29.6 C
Bogor
Wednesday, May 15, 2024

Buy now

spot_img

Bupati Kuansing dengan LSM-KIC Berdamailah !

jurnalinspirasi.co.id – Maaf saya ikut nimbrung, dimana saya sempat membaca “perseteruan” aktivis LSM KIC dengan Bupati Kuansing, yang akhirnya berujung pada gugatan Bupati, berperkara di Pengadilan Negeri, bahwa berita yang disampaikan aktivis KIC, disimpulkan merupakan perbuatan penghinaan terhadap kehormatan Bupati.

Saya ketika membaca “bad news” tersebut sempat menarik napas, menyesali peristiwa itu terjadi, sebab saya prihatin dan tampak kurang cerdas, dan tidak dewasa dalam merespon opini dan wacana cerdas publik oleh LSM/NGO di media massa, dalam hal ini media sosial.

Padahal gerakan reformasi telah mengamanatkan budaya demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), tercipta keakuinya berbagai LSM/NGO di masyarakat, sehingga budaya kerja birokrasi pemerintahan membaik, yakni adanya partisipatif-keterlibatan masyarakat, transfaran dan akutabel. Hal itu merupakan sesuatu keniscayaan dan kebutuhan untuk memajukan negeri yang berkemajuan dan beradab, serta beradat.

Kita sudah sangat paham memang, bahwa dalam aktivitas politik….”tiada kawan dan lawan yang abadi.”. Artinya sebelumnya mereka kawan seiring, setelah itu berubah menjadi lawan atau musuh”.

Itu budaya politik superpragmatisme yang berlangsung di Parpol, yang memperebutkan kekuasaan penyelenggaraan Pemerintahan, terutama eksekutif dan legislatif. Dan sesungguhnya tidak berlaku buat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO) seperti yang diperankan NGO KIC versus Bupati Kuansing.

Keberadaan peran dan fingsi LSM spt KIC dalam negara demokratis merupakan keharusan untuk mewujudkan masyarakat madani (civil society) harus ada kontrol dan “ceck and balancing, yang menjadi cita-cita gerakan Reformasi thn 1998, yang hasil salah satunya pemekaran Kab Inhu, dengan 12 Kecamatan menjadi wilayah Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) Oktober 1999.

Apa yang terjadi sikut menyikut, pertarungan di parpol berebut kekuasaan yang mengabaikan etika dan moral secara liberal tersebut, sesungguhnya bertentangan dgn sistem nilai Pancasila dan pasal-pasal dalam konstitusi negara UUD 1945, terutama pasal “Kebebasan mengemukakan pendapat”.

Janganlah sampai Pancasila, ideology mati, hanya retorika dan alat mainan dalam berpidato para pejabat negara/pemerintahan saja, agar rakyat yang mendengarnya..”terkesima, tidur lelap, ..” masa bodoh (apatis alias “cuek”) dengan berbagai problem sosial nagori yang dibuat para pejabat. Dengan ditumpulkannya daya analitik dan kritis warganya yang peduli dan cerdas akan berakibat fatal bagi upaya memajukan nagori.

Padahal daya kritis kaum cerdik-pandai menyoroti berbagai persoalan dan permasalahan sosial ekonomi, sosial politik dan sosial budaya dalam kehidupan nagori Kuansing, itu sebenarnya

merupakan energi positif dalam rangka mendorong perbaikan demi perbaikan kehidupan sosial kemasyarakatan, dan sekaligus mempercepat proses pembangunan agar sukses dan tepat sasaran, tidak boros dan koruptif.

Demikian pandangan dan sikap yg baik dan bijak dari seorang Bupati selaku Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan Kab. Kuansing menanggapi Kasus aktivis KIC sewajarnya saja, sikap terbaik berlapang dada, legowo. Janganlah sampai dibawa ke ranah hukum formil, kejaksaan dan peradilan  untuk diperkarakan dengan materi dakwaan, yang kini sedang disidangkan di Pengadilan Negeri, dimana KIC dituduh menghina Bupati.

Sehubungan dengan itu, maka menurut saya, Bupati terlalu berlebihan sikapnya yakni arogan. Bahkan saya berani berpendapat, jika kasus ini terus berlanjut proses hukumnya. Ini adalah sebuah fakta bahwa bupatii adalah seorang sosok otoriter, diktator, dengan kesombongan (arogansi) kekuasaannya yang disalah gunakan (abuse of power) oleh pejabat yg telah diberi amanah oleh rakyat untuk memimpin (leadership), bahkan mengayongi rakyat secara persuasif dan edukatif.

Bukan menakuti dan mengancam warganya aktivis LSM yang kritis dengan sanksi hukum formil, karena keberadaan LSM yang dilindungi UU. Mereka aktifis KIC memiliki energi kecerdasan, keberanian dan kebebasan berpendapat, yang memang diberi ruang gerak oleh Undang-undang, apalagi UUD 1945.

Sekali lagi, KIC bukan orpol yang merupakan konstestan petarung Bupati untuk Pilkadal nanti, akan tetapi KIC adalah kumpulan sekelompok kecil kaum intelektual, yang seharusnya menjadi mitra sejati (partnership) Bupati Kuansing untuk membangun nagori Kuansing.

