Home Edukasi Carut Marut Hukum: Solusinya Kembalilah ke UUD 1945 Asli

Carut Marut Hukum: Solusinya Kembalilah ke UUD 1945 Asli

AA ketika ikut demo membela kemerdekaan Negara Palestina.

jurnalinspirasi.co.id – Bingung kita memahami implementasi sistem hukum dan perpolitikan negara/NKRI dewasa ini adinda Audhillah SP.MSi (Sekum ICMI Orwilsus Bogor), yang telah menshare materi permasalahan penegakan hukum, lewat WA japri kepada saya, Sabtu 28 Oktober 2023.

Simpulan saya kita kini tengah mengalami kehidupan tersesat, salah arah dan salah jalan, akibat sesat pikir dari produk Amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali. Simpulan saya berikutnya sungguh sangat banyak merugikan kehidupan rakyat dan bangsa, yang kini sungguh merosot dalam sejumlah indikator aspek-aspek pembangunan seperti indeks kemiskinan, pengangguran, indeks demokrasi, indeks IPM, indeks korupsi, stunting, piutang luar negeri yang kian membengkak yang membebani generasi berikutnya, dan sebagainya, terutama umat Islam Indonesia sebagai kaum mayoritas dan selaku soko guru NKRI, amatlah dirugikan.

UUD 1945 asli ada pasal yang menegaskan bahwa Presiden RI adalah warga negara Indonesia asli (pribumi) itu hilang dan dihapus, juga wakil golongan dalam keanggotaan MPR RI sebagai lembaga negara tertinggi menjalankan kedaulatan rakyat semakin melemah dan kabur, sehingga para tokoh masyarakat adat, perkoperasian, guru, dan kesultanan Nusantara serta profesi lainnya tidak lagi terlibat dalam proses menentukan arah kebijakan dan politik negara.

Dampak negatif akibat 4 kali UUD 1945 yg dilakukan atas nama gerakan reformasi 1998 itu, baru dirasakan, antara lain yaitu sbb:

Sistem dan tata hukum yang ditetapkan dalam pasal-pasal UUD 1945 4 kali hasil Amandemen tersebut, banyak diantaranya yang bertentangan dan menabrak sistem nilai, norma dan kaidah-kaidah hukum Pancasila.

Dapat dikatakan sitem nilai dan norma Pancasila sebagai nilai luhur bangsa Indonesia, 5 sila (Ketuhanan YME, Kemanusiaan yang adil beradab, Persatuan Indonesia, Permusyawaratan yang dipimpin  oleh hikmat kebijaksanaan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegaranya mulai terlupakan, diabaikan atau ditinggalkan. Rezim yang berkuasa (the ruling party) saat ini, dengan sengaja banyak membuat berbagai regulasi atau publik policy yang kontroversial yang tak sejalan dengan aspirasi rakyat spt UU, Perpu, PP, Kepres/Inpres dan bahkan Kepmen/Inmen RI, berwarna pro oligarky seperti UU Ciptakerja, UU Minerba, UU IKN, MoU Poros Jakarta-Peking China, dan lain-lain, dan bahkan ada yang tidak lagi merujuk pada hirarki hukum diatasnya, ada pertentangan pasal-pasal.

Salah satu contoh Kepres/Inpres RI yang ditandatangi Presiden RI Jokowi yang berisikan Negara  meminta maaf kepada keluarga PKI atau istilah lainnya Aparatur negara/TNI telah disimpulkan melanggar HAM dalam menumpas peristiwa berdarah kudeta PKI yang terjadi pada tahun 1965. Padahal TAP MPR RI belum dicabut bahwa peristiwa G 30 S PKI adalah pengkhianatan terhadap negara, itu fakta, sah dan legal.

