Home News Komariah Versus PT Fery Sonneville Bikin Turun Gunung Tim Puslabfor Mabes Polri

Komariah Versus PT Fery Sonneville Bikin Turun Gunung Tim Puslabfor Mabes Polri

Komariah: Dalam Objek Itu Saya Sudah Menang di Pengadilan dan Mahkamah Agung

Gunung Putri | Jurnal Bogor
Adanya saling klaim antara PT Ferry Sonneville dengan Komariah atas lahan yang berlokasi di Jalan GBHN Desa Bojong Nangka, Gunung Putri, Kabupaten Bogor membuat Tim Puslabfor Mabes Polri turun gunung, Kamis (02/11).

Hadir dalam uji materi terebut, tim verifikasi dari Mabes Polri, Satpol PP Kecamatan Gunung Putri, perwakilan tergugat dan penggugat, Kapolsek Gunung Putri beserta jajaran, Danramil Gunung Putri beserta jajaran, serta Pemerintah Desa dan kecamatan yang mewakili.

“Ini laporan dari kita PT Ferry Sonneville yang sudah kita laporan dari bulan Agustus 2021 di Polda Jabar. Kita melaporkan Ibu Komariah dan kawan-kawan, dengan dugaan 263 pemalsuan surat yang sudah keluar. Ya hasil Labkrimnya dari Puslabfor Mabes Polri dari 12 surat segel yang dimiliki oleh pelapor  9 surat segel non identik (palsu) dan 3 surat segel dinyatakan hasil scan komputer. Dan lagi terkait laporan 170, adanya pengerusakan di lokasi kita,” ungkap Legal hukum PT Ferry Sonneville, Aripudin.

Aripudin menyebut, kasus perselisihan lahan ini sudah cukup lama, sudah hampir 2 tahun semenjak perkara ini dilaporkan sejak Agustus 2021.

” Ini sudah cukup lama, dan saat ini ditangani direktorat tindak pidana umum Bareskrim Mabes Polri. Kasusnya sendiri sudah masuk tahap penyelidikan. Dan penyidik sudah mengirimkan SPDP juga ke Kejaksaaan Tinggi Jawa Barat,” kata Aripudin.

Menurutnya, tindakan yang dilakukan PT Ferry Sonneville saat ini guna memberikan efek jera. “Ini untuk pelajaran semua, untuk mafia-mafia tanah yang ada. Lokasi ini kosong bukan berarti tanpa pemilik. Ini berada di siteplan perumahan PT Ferry Sonneville,” tandasnya.

“Gak mungkin kita melaporkan tanpa adanya legal standing, atau alasan kepemilikan. Alasan kita sudah kita tunjukan melalui formil, aslinya sudah kita tunjukan kepada penyidik luas tanah kita,” tambahnya.

Lebih lanjut Arifudin menjelaskan, kewajiban PT Ferry Sonneville sebagai pihak pengembang telah menyerahkan PSU kepada Pemerintah Kabupaten Bogor. Akan tetapi, menurut Aripudin juga PT Ferry Soneville memiliki hak.

” Masa tanah yang sudah kita miliki secara hukum kok bisa diklaim sama pihak lain, diserobot pihak lain. Dengan bukti pada saat tahun 2021 belum ada bangunan apa-apa, tapi sekarang sudah banyak bangunan. Dan rata-rata semua menyewa dari pihak terlapor,” cetusnya.

Sementara, Komariah sebagai pihak tergugat menjelaskan, berawal dari ia mengajukan sertifikat kepada BPN pertama kali pada tahun 2020. Namun, PT Ferry Sonneville membuat surat keberatan kepada BPN terkait pengajuan sertifikasi pembuatan sertifikat lahannya, yang juga diklaim bahwa tanah itu milik PT Ferry.

“ Dan oleh pihak BPN saat itu, pihak PT Ferry Sonneville ditanya punya alas hak apa hingga mengklaim bahwa itu merupakan tanah milik perusahaan. Saat itu pihak PT Ferry Sonneville mempertlihatkan alas haknya berupa siteplan yang dimiliki oleh perusahaan. Saya kaget kan, karena siteplan itu bukanlah alas hak melainkan perencanaan perusahaan pengembang yang ditandatangani oleh Bupati. Jadi sebagai perusahaan pengembang, sangat wajar jika PT Ferry punya siteplan,” cetus Komariah kepada Jurnal Bogor.

Lebih lanjut Komariah menjelaskan, setelah dilakukan 2 kali mediasi, pihak PT Ferry tak kunjung menunjukan alas haknya. Akhirnya, setelah BPN survei dan mengukur berkali-kali dilahan 1,5 hektare milik Komariah. Pihak BPN menandatangani peta bidang milik Komariah. Namun tindakan BPN membuat PT Ferry tidak puas, sehingga melakukan gugatan perdata kepada Komariah ke Pengadilan Negeri Cibinong.

“Disaat mediasi di Pengadilan Negeri Cibinong pun, pihak PT Ferry belum juga bisa menunjukan alas hak kepemilikan. Singkatnya proses hukum tetap berjalan, dan di Pengadilan Negeri Cibinong saya menang. Kemudian dinaikkan ke Pengadilan Tinggi pun kita menang. Sampai sebetulnya sudah keluar salinan Mahkamah Agung yang mengatakan bahwa saya merupakan pemilik tanah tersebut dan PT Ferry tidak bisa menunjukkan bukti kepemilikan, bahkan laporan adanya kekerasan yang dilakukan oleh saya, yang dilaporkan oleh PT Ferry itu dipatahkan oleh surat dari Mahkamah Agung,” beber Komariah.

“Sebetulnya kasus ini sudah gagal objek, kenapa saya katakan gagal objek. Karena saya digugat seluas 10 hektare, sedangkan luas tanah yang saya miliki itu hanya 1,5 hektare. Dari jumlah luasan saja itu sudah aneh. Dan kenapa ini sampai Tim Mabes Polri turun ke lokasi, karena ada pelimpahan dari Polda terkait kasus ini, hingga dilanjutkan oleh pihak Mabes,” tambah Kokom sapaan akrabnya.

Lebih lanjut Kokom menjelaskan, dirinya punya 1,5 hektare lahan yang saat ini digugat oleh pihak PT Ferry seluas 10 hektare, dan peninggalan suami 1 hektare, kemudian dari hasil membeli seluas 1 hektare, itu di bidang yang terpisah. Jadi, sambung Kokom, jika dirinya digugat seluas 10 hektare itu objek yang mana dan surat yang mana.

“Dasarnya apa?,  dan suratnya mana?,  Itu yang saya tanyakan dari awal, jadi kalo dibilang saya gak punya  surat mana mungkin saya bisa ke BPN dan kemana-mana. Karena itu proses gak mungkin ujug-ujug punya. Yang jelas saya beli lahan itu,” tandasnya.

“ Harapan saya, tanah saya punya saya, tanah PT Ferry  ya punya PT  Ferry. Silahkan masing-masing punya haknya. Saya hanya mengingatkan kepda PT Ferry jangan menggugat sembarangan, kaya main catur, jadi sesuai objeknya aja. Dan soal dilaporkan pengrusakan saya tidak merasa, karena saya hanya membuat tembok arkon di lahan yang saya punya sebagai batas,” pungkas Kokom mengakhiri.

(nay nur’ain)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version