahun 2002 diperlukan 1,6 milyar ton semen, 10 milyar ton pasir dan kerikil, serta 1 milyar ton air. Angka ini menjadikannya sebagai pengguna sumber daya alam terbesar di dunia.

Sedangkan untuk memproduksi 1,6 milyar ton semen, dibutuhkan 3 milyar ton bahan dasar, utamanya tanah liat dan kapur. Dari tahun 2002 hingga tahun 2010, diperkirakan produksi beton meningkat 15%. Laju kebutuhan dan penggunaan beton sebagai material konstruksi sulit dihindari, akan tetapi upaya efisiensi penggunaan sumber daya alam untuk memproduksinya, penurunan jumlah energi yang diperlukan, serta pengurangan emisi karbon dioksida yang dilepaskan ke udara bebas masih bisa diupayakan.

Istilah “green” merefleksikan beton dengan kandungan semen yang lebih sedikit dibandingkan dengan beton normal, dan mengganti sebagian volume semen tersebut dengan bahan lainnyayang sifatnya “industrial waste” seperti fly ash atau abu terbang yang merupakan produk sampingan (byproduct) dari PLTU [2-3].

Tidak dapat dipungkiri bahwa produk semen menyumbang emisi karbon terbesar dalam pembuatan beton secara keseluruhan (Leung S, 2009) sehingga para insinyur teknik sipil terus berupaya mengurangi volume semen dalam campuran tanpa menurunkan kinerja beton yang dihasilkan atau bahkan membuat kinerja beton yang dihasilkan menjadi semakin lebih baik.

Sementara Prof Muellerdari (2016) KIT Jerman, memberikan pengertian umum bahwa”Sustainability” dalam perspektif material konstruksi adalah berbanding lurus dengan service life dan performance serta berbanding terbalik dengan Environtmental Impact.

Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa material bangunan yang memberikan nilai environmental impact besar, maka material bangunan tersebut memiliki nilai “Sustainability” yang rendah, dan begitu pula sebaliknya.

 Pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan adalah upaya pengelolaan sumber daya yang berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup tanpa perlu merusak atau menurunkan kemampuan pemenuhan untuk generasi yang akan datang (UU No.32/2009). Gerakan green concrete dengan konsep pemanfaatan limbah industry sebagai bahan subsitusi atau pencampuran dari material beton bertujuan untuk menghambat pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan serta meningkatkan pemanfaatan limbah industry untuk kegiatan yang ramah lingkungan. Alhasil dapat dikatakan bahwa gerakan green concrete merupakan aksi yang dilakukan untuk mengurangi jumlah sampah industry yang yang dibuang ke lingkungan dengan cara : Reuse, Reduce, Recycle, sehingga sampah dapat dimanfaatkan kembali.

Dalam penelitian ini penulis mengawali kegiatan dengan mengamati hasil-hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan topik yang penulis angkat. Data-data sekunder lainnya (dari instansi terkait) juga penulis gunakan. Kemudian penulisan ini dilakukan dengan menganalisis hasil dari data sekunder dimana data tersebut didapat dari olahan data sebelumnya untuk mendapatkan sintesis dari hasil penelitian. Atas dasar itu dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif.

Hasil dan diskusi, issue lingkungan hidup akan terus berlanjut walaupun negara sudah membuat Undang- Undang tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam hal ini penggunaan material konstruksi yang umumnya masih diperoleh dari alam akan berdampak pada ketersediaan material , karena bagaimanapun akan memiliki keterbatasan untuk menyediakannya.

Kalau kita menilik kepada formula kebijakan World Earth Summit (Brazlia,1992 dan Kyoto,1997) berupa: pengurangan emisi gas rumah kaca; efisiensi penggunaan energi dan material dasar alami; pemakaian daur ulang dari limbah, maka kondisi tersebut akan berdampak pada bidang Teknik sipil yang mana pada pembangunan highrise building, jembatan maupun infrastruktur menggunakan material dari alam.

Atas dasar tersebut di atas, para akademisi/ilmuwan di seluruh dunia, tidak terkecuali perguruan tinggi di Indonesia maupun Lembaga/badan yang menekuni penelitian konstruksi Teknik sipil yang ramah lingkungan(LIPI, BPPT, Puslitbang PUPR, dll) memelopori gerakan green concrete yang ramah lingkungan. Dari waktu ke waktu penelitian bidang green Concrete semakin menumpuk. Namun mayoritas hasil penelitian tersebut hannya dimanfaatkan untuk kepentingan skripsi, thesis, disertasi, jurnal maupun kepentingan kompetisi antar perguruan tinggi. Padahal hasil penelitian tersebut kalua dimanfaatkan untuk konstruksi ringan sangat bermanfaat untuk kepentingan pembangunan yang ramah lingkungan dan biaya relative rendah.

Oleh sebab itu , penulis menghimbau agar para akademisi menggandeng praktisi bidang konstruksi untuk mengusulkan regulasi pemanfaatan green concrete untuk konstruksi beton ringan kepada Badan Standarisasi Nasionalagar dimasukkan dalam pasal-pasal SNI, lihat gambar nomor 4. Untuk itu, tampaknya perlu dibentuk clearing house yang dikoordinir oleh BSN dengan menyertakan stakeholders terkait dengan tugas utama menguji validitas hasil kajian unggulan green concrete dari berbagai kalangan yang telah melakukannya, kemudian merumuskan hasil kaji ulang ringan penelitian tersebut untuk dimasukkan kedalam draft pasal- pasal SNI tentang konstruksi beton ringan yang memanfaatkan green concrete.

Multiplier effect dari regulasi SNI tersebut di atas, maka Instansi /Departemen terkait (Perindustrian, Perdagangan, Pertanian, BUMN) , mulai membuat regulasi kepada Pabrik Semen,untuk menghasilkan produk semen hijau( green PC) yakni melalui subsitusi semen dengan limbah industry, lihat gambar nomor 5. Dan kepada perusahaan- perusahaan penghasil limbah untuk keperluan green concrete diharuskan memberikan secara Cuma-Cuma kepada user. Hal yang sama juga berlaku bagi penghasil limbah industry pertanian.

Dalam kondisi saat ini, dimana ancaman krisis daya dukung lingkungan hidup yang dihadapi Indonesia mendesak, untuk itu pada aspek konstruksi Teknik sipil diperlukan regulasi green concrete yang dimasukkan kedalam pasal-pasal SNI oleh Badan Standarisasi Nasional.

Dengan demikian semua pelaku yang berkecimpung dalam konstruksi Teknik sipil akan patuh dan tunduk terhadap pasal-pasal dalam SNI yang menyangkut dengan green concrete yang ramah lingkungan. Alhasil dapat disimpulkan bahwa gerakan green concrete adalah aksi dari para penelliti Teknik sipil yang mengarah kepada pembangunan lingkungan yang berkesinambungan sesuai dengan amanah Undang-Undang No.32/2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

**

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -
- Advertisement -

Latest Articles