Sukabumi,
Sejak awal berdiri pada tahun 2000, kelompok seni Turonggo Werdo Sayekti terus berkomitmen melestarikan seni tradisional kuda lumping dan tari rakyat lainnya di Kecamatan Tegal Buleud, Kabupaten Sukabumi.
Awalnya, seluruh perlengkapan gamelan dan alat pertunjukan masih meminjam karena keterbatasan modal. Tepat pada 2 Syawal tahun 2000, pementasan perdana dimulai. Selama lima tahun pertama, anggota merintis tanpa pembagian materi. Baru pada tahun 2005, kelompok ini berhasil membeli perangkat gamelan lengkap dari Jawa Tengah.
Di bawah kepemimpinan Mang Timan, generasi kedua yang hingga kini menjadi penggerak utama, Turonggo terus berkembang. Tahun 2018, kelompok ini resmi mendapatkan Surat Keputusan (SK) kesenian dari Kementerian, sebuah tonggak penting yang mengukuhkan eksistensinya. Dukungan Mang Timan yang gigih mencari bantuan untuk kostum, alat, dan kebutuhan lainnya membuat kelompok ini mampu bertahan, meski sempat menghadapi kritik dan rasa iri dari pihak luar.

Kini, Turonggo memiliki 34 anggota, dengan 28 orang aktif. Mereka mementaskan berbagai tari tradisional seperti Tari Kuda Lumping, Tari Cakil (Hanoman), Tari Buta, Tari Baladewa, Tari Barong, hingga Sintren. Khusus Tari Sintren, terdapat aturan unik: penarinya tidak boleh memiliki pasangan atau suami.
Dalam menjaga kelestarian, kelompok ini berpegang pada filosofi:
“Menari tahu perkembangan zaman. Jangan kuno, jangan ketinggalan, tetapi tetap menjaga nilai tradisi.”
Karena itu, modernisasi dilakukan secukupnya agar seni tetap relevan dan diminati generasi muda, tanpa meninggalkan akar budayanya.
Turonggo juga memiliki aturan tegas bagi anggotanya, yaitu menjauhi 3M: maling, mabuk, medon. Hal ini untuk menjaga nama baik kelompok dan kehormatan seni budaya yang mereka usung. Selain itu, atribut rombongan dilarang dipakai di luar pertunjukan agar identitas budaya tetap terjaga.
Nama “Turonggo Werdo Sayekti” sendiri bermakna filosofi bahwa rombongan kuda lumping ini selalu berada dalam lindungan sesepuh dan diwujudkan dalam kenyataan. Meski pernah berganti nama pada generasi keempat, akhirnya nama asli tetap dipertahankan karena diyakini membawa ketenaran dan keberkahan bagi kelompok.ungkap mang timan Sabtu(6/9/2025)
Setiap tahun, Turonggo mengadakan kegiatan syukuran pada bulan Syuro, serta aktif mengikuti undangan pentas dari masyarakat maupun pemerintah. Kehadiran dukungan sponsor, termasuk dari Kepala Desa, turut memperkuat eksistensi kelompok ini.
Dengan enam generasi yang telah berganti sejak berdirinya, Turonggo Kuda Werdo Sepuh Sayekti Nyata menjadi bukti nyata bahwa seni tradisional masih mampu bertahan di tengah arus modernisasi. Semangat regenerasi terus dijaga agar budaya kuda lumping dan tari rakyat tetap hidup, dinikmati, dan diwariskan kepada generasi mendatang.
“Jangan pernah menghakimi tanpa memahami seluk-beluknya,” pesan Mang Timan, menegaskan filosofi hidup dan berkesenian yang dianut kelompok ini.( Fauzan UMMI /wan)