29.9 C
Bogor
Friday, April 26, 2024

Buy now

spot_img

PJP Tanpa Frase Agama Berpotensi Rusak Kebinekaan

Jakarta | Jurnal Inspirasi

Peta Jalan Pendidikan (PJP) Nasional 2020-2035 yang disusun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memicu kritik. Pasalnya PJP itu disinyalir tidak sejalan dengan UUD 1945 Pasal 31 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terutama tidak dicantumkannya frasa agama dalam visi pendidikan Indonesia 2035.

Ketua Fraksi PKS DPR RI Jazuli Juwaini mengapresiasi dan mendukung kritik yang dilontarkan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. “Kritik Ketum Muhammadiyah Profesor Haedar Nasir sangat fundamental dan elementer. Bagaimana mungkin agama iman dan takwa tidak termaktub dalam visi peta jalan pendidikan Indonesia, padahal hal itu jelas ada dalam visi pendidikan nasional menurut UUD 1945 dan UU Sisdiknas,” kata Jazuli.

Menurut Jazuli, sikap PP Muhammadiyah itu sejalan dengan sikap Fraksi PKS melalui anggotanya di Komisi X DPR. Dia juga telah mengecek dan mendengar penjelasan Anggota PKS di Komisi X DPR bahwa PJP tersebut juga telah mendapat respon dan kritik tajam dari anggotanya, mulai dari alas hukum, hingga paradigmanya yang tidak mengacu pada UU Sisdiknas dan UUD 1945.

“Atas seluruh kritik dan masukan akhirnya di Komisi X hanya diakui sebagai pra konsep dan bukan peta jalan pendidikan. Untuk sampai pada peta jalan harus dilakukan secara cermat, dibahas secara terbuka dan transparan, melibatkan seluruh stakeholder pendidikan nasional, dan terpenting wajib merujuk UUD 1945 dan UU Sisdikanas,” terang Jazuli.

Anggota Komisi I DPR ini pun mengucapkan terima kasih kepada ormas Islam seperti Muhammadiyah yang secara tekun dan konsisten menjaga ruh pendidikan nasional yang membentuk karakter generasi bangsa yang utuh dan menyeluruh baik secara kognitif, afektif, dan konatif.

“Pendidikan kita menurut konstitusi mementingkan karakter keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia sebagai pondasi kecerdasan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga benar-benar memadukan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Jadi peran agama sangat penting, jangan sampai dihilangkan sehingga pendidikan menjadi sekularistik,” tegas legislator Dapil Banten itu.

Jazuli pun mengutip Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945, bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang.

Ayat (5) menyebut bahwa Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Sementara, sambung dia, Visi Pendidikan Indonesia 2035 berbunyi, “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila.”

“Dalam visi tersebut, frasa “agama” tidak termaktub. Justru budaya masuk sebagai acuan nilai mendampingi Pancasila. Padahal UUD 1945 Pasal 31 jelas menempatkan agama sebagai rujukan nilai pendidikan berdampingan dengan nilai-nilai kebangsaan dan tujuan bernegara,” sesal Jazuli.

Sebelumnya Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mempertanyakan raibnya frasa agama dalam PJP. Haedar menyebut hilangnya frasa ‘agama’ merupakan bentuk melawan Konstitusi (inkonstitusional). Sebab merunut pada hierarki hukum, produk turunan kebijakan seperti peta jalan tidak boleh menyelisihi peraturan di atasnya yaitu: Peraturan Pemerintah, UU Sisdiknas, UUD 1945 dan puncaknya adalah Pancasila.

“Saya bertanya, hilangnya kata agama itu kealpaan atau memang sengaja? Oke kalau Pancasila itu dasar (negara), tapi kenapa budaya itu masuk?” tanya Haedar Nashir seperti dilansir dari laman resmi Muhammadiyah, Selasa (9/3/2021).

Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 diluncurkan Kemendikbud guna menjalankan amanat untuk mencerdaskan bangsa. Peta jalan disusun sebagai rambu-rambu dalam sistem pendidikan nasional hingga 2035 mendatang. Meskipun hingga saat ini penyusunan peta jalan itu belum kunjung rampung.

