28.8 C
Bogor
Monday, May 6, 2024

Buy now

spot_img

Caci Maki Masyarakat Ringankan Vonis

ICW: Seharusnya Juliari Dihukum Seumur Hidup

Jakarta | Jurnal Inspirasi

Mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara divonis 12 tahun penjara oleh Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (23/8). Juliari terbukti menerima suap Rp32,482 miliar dari 109 perusahaan penyedia bantuan sosial sembako Covid-19 di wilayah Jabodetabek. Vonis tersebut berbeda jauh dengan janji Ketua KPK, Firli Bahuri beberapa yang lalu akan menyeret koruptor bansos dengan ancaman hukuman mati.

Dalam putusannya, hakim mengungkapkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan hukuman Juliari. Salah satu hal yang memberatkan hukuman Juliari adalah menyangkal perbuatan korupsinya dan perbuatan terdakwa dilakukan dalam keadaan darurat bencana nonalam yaitu wabah Covid-19. “Perbuatan terdakwa dapat dikualifikasi tidak kesatria, ibaratnya lempar batu sembunyi tangan. Berani berbuat, tidak berani bertanggung jawab. Bahkan menyangkali perbuatannya,” demikian pernyataan hakim anggota, Yusuf Pranowo saat membacakan hal yang memberatkan hukuman Juliari.

Sementara itu, hal yang meringankan hukuman Juliari adalah, ia sudah kena sanksi sosial dari masyarakat sebelum hakim menjatuhkan vonis. Juliari terlalu sering dibully hingga dicaci maki masyarakat, kata hakim.

“Terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat. Terdakwa telah divonis oleh masyarakat telah bersalah padahal secara hukum terdakwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” ucap hakim.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai vonis 12 tahun penjara terhadap eks Mensos Juliari Batubara tidak masuk akal. ICW juga menyebut hal itu semakin melukai hati para korban korupsi bansos yang dilakukan oleh eks politikus PDI Perjuangan.

“ICW beranggapan putusan 12 tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim kepada mantan Menteri Sosial, Juliari P Batubara, benar-benar tidak masuk akal dan semakin melukai hati korban korupsi bansos,” ungkap Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Senin (23/8).

Kurnia mengatakan, jika melihat dampak akibat perbuatan sang koruptor, hukuman yang pantas adalah penjara seumur hidup. Vonis ini diketahui cuma lebih tinggi setahun ketimbang tuntutan jaksa penuntut umum. “Betapa tidak, melihat dampak korupsi yang dilakukan oleh Juliari, ia sangat pantas dan tepat untuk mendekam seumur hidup di dalam penjara,” kata dia.

Kurnia merinci, setidaknya ada empat poin yang kemudian menjadi rujukan jika Juliari pantas dihukum penjara seumur hidup. Pertama, Juliari melakukan kejahatan saat menduduki posisi sebagai pejabat publik. “Sehingga berdasarkan Pasal 52 KUHP hukuman Juliari mesti diperberat,” papar Kurnia.

Kurnia melanjutkan, alasan kedua yakni perbuatan korupsi bansos tersebut dilakukan Juliari di tengah kondisi pandemi Covid-19. Hal ini, lanjut dia, menunjukkan betapa korupsi yang dilakukan Juliari sangat berdampak, baik dari segi ekonomi maupun kesehatan, terhadap masyarakat.

Alasan ketiga adalah pembacaan nota pembelaan atau pledoi pada saat persidangan berlangsung. Dalam konteks ini, Juliari tak kunjung mengakui perbuatannya.

“Padahal, dua orang yang berasal dari pihak swasta, Ardian dan Harry, telah terbukti secara sah dan meyakinkan menyuap Juliari,” papar Kurnia.

Alasan keempat, hukuman berat bagi Juliari akan memberikan pesan kuat bagi pejabat publik lain agar tidak melakukan praktik korupsi di tengah situasi pandemi Covid-19. Kata Kurnia, vonis 12 tahun penjara terhadap Juliari semakin melengkapi kebobrokan penegak hukum, baik KPK maupun Pengadilan, dalam menangani perkara korupsi bansos.

Terhadap KPK, ICW memandang bahwa lembaga antirasuah itu sedari awal memang takut dan enggan untuk mengembangkan perkara ke pihak-pihak lain. Indikasi itu sudah terlihat sejak proses penyidikan berlangsung.

