Jakarta, Jurnal Inspirasi
Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja jika disahkan berpotensi banyak hak cuti yang diperoleh para pekerja saat ini hilang. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengklaim, hak cuti yang berpotensi hilang misalnya cuti haid, menikah, beribadah, dan lain sebagainya sehingga dinilai banyak merugikan kaum buruh. Kondisi ini memberikan karpet merah untuk korporasi dan keset bagi buruh. “Cuti panjang selama 2 bulan setiap 6 tahun masa kerja hilang,” kata Presiden KSPI Said Iqbal di Jakarta, Minggu (23/2).
Dia menjelaskan, berdasarkan pada pasal 93 UU No 13 Tahun 2003, upah pekerja tetap dibayar ketika
a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah (dibayar untuk selama 3 hari), menikahkan anaknya (dibayar untuk selama 2 hari) mengkhitankan anaknya (dibayar untuk selama 2 hari), membaptiskan anaknya (dibayar untuk selama 2 hari), isteri melahirkan atau keguguran kandungan (dibayarkan untuk selama 2 hari), suami atau isteri atauanak atau menantu atau orang tua atau mertua (dibayar untuk selama 2 hari), atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia (dibayar untuk selama 1 hari);
d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara; e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha; g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
Sementara, kata Said Iqbal, di dalam RUU Cipta Kerja, pengusaha hanya diwajibkan membayar upah pekerja yang tidak masuk bekerja dengan alasan sebagai berikut:
a. pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena berhalangan; b. pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya dan telah mendapatkan persetujuan pengusaha;
c. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya karena kesalahan pengusaha sendiri atau halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha; atau
d. pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena menjalankan hak waktu istirahat atau cutinya.
“Dengan membandingkan apa yang diatur dalam omnibus law dan UU No 13 Tahun 2003, bisa kita lihat dengan jelas; ada beberapa cuti yang hilang. Misalnya haid, pekerja menikah, menikahkan anak, mengkhitankan anak, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia; menjalankan tugas negara, hingga menjalankan kewajiban ibadah seperti haji,” kata Said.
Tidak hanya itu, menurut pria yang juga menjadi Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) ini, istirahat panjang selama 2 bulan setiap kelipatan 6 tahun masa kerja juga terancam hilang.
“Dalam Pasal 79 Ayat (2) huruf d UU No 13 Tahun 2003 disebutkan, istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerjaselama 6 tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama,” jelasnya.
Tetapi, lanjutnya, dalam RUU Cipta Kerja dikatakan, perusahaan dapat memberikan cuti panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. “Kata dapat di sini mengandung arti, istirahat panjang bukan lagi kewajiban bagi pengusaha. Kalau perusahaan tidak bersedia memberikan, atau tidak mau mengatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; maka buruh tidak akan mendapatkan istirahat panjang,” jelasnya.
KSPI juga menyatakan bahwa banyak hak buruh yang dihilangkan dalam RUU Cipta Kerja. Said Iqbal menyebutkan, ada 9 alasan lagi KSPI menolak Omnibus Law. Sembilan alasan tersebut adalah: (1) hilangnya upah minimum, (2) hilangnya pesangon, (3) outsourcing bebas diterapkan di core bisnis, (4) kerja kontrak tanpa batasan waktu, (5) waktu kerja yang eksploitatif, (6) TKA buruh kasar berpotensi bebas masuk ke Indonesia, (7) mudah di PHK, (8) jaminan sosial terancam hilang, dan (9) sanksi pidana hilang.
Oleh karena itu, buruh Indonesia dan KSPI dengan tegas menolak Omnibus Law. Pihaknya meminta pemerintah dan DPR secara arif dan bijaksana tidak mengesahkan beleid yang berpotensi mendegradasi kesejahteraan kaum buruh ini.
Asep Saepudin Sayyev |*