Jika cara otoriter, diktator dan arogansi ini dilakukan para pejabat negeri, dalam hal ini Bupati Kuansing, dan kemudian menjadi tradisi dan budaya anti dan alergi kritik terhadap jalannya roda pemerintahan dan menyoroti pola berperilaku Bupatinya yang faktual dan menyimpang dari norma sosial dan budaya. Dengan kata lainnya Bupati tidak siap mental dikritik dan atay tidak mau menerima kritik, maka akan berdampak negatif terhadap kemajuan masyarakat Kuansing.

Ingat Bupati Kuansing itu jabatan publik, dalam.hal ini bukan personalnya yg dikritik KIC. Jabatan publik tidak kebal hukum. Artinya kritik yang datang dari LSM tersebut, justru dilindungi dan dijamin UU yang merupakan perbuatan dan tindakan yang cerdas dan syah (legal) di negara Republik Indonesia yang.berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Saya tak bisa membayangkan jika Bupati Kuansing menang berperkara di Pengadilan Negeri, aktivis KIC dihukum masuk penjara sebagai narapidana, ini merupakan preseden buruk bagi nagori kita Rantau Kuansing. Manusia-manusia  yang cerdas, pemikir kritis, pemberani beramar makruf mungkar seperti aktivis LSM KIC ini seharusnya menjadi mitra sejati, jangan sampai hilang di bumi Kuansing.

Jika tidak, maka dalam berkehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara akal sehat tidak dipakai lagi dalam proses pembangunan daerah Kuansing di segala bidang ipoleksosbudhamkan.

Selanjutnya yang akan muncul dalam kehidupan masyarakat sikap mental warga masyarakatnya yang berwatak   “yes man”, “asal bapak senang/ABS”, yang mengutamakan dalam pola berperilakunya menjunjung tinggi “wabil fulus”, “wani piro” dan “wabil bulus,” yang sesat dan menyesatkan seperti perilaku syeitan.

Sistem Nilai, Norma dan Kaidah moral dan etika beragama dan berPancasila dicampakan dan sirna dalam kehidupan kita. Yang ada kini adalah nilai budaya sesat dan menyesatkan superpragmatisme…tidak ada kawan dan lawan.yang abadi, yang ada kepentingan pragmatis yang abadi.

Demikian itu budaya parpol, kaum politisi, bukan budaya  LSM KIC sebagai kaum intelektual, cendekiawan yang terus berpikir dengan otak dan hatinya untuk menegakan keadilan dan kebenaran. Mereka aktivis LSM KIC bukan kompetitor Bupati dalam pileg  dan atau pilkadal nanti.

Selamat berjuang aktivis LSM KIC untuk “ceck and balance” guna mewujudkan masyarakat madani (civil society) yang berkemajuan dan beradab/beradat di Kabupaten Kuansing Provinsi Riau.

Akhirnya saya mengusulkan dan menyarankan, akan lebih bijaksana sikap Bupati terhadap Tim LSM KIC, berdamailah, saling memaafkan atas kesalahan dan kekhilafan selaku manusia-hamba Allah yang dhoif, dan perkara kasus tuduhan “penghinaan” aktivis LSM KIC terhadap Bupati yang tengah disidangkan agar dihentikan dan dicabut saja.

Dan segeralah berdamai, dan mari kita bersama-sama bergandengan tangan membangun Kuansing menuju Indonesia Emas thn 2045 yang penuh tantangan, agar keadilan dan kemakmuran rakyat terwujud di negeri Pacu Jalur batua kita,..”ingek dunsanak di kampuang”, yang kita harus majukan tingkat kehidupannya agar sejahtera. Jangan dihabiskan tenaga dan pikiran kaum elite nsgori, dengan konflik sosial yang kontraproduktif, bertikai di pengadilan. Berdamailah !!!

Ingat pulo moto Kuansing dengan kearifan lokalnya (local wisdom) yang diwariskan para tetuo kito, berbunyi: ‘Basatu Nagori Maju”

“Tigo Tali Sapilin”, yang mengingatkan kita warga Kuansing, agar bekerjasama dan bersatu  ketiga pilar: para umaro, ulama/pemuka adat dan cerdik-pandai dalam memajukan Nagori Rantau Kuantan dan Singingi, Riau.

Dalam kasus bersiterunya Bupati vs KIC, sesungguhnya dan atau seharusnya para Ulama (MUI) dan Tokoh Masyarakat Adat Melayu (LAM) Kuansing berperan selaku juru damai, mencari titik temu dan solusi terhadap miskomunikasi yang terjadi. Janganlah membiarkan dan hanya menjadi penonton saja, berarti kita belum menjalankan aturan beradat “adat bersendikan syarak, dan syarak bersendikan Kitabullah” (Al Quran dan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW).

Semoga tulisan saya AA menjadi renungan bagi para pemangku kepentingan utama (main stakeholders) yang peduli memajukan Kuansing.
Syukron barakallah
Wasalam

====✅✅✅

Penulis: Dr.Ir.H.Apendi Arsyad, M.Si
(Ketua Umum IKC se Jabodetabek 2002-2019, Pendiri dan Dosen Universitas Djuanda Bogor, Pendiri dan Wasek Wankar ICMI Pusat merangkap Ketua Wanhat ICMI Orwil Khusus Bogor, Pendiri dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Arsyada Cerenti Madani, Pegiat dan Pengamat Sosial)

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -
- Advertisement -

Latest Articles