33.7 C
Bogor
Tuesday, April 30, 2024

Buy now

spot_img

MK Tolak Uji Formal UU KPK

ICW: Kasus Kakap Berpotensi Lepas dari Jeratan KPK

Jakarta | Jurnal Inspirasi

Mahkamah Konstitusi menolak seluruh gugatan uji formil serta sebagian gugatan uji materi Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam sidang yang berlangsung di Jakarta, Selasa (4/5). Penolakan ini direspon ICW (Indonesia Corruption Watch), akan membuka potensi kasus kakap lepas dari jeratan karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki kewenangan menghentikan kasus korupsi.

MK sendiri membacakan putusan terhadap sejumlah gugatan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (4/5). Dengan demikian, seruan 51 guru besar dari universitas di Indonesia agar mengabulkan permohonan tak digubris. Dari tujuh gugatan atas UU KPK, baik itu uji formil maupun uji materiil, hampir seluruhnya ditolak MK.

Pertama, MK menolak perkara nomor 79/PUU-XVII/2019. Permohonan uji formil ini diajukan Pimpinan KPK Jilid IV Agus Rahardjo, Laode Muhammad Syarif, Saut Situmorang dan 11 pemohon lainnya. “Menolak permohonan provisi para pemohon dalam pokok permohonan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya.,” ujar Hakim Ketua MK Anwar Usman MK saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (4/5).

Kemudian, pada perkara nomor 70/PUU-XVII/2019, MK menolak seluruh gugatan uji formil. Namun, dalam perkara ini, MK mengabulkan sebagian gugatan materiil. Gugatan ini diajukan Fathul Wahid, Abdul Jamil, Eko Riyadi, Ari Wibowo, dan Mahrus Ali. Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan gugatan materiil, di antaranya mengenai ketentuan penyadapan harus dilakukan setelah izin tertulis dari Dewan Pengawas KPK.

Hakim berpendapat Pasal 12 B, Pasal 37B Ayat 1 Huruf b, dan Pasal 47 Ayat 2 UU KPK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat. Pasal 12B memuat ketentuan penyadapan harus dilakukan setelah izin tertulis Dewas KPK dan Pasal 37B Ayat 1 Huruf b soal tugas Dewas terkait izin penyadapan, penggeledahan serta penyitaan.

Poin berikutnya, MK memutuskan bahwa frasa ‘dipertanggungjawabkan kepada Dewan Pengawas’ dalam Pasal 12C bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.

Sementara Pasal 12C UU KPK menyatakan bahwa penyadapan harus dipertanggungjawabkan ke Pimpinan dan Dewas KPK. Tapi putusan MK mengubah ketentuan tersebut menjadi, “Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang telah selesai dilaksanakan harus dipertanggungjawabkan ke pimpinan KPK dan diberitahukan ke Dewas paling lambat 14 hari kerja sejak penyadapan.”

Berikutnya, MK juga memutus perkara nomor 71/PUU-XVII/2019 yang diajukan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak. Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa permohonan gugatan tidak dapat diterima. Selain itu, MK menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya.

MK juga menolak gugatan dengan perkara nomor 77/PUU-XVII/2019 yang diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar, Richardo Purba, Leonardo Satrio Wicaksono, dan Jultri Fernando Lumbantobing.

Selain itu, MK juga menolak gugatan dengan perkara Nomor 73/PUU-XVII/2019 yang diajukan Ricki Martin Sidauruk dan Gregorianus Agung. “Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Anwar yang membacakan putusan MK tersebut.

MK turut menolak gugatan pengujian formil dan pengujian materiil UU KPK dengan nomor perkara 59/PUU-XVII/2019. Menurut hakim MK, permohonan para pemohon tidak dapat diterima dan menolak permohonan untuk seluruhnya.

Terakhir, MK juga menolak gugatan dengan nomor perkara 62/PUU-XVII/2019 yang diajukan Gregorius Yonathan Deowikaputra. Dalam perkara ini, MK menolak seluruh permohonan provisi pemohon dalam pokok permohonan uji formil dan materiil.

Sementara peneliti ICW, Lalola Easter, mengatakan setahun aturan ini diterapkan, kasus kelas kakap berpotensi lepas dari jeratan karena KPK memiliki kewenangan menghentikan kasus korupsi. Penghentian kasus terbaru adalah BLBI yang melibatkan Sjamsul Nursalim dengan potensi kerugian negara Rp4,58 triliun.