Jadi ada pembalikan fakta sejarah oleh rezim ini, itu hanya salah satu contoh, dan masih ada regulasi sesat yang lain. Kekuasaan Presiden RI cenderung absolut, tidak terkoreksi lembaga negara mana pun, termasuk MPR RI peran dan fungsinya serta kewenangannya mengontrol kekuasaan seorang Presiden RI yang dulu kekuasaannya terbatas (tidak obsolut), kini MPR RI dilemahkan oleh UUD 1945 hasil 4 kali Amandemen tersebut. Untuk saat ini amat sulit memberhentikan Presiden RI jika ditemukan melanggar konstitusi negara.

Kasus pelanggaran HAM Rempang Kepulauan Riau masih hangat dalam ingatan kita, juga tidak dihiraukan Pemerintahan bahkan realokasi masyarakat lokal etnis Melayu  jalan terus, juga kasus pembunuhan santri pengawal HRS dan lain-lain tenggelam begitu saja, sedangkan kasus pembunuhan Brigidir Yosua oleh F Sambo juga solusinya dapat keringanan hukuman, dan lain-lain.

Begitu banyak pelanggaran atau penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam praktik hukum bernegara, yang dilakukan Presiden RI dan pimpinan Lembaga Negara lainnya saat ini, yang banyak dikritik para ahli hukum tata negara negeri ini termasuk para ilmuwan dan cendekiawan yang kritis

dan analitik. Akan tetapi rezim yang berkuasa tetap berdiri kokoh, terbebas dari sanksi “impeacment”. Ibarat pepatah “anjing menggonggong kabilah tetap berlalu”.

Rakyat dalam hal ini Warga negara RI yang terpelajar, terdidik dan cerdas, serta peduli terhadap perjalanan dan nasib bangsa dan negaranya, sudah sangat merasa khawatir akan keselamatan negara-bangsa. Faktor dan hegemoni Presiden Jokowi sangat mewarnai kepentingan pribadi dan keluarganya dalam mengendalikan lembaga hukum dan penyelenggara negara seperti Majelis Konstitusi(MK) RI, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, KPK, Kepolisian, Militer dan lain-lain, termasuk Parpol pun bisa dikendalikannya atau disinyalir ada intervensi institusi Kepresidenan RI, untuk membangun dinasti politik baru.

Begitulah hebatnya dan perkasanya seorang Presiden RI saat ini. Puncak “prestasinya” yang terakhir ini dan spektakuler, dan kontroversial, yang membuat heboh, geger dan terkejut alam jagat raya dinamika perpolitikan nasional adalah menempatkan putra sulung Presiden RI Jokowi menjadi salah seorang Cawapres RI untuk pilpres 2024 mendatang.

Padahal putranya itu baru 2 tahun menjabat Wali Kota Solo, dan masih sangat muda, baru berumur 36 tahun, maaf belum berpengalaman dalam kepemimpinan nasional. Putra sulung Presiden Jokowi itu adalah Gibran Rakabuming Raka, anggota PDIP.

Kemudian putranya Kaesang Pangarep dalam sekejap menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) katanya partai besukan bpk.Jokowi begitu tulisan spanduk kampanye yang banyak terpasang di jalanan. Dan setelah itu dalam hitungan hari Kaesang anak kandung Presiden bisa menjadi Ketua Umum PSI, super hebat dan ajaib memang, begitu moncernya karier politik seorang anak Presiden.

Tak lama kemudian dalam hitungan mingguan, Gibran bisa menjadi Cawapres RI mendampingi Capres RI 2024 bpk Prabowo Soebianto, yang didukung 9 Parpol besar seperti Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat dan Parpol baru lainnya seperti PSI, Gelora-Anis Matta, PBB-Prof YIM, Prima, dll.

Fenomena sosial politik yang paradoksal dan anomali ini terjadi, diluar akal sehat (didnot common sense) sulit kita bisa memahami fenomena sospolnya ini dengan nalar sehat, dimana Parpol Besar dengan nama tokoh besar, bisa tunduk dan bersepakat begitu cepat (instan) pada kepentingan politik dinasti Presiden RI bpk Jokowi.

