Jakarta | Jurnal Inspirasi
Permintaan Gerakan Anti Radikalisme (GAR) Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) agar Prof Dr Din Syamsuddin MA dicopot dari dari Majelis Wali Amanat (MWA) ITB berbuntut panjang. Kini bermunculan pula dukungan untuk Din Syamsuddin yang juga datang dari alumni ITB. Seperti yang disampaikan oleh Koesmawan, alumnus Teknik Industri ITB tahun 1971.
Dikutip dari Gelora, Senin (29/6), dia membuat
surat pernyataan dukungan agar Din Syamsuddin tetap menjadi anggota MWA ITB.
Surat itu sudah ditandatangani 172 alumni ITB. Ada tiga poin pernyataan yang
ditulis dalam pernyataan itu. Pertama, Din Syamsudin telah dipilih oleh Senat
Akademik ITB sebagai salah satu anggota Majelis Wali Amanat ITB periode
2019-2024.
“Kami percaya Senat Akademik ITB tentu telah
mempertimbangkan dengan matang pengajuan beliau berdasarkan kapasitas
kenegarawanan dan intelektualitas yang beliau miliki,” punyi pernyataan.
Kedua, kami bangga bahwa sejauh ini almamater
kami ITB selalu menjunjung tinggi kebebasan akademik setiap civitas
akademikanya. Dan hal ini merupakan ciri penting suatu perguruan tinggi
berkualitas dunia.
“Kami mendukung seluruh civitas akademik ITB
termasuk anggota Majelis Wali Amanat ITB, dalam hal ini Prof Dr KH Din Syamsudin,
untuk bebas menyampaikan aspirasi dan pandangannya sesuai dengan kapasitas
pribadinya, sebagai kontribusi pemikiran bagi bangsa dan negara ini,” bunyi
pernyataan ketiga.
Dukungan juga datang dari Rizal Ramli. Dalam ciutannya di akun Twitter-nya @RamliRizal, Sabtu (27/6), dia mengaku malu sebagai alumnis ITB. “Sebagai ex Mahasiswa ITB, saya malu Kampus Ganesha yang hebat, biasa berfikir luas, kok cara berfikirnya jadi super-cupet, dangkal dan hanya pintar menjilat kekuasaan, bukan kritis, analitik dan innovatif. Pantesan sekarang ranking ITB hanya 370-an di dunia,” tulisnya, Sabtu (27/6).
Sebelumnya viral di media sosial tulisan
berjudul “ITB Butuh Din Syamsuddin” oleh Dr Syahganda Nainggolan. Dalam surat
yang juga dimuat rmol.id Sabtu (27/6) itu Syahganda menyoroti beredarnya
pernyataan Ketua MWA ITB Yani Panigoro bahwa Din Syamsuddin akan mengundurkan
diri dari anggota MWA ITB karena desakan alumni ITB.
Namun Syahganda curiga itu sebagai alasan
tersebut mengada-ada. “Sebab, tuntutan Prof Din Syamsudin mundur dilakukan oleh
kelompok yang mengatasnamakan Alumni ITB Anti Radikalisme atau Gerakan Anti
Radikalisme Alumni ITB,” ujarnya.
Padahal lanjutnya, dalam kealumnian ITB hanya
dikenal Ikatan Alumni ITB Pusat dan Ikatan Alumni ITB Daerah serta Ikatan
Alumni Jurusan. Semuanya dalam satu wadah resmi yang diketuai Dr. Ridwan
Jamaluddin.
“Alasan yang ditujukan terhadap penolakan Din sebagai anggota MWA bahwa Prof Din radikal sangat membingungkan,” kata alumnus Teknik Geodesi dan Geomatika, serta S2 Studi Pembangunan ITB ini. Syahganda beralasan, pertama, Din dikaitkan radikal karena pernah menghadiri acara HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) pada tahun 2007.
Padahal pada tahun 2017, sepuluh tahun
kemudian, Presiden Jokowi mengangkat Din Syamsudin sebagai Utusan Khusus
Presiden untuk Dialog dan Pembangunan Perdamaian serta Peradaban Dunia.
Pada saat ditanya wartawan alasan pengangkatan Din setingkat menteri itu, Jokowi menyebutkan dia sudah mengetahui jejak rekam dan pondasi kokoh Din Syamsuddin di bidang tersebut. Bahkan, Jokowi merayunya untuk mau menerima amanah itu demi kepentingan negara. Kedua, lanjut Syahganda, Din disebutkan mengkritik MK (Mahkamah Konstitusi) atas hasil Pilpres 2019 yang lalu.
Alasan ini juga membingungkan. Sebab, Din
Syamsuddin kala itu meminta masyarakat agar menerima legalitas hasil Pilpres
yang diputuskan MK. Namun tetap perlu menyimpan rasa curiga atas keputusan MK
yang terasa ganjil tersebut.
“Dalam posisi ini sebenarnya Prof Din
Syamsuddin memberikan kanalisasi pada emosi puluhan juta rakyat yang merasa
Pilpres diwarnai berbagai kecurangan. Sehingga, harusnya sikap Prof Din
Syamsuddin ini dikatagorikan sikap negarawan, bukan radikal,” jelas Syahganda.
Ketiga, Prof Din Syamsuddin dikatakan banyak
mengkritik pemerintahan Jokowi. Hal ini melanggar Statuta ITB dan MWA ITB yang
mengatakan bahwa hubungan ITB dan pihak pemerintah harus baik-baik saja. Hal
ini sedikit membingungkan, karena ITB dan jajaran profesornya dari dulu
tercatat sangat lumrah bersikap kritis terhadap pemerintah.
Pada masa Soeharto, bahkan rumah Rektor ITB
Professor Iskandar Alisyahbana dihujani peluru oleh tentara pendukung rezim
Soeharto, karena rektor tersebut mendukung gerakan mahasiwa ITB 77/78 yang
meminta Soeharto lengser. Sampai akhir hayatnya, Profesor Iskandar Alisyahbana
tidak menyesal mendukung gerakan mahasiswa saat itu.
Kebebasan ilmiah telah membuat kampus ITB
terkenal menghargai sikap kritis. Dengan demikian, sikap Prof Din Syamsuddin
yang saat ini sering kritis terhadap pemerintah Jokowi harus dimaklumi sebagai
bagian demokrasi, yang sejak dulu diperjuangkan ITB.
ASS|*