Kasus kelas kakap lain juga berpontensi lepas dari jeratan yaitu Century, KTP-Elektronik, kasus korupsi PLTU Riau-1, Pelindo II, “yang melibatkan petinggi lembaga negara, struktur korupsi aktor lintas lembaga negara dan daerah, dan kerugian negara atau nilai suap triiunan rupiah.”

Bukan hanya itu, kata Lalola Easter, di bawah Undang Undang KPK terbaru, lembaga ini telah mengalami apa yang disebut kebocoran informasi operasi penggeledahan korupsi di Kalimantan Selatan, termasuk penundaan penggeledahan kasus politikus PDI Perjuangan Harun Masiku. “Ketika awal-awal kasus Harun Masiku itu penggeledahan tidak jadi dilakukan,” kata Lola – sapaan Lalola Easter, Senin (3/5).

Lola juga menyoroti kasus-kasus yang membuat citra KPK memburuk ini disebabkan adanya Dewan Pengawas yang merupakan amanat Undang Undang KPK yang baru. Keberadaan dewan pengawas yang dipilih langsung Presiden Joko Widodo ini, menambah panjang birokrasi sehingga berpotensi menyebabkan informasi penggeledahan bocor.

“Salah satu hambatannya (penggeledahan) adalah karena birokrasi yang harus ditempuh lewat dewan pengawas,” tambah Lola.

Sejauh ini ICW mencatat terjadi penurunan kasus tangkap tangan oleh KPK. Di bawah kepemimpinan Firly Bahuri, sepanjang 2020 kemarin, KPK hanya melakukan tujuh operasi tangkap tangan. Jumlah ini jauh dari tahun-tahun sebelumnya yaitu 21 kali (2019), 30 kali (2018), dan 19 kali (2017).

Sementara itu, dampak Undang Undang KPK ini juga ditunjukkan lewat skor indeks persepsi korupsi. Skor CPI dan peringkat global Indonesia turun drastis, dari skor 40 pada tahun lalu menjadi hanya 37 pada 2020. Sementara peringkat global Indonesia dari 85 dunia kembali turun menjadi 102.

“Cek pernyataan ketua KPK yang akan selalu mengutamakan pencegahan dari pada penindakan, tapi menurut saya dalam tafsir yang keliru,” kata Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman, Senin (3/5).

Zaenur menambahkan, antara pencegahan dan penindakan korupsi perlu beriringan, “agar tidak terulang.” Selain itu, Zaenur juga memperhatikan KPK saat ini yang “seakan-akan istilahnya adalah cabang dari kepolisian. Bahkan sebagian mengatakan seperti Polres di Kuningan”. Hal ini menurutnya, dikarenakan posisi-posisi strategis di KPK saat ini dikuasai kepolisian.

“Apakah itu buruk? Tidak. Tapi bahwa KPK diciptakan untuk men-trigger kepolisian dan kejaksaan. Tapi sekarang banyak didominasi lembaga dari kepolisian, menurut saya ini terbalik,” kata Zaenur. Ia juga menyoroti gaya-gaya konferensi pers KPK di mana terdapat tersangka yang diikutsertakan dengan menggunakan rompi oranye menghadap dinding, dengan barang bukti berupa uang yang dicairkan.

“Kemudian alat buktinya dipampang, kalau berupa uang dicairkan terlebih dahulu menjadi uang tunai,” katanya.

Seruan kepada MK untuk mengabulkan permohonan membatalkan Undang Undang KPK sebelumnya disampaikan Koalisi Guru Besar Antikorupsi. Koalisi yang mengklaim terdiri dari 51 guru besar dari universitas di Indonesia berharap MK mengembalikan kondisi pemberantasan korupsi seperti sedia kala.

Salah satu anggota koalisi adalah Guru Besar Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Prof Sulistyowati Irianto. “Kawan-kawan menginginkan supaya dikembalikan minimal seperti dulu, sebelum direvisi UU KPK itu. Mengapa? Karena korupsi itu tindakan yang sangat extraordinary,” kata Prof Sulistyowati, Senin (3/5).

Lebih lanjut ia menilai UU KPK saat ini memposisikan KPK sebagai lembaga biasa. Keputusan MK akan menjadi bayaran mahal untuk Indonesia ke depan. Selain Profesor Sulistyowati, mereka yang bergabung dalam koalisi ini antara lain Guru Besar FEB UI Emil Salim, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra. Lalu, Guru Besar FH UGM Sigit Riyanto, Guru Besar FH UII, Ni’matul Huda, Guru Besar STF Driyarkara Franz Magnis-Suseno, dan Guru Besar FISIP Unair, Ramlan Surbakti.

**ass

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -
- Advertisement -

Latest Articles