Frasa agama juga absen dari Visi Pendidikan Indonesia 2035. Di mana visi itu hanya berbunyi, ‘Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai ‘budaya’ Indonesia dan Pancasila’.

Haedar memandang, hilangnya frasa ‘agama’ sebagai acuan nilai berdampak besar pada aplikasi dan ragam produk kebijakan di lapangan. Padahal, pedoman wajib di atas Peta Jalan Pendidikan Nasional yaitu ayat 5 Pasal 31 UUD 1945, poin pertama Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menjelaskan secara eksplisit bahwa agama sebagai unsur integral di dalam pendidikan nasional.

“Kenapa Peta Jalan yang dirumuskan oleh Kemendikbud kok berani berbeda dari atau menyalahi pasal 31 UUD 1945. Kalau orang hukum itu mengatakan ini Pelanggaran Konstitusional, tapi kami sebagai organisasi dakwah itu kalimatnya adalah ‘tidak sejalan’ dengan Pasal 31,” kata dia.

“Jadi inilah yang sering mengundang tanya, ini tim perumusnya alpa, sengaja, atau memang ada pikiran lain sehingga agama menjadi hilang. Nah, problem ini adalah problem yang serius menurut saya yang perlu dijadikan masukan penting bagi pemerintah. Agar kita berpikir bukan dari aspek primordial, tapi berpikir secara konstitusional, karena itu sudah tertera langsung tanpa perlu interpretasi di dalam Pasal 31,” terangnya.

Haedar mengaku setuju jika ide dalam sumber nilai konstruksi kehidupan kebangsaan berasal dari tiga unsur, yaitu Pancasila, Agama dan Budaya. Karenanya, salah satu unsur itu tidak boleh dihilangkan karena akan menimbulkan kecurigaan publik.
Haedar tak menepis bahwa kelalaian dalam penyusunan draf Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 memicu kecurigaan adanya keterkaitan antara keputusan kontroversial Kemendikbud terkait SKB 3 Menteri yang dirasa begitu sensitif terhadap urusan pakaian keagamaan.

Dia menjelaskan, keputusan dalam SKB 3 Menteri memiliki problem yang sama dengan Peta Jalan Nasional 2020-2035, yaitu kontradiktif dan inkonsisten. Alasannya, pasal 31 UUD 1945 ayat 1 dan 2 telah mengatur bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan negara wajib membiayai. Pada perkembangannya, negara mewujudkan pasal tersebut melalui sistem Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

“Nah poin ini yang kami kritik kemarin bahwa sanksi terhadap sekolah yang mewajibkan pakaian khusus keagamaan dicabut BOS-nya dalam SKB 3 Menteri itu bertentangan dengan ayat 2 Pasal 31 ini, kenapa dikait-kaitkan dengan pakaian khusus keagamaan misalnya,” tegas Haedar.

Dia menegaskan, pihaknya juga setuju akan inklusivitas sekolah. Tetapi mestinya dilakukan dengan lebih bijak, bukan langsung menodongnya dengan SKB. Haedar khawatir pendekatan kekuasaan seperti SKB yang dilakukan tanpa mengindahkan kearifan lokal agama dan budaya tertentu, berpotensi merusak Kebinekaan Indonesia.

Sementara itu jika hanya dilakukan sepihak dan inkonsisten hanya pada satu agama tertentu maka timbul bermacam kecurigaan. Haedar mengambil contoh dengan salah satu perayaan hari keagamaan yang memaksa dihentikannya semua kegiatan publik pada hari itu, termasuk bagi pemeluk agama berbeda.

“Nah kalau ada kasus seperti ini apa tidak keluar juga SKB 3 Menteri untuk melarang seluruh Pemda yang melakukan usaha diskriminasi? Ini dampaknya luas. Saya termasuk menyarankan jangan ada larangan karena itu sudah melekat dengan agama dan budaya,” pungkasnya.

** ass

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -
- Advertisement -

Latest Articles