25.6 C
Bogor
Tuesday, April 23, 2024

Buy now

spot_img

Bersabar di Tengah Kemaksiatan

Ada keutamaan berpuasa yakni bersabar menjaga puasa di tengah maraknya kemaksiatan. Dikutip dari risalah Jalsah Itsnain Majelis Rasulullah SAW Jawa Barat, hakikat puasa tidak cuma sekadar meninggalkan makan dan minum, akan tetapi Allah mensyariatkan ibadah puasa ini untuk menghasilkan ketakwaan.

Para ulama mengatakan, puasa yang benar adalah puasa dari kemaksiatan dengan meninggalkannya, menjauhinya, menahan diri tidak melakukannya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya”. (HR. Al-Bukhari No 1804).

Dalam riwayat lain disebutkan dari Abu Hurairah. “Berapa banyak orang yang berpuasa hanya mendapatkan dari puasanya rasa lapar dan haus saja, dan berapa banyak orang yang melakukan qiyamullail hanya mendapatkan dari qiyamullailnya terjaga (begadang) saja.” (HR. Ahmad No 8693).

Para sahabat dan genarasi terdahulu sangat bersemangat menjadikan puasa sebagai pembersih diri dari maksiat dan dosa. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata: “Puasa itu tidak hanya dari makan dan minum saja, akan tetapi juga (puasa) dari kedustaan, kebatilan dan kesia-siaan”.

Jabir bin Abdillah Al Anshori berkata: “Jika kamu berpuasa, maka hendaklah berpuasa juga pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu dari kedustaan dan dosa. Dan jauhilah menyakiti pembantu, jadikanlah hari berpuasamu penuh ketundukan dan ketenangan, dan janganlah kamu jadikan hari fitri dan hari puasamu sama saja.”

Dari Hafshah binti Sirin, beliau adalah wanita alim dari kalangan Tabiin berkata: “Puasa itu laksana benteng, selama pelakunya tidak merusaknya, dan perusaknya adalah ghibah.”

Dari Maimun bin Mahran berkata: “Puasa yang paling mudah adalah meninggalkan makanan dan minuman”. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Ghibah itu membahayakan puasa. Telah dikisahkan dari ‘Aisyah dan menjadi pendapat Imam Auza’i juga berakata: “Sungguh ghibah itu membatalkan puasa, dan wajib mengqadha puasa pada hari tersebut.”

Ibnu Hazm telah berlebihan dengan berkata: “Setiap maksiat yang sengaja dilakukan oleh orang yang berpuasa membatalkan puasanya jika dia mengingat puasanya, baik berupa perbuatan maupun perkataan; berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:”Tidak ada perkataan kotor dan bodoh”.

Berdasarkan sabda Nabi lainnya: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh jika dia meninggalkan makan dan minumnya.” (Fathul Baari: 4/104).

Para Mufassir rahimahullah berkata: “Adapun hal-hal yang diwajibkan kepada kita untuk berpuasa adalah bisa jadi kalian akan merasa aneh jika saya mengatakan: “Sungguh yang diwajibkan kepada kita untuk berpuasa darinya adalah puasa dari kemaksiatan, manusia wajib berpuasa dari seluruh kemaksiatan; karena inilah yang menjadi tujuan awal berpuasa, berdasarkan firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183).

Allah tidak mengatakan: “Agar kalian merasa lapar!”, atau “Agar kalian merasa haus!” atau “Agar kalian menahan diri dari (menggauli) istri!”, tidak. Allah berkata: “Agar kalian bertakwa”. Inilah tujuan utama dari puasa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah merealisasikan hal itu dan menguatkan dengan sabdanya: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh jika dia meninggalkan makan dan minumnya”.

Jadi, manusia yang berpuasa dari kemaksiatan kepada Allah merupakan puasa yang sebenarnya. Adapun puasa zahir adalah puasa dari semua yang membatalkan puasa. Menahan diri dari semua yang membatalkan puasa dalam rangka beribadah kepada Allah dari mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari.

Adapun puasanya hati adalah tujuan yang utama yaitu puasa dari seluruh kemaksiatan kepada Allah. Atas dasar inilah, barangsiapa yang berpuasa dengan puasa zahir fisik saja, namun dia tidak berpuasa hati, maka puasanya sangat kurang.
Sama halnya seperti sholat yang tidak khusyu. Apabila seseorang sholat dengan fisiknya dan belum sholat dengan hatinya, maka sholatnya dinilai tidak sempurna, akan tetapi tetap sah secara zahir, sah tapi sangat kurang.
Demikian hakikat puasa yang sebenarnya.

**ass

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -
- Advertisement -

Latest Articles