29.6 C
Bogor
Wednesday, April 24, 2024

Buy now

spot_img

Hakim Tunggal Peninjauan Kembali Mahkamah Agung di PN Bogor Diduga Melanggar UU Kekuasaan Kehakiman

Bogor | Jurnal Bogor

Sidang lanjutan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) yang diajukan oleh terpidana Hidayat Saputra menemukan babak baru, Rabu (03/05/2023). Kali ini, merupakan sidang keempat dalam pelaksanaan PK MA.

Panggilan Sidang pertama pada 21 Maret 2023, penasihat hukum terpidana tidak bersedia hadir karena menanyakan rujukan MA atas pelaksanaan PK MA yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri (PN) Bogor.

“Masa memori PK baru diajukan tanggal 20 Maret 2023, selang 1 hari PN Bogor sudah mengirim relass panggilan untuk bersidang dengan surat Nomor : W11.U2/879/HK01/3/2023 tertaggal 21 Maret 2023.

Kami Tim Penasehat Hukum dari Kantor Hukum Edy Tj., Suhendar dan Paralegal Lembaga Hukum Indonesia merasa janggal ketika Pengadilan Negeri Bogor melaksanakan PK tanpa arahan atau rujukan dari Mahkamah Agung. Mana dasar bundel A dari Mahkamah Agung nya?,” imbuh Edy Tjahjono, SH selaku Ketua Umum LHI dalam keterangan persnya, Kamis (04/05/2023).

Sementara untuk sidang kedua dilaksanakan pada 10 April 2023, pada sidang tersebut tim penasehat hukum terpidana hadir.

Kehadiran mereka untuk mempertanyakan langsung kepada hakim mana rujukan MA atas pelaksanaan sidang PK tersebut. Alih-alih bukannya mendapat jawaban, tim penasehat hukum terperanjat karena hakim yang memimpin sidang PK yang dipimpin hakim tunggal PA, SH.,MH.

“Padahal dalam peradilan umum, selain praperadilan, hakim yang memimpin sidang harus majelis hakim berjumlah ganjil yang terdiri dari hakim ketua dan anggota,” terang Edy Tjahjono.

Dalam sidang kedua, hakim dinilai sangat otoriter dan tidak menanggapi keberatan dari tim Penasehat Hukum Hidayat Saputra.

“Padahal hakim seharusnya ibarat wasit, posisinya jangan aktif tapi pasif dalam memimpin sidang. Ini hakim ikut nendang bola dan berpihak ke salah satu pihak, hancur lah dunia peradilan jika dibiarkan berjalan seperti ini,” tegas Edy Tj.

Diduga dalam persidangan kedua tersebut hakim memaksakan sidang selanjutnya akan digelar pada 13 April 2023 untuk menghadirkan terpidana Hidayat Saputra. Sidang kedua tersebut berjalan deadlock.

Pada saat sidang ketiga, tim penasehat hukum tidak hadir dengan alasan sidang PK sudah tidak sesuai aturan yang berlaku. Terpidana Hidayat dipaksa dihadirkan tanpa didampingi tim penasehat hukum. Sidang ketiga tidak menghasilkan apa-apa, karena terpidana menolak bersidang tanpa penasehat hukum.

Selanjutnya, Pengadilan Negeri Bogor mengirim relass panggilan sidang PK pada 03 Mei 2023 ke Kantor Firma Hukum Edy TJ.

“Kami tim penasehat hukum bersedia hadir untuk meminta putusan atas sidang peninjauan kembali yang sudah janggal dari awal,” jelasnya.

Sidang yang seyogyanya dilaksanakan pukul 10.00 WIB berdasarkan relass panggilan dari Pengadilan Negeri Bogor, ternyata baru bisa digelar pukul 15.00 WIB. Setelah hakim tunggal mengetuk palu, hakim menanyakan kepada jaksa apakah terpidana bisa dihadirkan dimuka persidangan. Jaksa K,SH.,MH. mengatakan “bahwa terpidana Hidayat Saputra tidak bersedia untuk hadir dan menuliskan sepucuk surat atas penolakannya.”

Lalu, hakim menanyakan kepada Penasehat Hukum Hidayat Saputra, “Penasehat hukum mau nya apa?” dijawab oleh Edy TJ. “Sesuai Petitum Memori PK, berdasarkan 183 KUHAP. Majelis Hakim tingkat pertama dalam putusan perkara fidana khusus UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fudisia Nomor : 282/Pid.Sus/2022/PN Bgr.

“Pada pemeriksaannya, tidak dapat membuktikan 2 alat bukti cukup (ic. 184 KUHAP). Maka sepatutnya, permohonan PK terpidana Hidayat Saputra dikabulkan, dan terpidana dibebaskan demi hukum sesuai ketentuan pasal 183 KUHAPm,” tegas Edy Tjahjono.

Kuasa hukum terpidana pun menganggap janggal karena seharusnya Peninjauan Kembali Mahkamah Agung hanya bersidang sekali bukan berkali-kali seperti ini dan dipimpin majelis hakim yang bukan majelis hakim yang memutus perkara yang di-PK-kan.

Atas rangkaian kejanggalan ini, Advokat Edy Tj menilai bahwa hakim tunggal tersebut ilegal. Seharusnya jumlah hakim saat memeriksa dan memutus perkara di Pengadilan yang diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman terdapat dalam Pasal 11 Ayat (1) dan (2) UU Kekuasaan Kehakiman. (1) Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan susunan majelis sekurang-sekurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain. (2) Susunan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari seorang hakim ketua dan dua orang hakim anggota.

** ass

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -
- Advertisement -

Latest Articles