Jakarta | Jurnal Inspirasi
Presiden Joko Widodo dinilai tidak tegas dalam menangani sebaran virus corona baru atau Covid-19, yang oleh WHO telah ditetapkan sebagai pandemik global. Alih-alih melakukan lockdown seperti negara lain, Jokowi justru memperkenalkan istilah baru yaitu social distancing atau jaga jarak sosial. Langkah yang diambil Jokowi itu membuat pakar hukum tata negara Irmanputra Sidin keheranan.
Terlebih dalam sosial distancing ini, presiden akan menyerahkan keputusan kepada kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/walikota daerah masing-masing, tentang lama waktu social distancing diterapkan sesuai dengan status terkait wabah Covid-19 di daerah tersebut.
Menurut Irmanputra Sidin, keputusan itu kurang tepat. Ini mengingat Covid-19 sudah ditetapkan WHO sebagai pandemi global yang dalam hitungan detik korban manusia akan terus berjatuhan.
“Jikalau status darurat diserahkan kepada kepala daerah masing-masing, maka mungkin kita telah salah memilih sistem dengan melakukan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat,” sindirnya, Senin (16/3).
Pembelakuan Lockdown dengan penerapan sosial distancing memang memiliki perbedaan teknis di lapangan. Lockdown merupakan protokol kedaruratan yang diterapkan untuk mencegah orang-orang meninggalkan suatu area.
Sementara social distancing merupakan upaya secara sadar mengurangi kontak erat dengan orang lain guna memperlambat penyebaran virus antara satu orang ke orang lainnya. Otoritas ini dipegang oleh pemerintah daerah masing-masing, sedang lockdown ada di pemerintah pusat.
Sementara iIstilah itu diumumkan saat Jokowi menggelar jumlah pers terkait bencana nasional non alam, wabah Covid-19 di Istana Bogor, Kota Bogor, Minggu lalu (15/3).
Asep Saepudin Sayyev |*