“Misalnya, keterlambatan melakukan penggeledahan dan keengganan memanggil sejumlah politisi sebagai saksi. Tidak hanya itu, saat fase penuntutan pun tidak jauh berbeda,” papar Kurnia.

“Mulai dari menghilangkan nama sejumlah pihak dalam surat dakwaan, ketidakmauan jaksa untuk memanggil pihak yang diduga menguasai paket pengadaan bansos, dan rendahnya tuntutan terhadap Juliari,” tambahnya.

Kurnia melanjutkan, di luar proses hukum, KPK juga memberhentikan Kasatgas Penyidikan dan Penyidik perkara bansos melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Tak hanya itu, KPK juga membangun dalih seolah-olah ingin menyelidiki dugaan kerugian negara.

“Padahal diduga kuat tindakan itu untuk memperlambat dan melokalisir perkara ini agar berhenti hanya terhadap Juliari,” ucap Kurnia.

Tak hanya itu, ICW juga menyoroti majelis hakim yang menyidangkan perkara tersebut. Menurut dia majelis hakim, selain memberi putusan ringan, mereka juga menolak argumentasi gugatan korban bansos dengan argumentasi yang sangat janggal.

“Begitu pula majelis hakim yang menyidangkan perkara ini. Selain putusannya sangat ringan, terhadap isu lain – gugatan korban bansos – juga ditolak dengan argumentasi yang sangat janggal,” tutup dia.

Sementara mantan Wakil Ketua Komis Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang menyoroti hal meringangkan yang mebnjadi pertimbangan majelis hakim saat menjatuhi vonis 12 tahun penjara kepada eks Menteri Sosial Juliari P Batubara.  Menurut Saut, terkait Juliari mendapatkan cacian oleh masyarakat itu merupakan sanksi sosial atas perbuatannya yang melakukan korupsi pengadaaan bantuan sosial (Bansos) Covid-19.

“Kalau soal caci maki itu dinamika aksi reaksi, sapa suruh korupsi? Jangankan tersangka koruptor yang menangkapi koruptor saja dicaci maki dibilang taliban lah dan lain-lain,” kata Saut, Senin (23/8).

Maka itu, Saut tak habis pikir pertimbangan majelis hakim dalam hal meringankan Juliari itu. Apalagi kasus yang menjerat Juliari jabatannya seorang menteri dan melakukan korupsi bansos.

“Jadi kalau itu jadi alasan yang meringankan maka negeri ini semakin lucu, sebab seorang menteri korupsi itu justru harus jadi pemberantas di tengah pandemi. Dan yang disikat itu namanya jelas-jelas dana bansos bencana alam Covid 19.”

Selain pidana badan, Juliari harus membayar uang denda sebesar Rp500 juta, subsider enam bulan penjara. Hakim juga menambah pidana terhadap terdakwa Juliari membayar uang pengganti Rp14.597.450.000. Bila tak membayar keseluruhan uang pengganti maka akan mendapatkan tambahan pidana selama 2 tahun. Kemudian, Hakim juga mencabut hak politik Juliari sebagai pejabat publik selama 4 tahun.

Sedangkan pernyataan hakim dalam persidangan tersebut sontak menjadi sorotan publik. Banyak warganet tidak terima dengan vonis yang dianggap terlalu ringan untuk koruptor yang menilap uang bansos. Tak sedikit pula warganet yang memberikan sindiran satir menanggapi pernyataan hakim di persidangan tersebut. “Pak hakimnya berjiwa melow ya, gampang enggak tegaan,” ujar seorang warganet.

“Hakimnya sangat bijaksana punya rasa kemanusiaannya luar biasa, peduli sesama, harusnya dibebaskan saja,” sindir warganet.

“Apakah benar dia mendertia? Lebih menderita mana dengan warga penerima bansos?” sahut warganet lain. “Hakimnya seharusnya peka terhadap penderitaan mas juliari,jangan dihukum 12 tahun harusnya dihukum mati agar hilang penderitaan beliau,” ungkap warganet lain.

“Woy, Juliari itu koruptor, bukan YouTuber. Kenapa bully netizen masuk dalam pertimbangan hakim?” timpal warganet lainnya. “Besok kalau ada yang korupsi dipuji saja biar hukumannya nambah,” sahut warganet.

** ass

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -
- Advertisement -

Latest Articles