28.2 C
Bogor
Saturday, April 27, 2024

Buy now

spot_img

PTUN Tolak Gugatan Surpres RUU Ciptaker

Tim Advokasi Sebut Ada Kejanggalan

Jakarta | Jurnal Inspirasi

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menolak gugatan Surat Presiden (Surpres) Jokow Widodo ke DPR terkait pengajuan pembahasan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja. Surpres Jokowi mengenai pengajuan pembahasan RUU Cipta Kerja sebelumnya digugat oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Merah Johansyah dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dan Perkumpulan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada 30 April 2020.

“Menyatakan gugatan para penggugat tidak diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard),” bunyi amar putusan, sebagaimana bunyi amar putusan dikutip CNN, Kamis (22/10).

Dalam situs sipp.ptun-jakarta.go.id, perkara tersebut diadili oleh Sutiyono selaku Hakim Ketua serta dua hakim anggota yakni Nelvy Christin dan Enrico Simanjuntak. Adapun sidang putusan digelar Senin (19/10) lalu.

Terkait hal tersebut, pengacara publik LBH Jakarta, Charlie Albajili yang tergabung dalam tim advokasi penggugat mengatakan pihaknya menemukan sejumlah kejanggalan dari putusan hakim. Pertama, putusan tidak dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum. Charlie mengatakan, petikan amar putusan hanya dicantumkan pada sistem e-court PTUN Jakarta tanpa melampirkan salinan putusan.

“Hingga kini, para penggugat tidak dapat mengetahui putusan utuh dari PTUN Jakarta serta pertimbangannya,” kata Charlie dalam keterangan tertulisnya.

Kemudian, kejanggalan kedua, para penggugat tidak mendapat salinan putusan saat tanggal pembacaan putusan. Menurut Charlie, hal ini sangat merugikan para penggugat, sebab tidak dapat mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam mengambil putusan.

Berikutnya, tim advokasi juga mencatat bahwa para penggugat dalam pendaftaran gugatan diwajibkan menggunakan sistem administrasi perkara e-court tanpa dasar hukum yang jelas. Padahal, saat itu para penggugat sudah datang langsung untuk mendaftar secara konvensional.

Menurut Charlie, jika mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1 Tahun 2019 maupun Surat Edaran MA 1/2020 tidak ada ketentuan yang mewajibkan pendaftaran gugatan dengan e-court meski dalam situasi pandemi virus corona (Covid-19). Menurut dia, penggunaan sistem e-court bahkan hanya dapat dilakukan atas persetujuan para pihak.

Kejanggalan lainnya, kata Charlie, majelis hakim tak kunjung memberikan keputusan permohonan penundaan berlakunya surpres hingga putusan akhir. Padahal, para penggugat mengajukan permohonan penundaan berlakunya surpres sebelum ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap.

Ia menjelaskan sejatinya hakim dapat memberikan keputusan penundaan tersebut sejak pemeriksaan dan sebelum pembuktian. Namun, meski telah diminta berkali-kali, majelis hakim terus berdalih akan mempertimbangkannya. “Menurut para penggugat, majelis hakim PTUN Jakarta dapat mencegah pembahasan ugal-ugalan RUU Cipta Kerja di DPR RI dengan penundaan tersebut, namun tidak dilakukan,” ujarnya.

Selain itu, Charlie mengatakan dalam proses persidangan, Presiden RI selaku tergugat menghadirkan ahli administrasi negara, Yos Johan Utama yang juga Rektor Undip. Para penggugat menyatakan keberatan dengan hal tersebut, karena Yos masuk Satgas Omnibus Law yang dibentuk Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

Keterlibatan tersebut dinilai membuktikan konflik kepentingan ahli dalam memberikan keterangan yang obyektif atas keahliannya. Namun, saat itu majelis hakim menolak keberatan dan mengizinkan ahli memberikan keterangan.

Terakhir, tim advokasi juga menilai majelis hakim dan tergugat. Di awal persidangan, tergugat meminta penundaan sidang hingga dua pekan dengan alasan Presiden Joko Widodo belum memberikan surat kuasa kepada Jaksa Pengacara Negara.

Selain itu, beberapa keputusan penundaan sidang melalui e-court bahkan telah diputuskan hakim tanpa memberikan kesempatan penggugat menyampaikan tanggapan dan keberatan. Kalender persidangan yang disepakati para pihak pun pernah dikesampingkan. Lebih lanjut, bagi Tim Advokasi, fakta bahwa pengesahan UU Cipta Kerja dilakukan sebelum putusan diberikan sangat mempengaruhi pertimbangan hakim.

“Pasalnya, jika UU telah disahkan, maka telah muncul kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji proses penerbitan suatu UU dan dengan mudah hakim PTUN dapat menolak memeriksa gugatan atas dasar tersebut,” ujar Charlie.

** ass

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -
- Advertisement -

Latest Articles