Ciampea | Jurnal Bogor
Program normalisasi Setu Cibanteng di Kampung Cibanteng di RT 04 dan RT 05 di RW 04, Desa Cihideung Ilir, Ciampea, Kabupaten Bogor oleh pihak PSDA Propinsi Jawa Barat dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cisadane Ciliwung, kelanjutan dipertanyakan warga.
Pasalnya, pascapekerjaa yang sempat memakan waktu lebih dari dua pekan tersebut, setelah dinyatakan selesai pengerukan, warga masih masih bertanya-tanya, apakah program normaliasi tersebut ada kelanjutannya.
Warga sekitar Setu Cibanteng Heydi mempertanyakan, program normalisasi Setu Cibanteng terkesan asal-asalan dan hasilnya tidak meninggalkan kesan estetika.
“Hasil normalisasi Setu Cibanteng yang dilakukan pihak PSDA terkesan asal-asalan dan tidak meninggalkan kesan estetika apa pun. Tolong dong kalau dinormalisasi yang harus meninggalkan kesan indah, bukan malah jadi berantakan,”, kata Heydi kepada Jurnal Bogor.
Setu Cibanteng yang berlokasi di Desa Cihideung Ilir tersebut, merupakan salah satu setu yang menjadi target dari pihak kantor Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Propinsi Jawa Barat bekerjasama dengan Balai Besar Sungai Ciliwung Cisadane untuk dikembalikan lagi fungsinya sebagai kantung-kantung resapan air yang ada di wilayah Jawa Barat, khususnya di Kabupaten Bogor, agar pulih seperti sediakala.
Nah, dengan selesainya proyek normalisasi Setu Cibanteng yang melibatkan pihak ketiga pada pelaksanaan pekerjaannya tersebut, buntutnya, sebanyak 14 warga penggarap yang sudah berpuluh- puluh tahun mengelola usaha 20 tambak ikan, serta satu rumah milik warga bernama Aryo, dipaksa harus ikhlas digusur karena dianggap menyalahi aturan.
Kepala Desa Cihideung Ilir H. Ilman membenarkan, Setu Cibanteng yang awalnya memiliki luas 2,5 hektare, lama kelamaan menyusut, hingga akhirnya tinggal seluas kurang dari 1 hektare.
“Penyusutan tersebut disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya karena air di setu itu mengering, ditambah tingginya pertumbuhan pemukiman warga, berikut timbunan limbah sampah rumah tangga yang bertumpuk di dalam setu, serta banyak dibuatnya kolam kolam empang untuk usaha tambak warga,” beber H. Ilman.
Dia menjelaskan, sebelum proyek normalisasi setu dimulai, memang sempat ada penolakan dari warga, namun karena ada dukungan kuat dari warga pribumi di sekitaran setu meminta agar Setu Cibanteng di normalkan, akhirnya 14 warga penggarap bersama 1 warga bernama Aryo, mau tak mau ya harus setuju dan menerima proyek normalisasi tersebut.
“Terhitung sebanyak 20 empang yang dikelola oleh 14 orang penggarap serta satu rumah milik keluarga Aryo tergusur, lantaran berdiri di lahan terlarang,” ungkap Kades.
Khusus untuk rumah kediaman keluarga Aryo di area setu sambungnya, ternyata status lahannya dibeli dari tangan penggarap, sehingga ya harus merelakan lahan berikut rumahnya seluas 100 meter persegi itu, dikembalilan ke fungsi semula.
“Setu Cibanteng alami penyusutan dari seluas 2,5 hektare menjadi kurang dari 1 hektare, termasuk kedalamannya yang dahulu lebih dari 8 meter, kini dangkal menjadi setengah meter, tujuan dinormalkan setu ini tak lain untuk mencegah banjir di musim hujan, dan yang kedua untuk membuka kantung kantung mata air di Setu Cibanteng yang sudah tertutup,” ungkapnya.
Namun demikian, lanjut Kades, program normalisasi ini tidak untuk mengembalikan lagi luas setunya ke 2,5 hektare semula, karena dinilai sudah tidak memungkinkan, sebab lahan di pinggiran setunya sudah berubah menjadi tanah keras dan ditumbuhi pepohonan lebat.
“Tapi sayangnya, normalisasi Setu ini, tidak disertai dengan penataan pada setiap penjuru di pinggiran setunya, sehingga tidak terlihat adanya kesan estetika untuk mempercantik pemandangan di sekitar setu”, tegasnya.
Kata Ilman lagi, dengan selesainya proyek normalisasi pemeliharaan Setu Cibanteng ini, seluruh warga asli yang bermukim di sekitar setu, juga berharap ada kelanjutannya.
“Termasuk kami selaku pemerintah desa juga memohon kepada PSDA Propinsi Jawa Barat beserta kepada kantor Balai Besar Sungai Ciliwung Cisadane agar mau melakukan penegasan dan penetuan batas batas area situnya agar nantinya tidak muncul permasalahan baru pada batas-batas lahan milik masyarakat setempat,” pungkasnya.
(bayup)