Konon katanya peristiwa kompaknya 9 Ketua Umum Parpol menerima Gibran menjadi Cawapres RI tahun 2024 berpasangan dengan Capres RI bpk Prabowo Subianto, disinyalir dan diduga ada aroma faktor finansial (“cuan”) power dan penyanderaan kasus hukum para oknum elit politik. Mudah-mudahan tak demikian.

Tetapi hipotesa itu muncul agak masuk diakal bahwa dalam pola budaya politik liberal dan sekular,  superpragmatisme, beredar pameo bahwa .”tidak ada makan siang gratis”, alias “wani piro”, apalagi ada beberapa nama figur yang telah masuk nominasi, atau “ngantri” menjadi bacawapres RI mendampingi bpk Prabowo, diantaranya bpk Erikc Tohir, Meneg BUMN RI.

Jujur saya berkata, otak saya sulit memahami gejala paradoksal dan anomali dalam dinamika perpolitikan nasional menjelang Pilpres tahun 2024 mendatang ini, dan apa yang kemungkinan terjadi, membuat hati ini berketir-ketir, ada problem struktural dan kultural. Maaf, ada potensi destrupsi hebat yang akan bakal terjadi, dan bisa menguras energi nasional, karena berpotensi mengundang konflik baik vertikal maupun horizontal, jika pemilu pilpres tidak berazaskan Luber dan Jurdil, matinya demokrasi Pancasila, karena adanya “sahwat kekuasaan” untuk membangun dinasti politik lebih cepat. 

Saya pun sudah berusaha mencari tahu jawabannya kesana kemari, berdiskusi dengan kawan-kawan para ilmuwan dan pakar politik dan hukum, yang terhimpun di ormas ICMI.

Jawabannya adalah lemah atau kurang dan bahkan nihilnya kontrol terhadap kekuasaan Presiden RI yang melanggar etika, moralitas dan hukum konstitusi, karena lembaga MPR RI sudah dimandulkan, tidak punya kewenangan dan kekuasaan (powerless) sebagaimana bunyi pasal-pasal UUD 1945 hasil 4 kali Amandemen yang diputuskan oleh sidang umum MPR RI itu sendiri.

Implikasinya Presiden RI Jokowi “berhasil’ dan leluasa mempromosikan dan menempatkan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka (36 tahun) menjadi salah seorang Cawapres RI pada Pemilu Pilpres RI tahun 2024 secara spektakuler, dan kasus ini pertama kali terjadi dalam sejarah moderen Indonesia. Prosesnya begitu cepat, instan, yang disidangkan di MK RI, yang kebetulan dipimpin pamannya, bpk Anwar Usman. Kemudian ekses keputusan tersebut, kini persoalan etika para hakim MK akan disidang oleh MKMK RI diketuai senior saya di ICMI, Prof.Dr.H.Jimly Assidiqie, SH.MH.

Gejala sosial politik nasional, yang tidak sehat alias sakit tersebut bisa kita katakan bahwa kehidupan bernegara sedang mengalami problem dan kendala struktural, dan ditambahkan lagi dengan problem kultural yang semakin akut, dimana penyakit mental para elite politik yang telah terjebak pola perilaku transaksional, suap menyuap dan sogok menyogok, jual beli (wabil pulus) suara dan pengaruh sudah lama berlangsung atau terjadi di negeri ini.

Hal tersebut akibatnya akal sehat pun hilang (not common sense) dalam proses pengambilan keputusan strategis nasional. Fakta itu  terjadi secara marak di lingkaran kekuasaan (the ruling party) bsik eksekutif, legislatif maupun yudikatif (kekuasaan hakim) yang korup, dan tak tersentuh atau tak terjangkau penegakan hukum, karena aparat hukum pun telah bisa dibeli oleh para mafia hukum yang berkalaborasi dengan kaum pemilik modal besar (oligarky) yang memiliki kepentingan dengan elit penguasa (the ruling party), berkolusi untuk kelancaran dan keberlanjutan usaha bisnis dan investasi, yang selama ini telah menikmati fasilitas istimewa (privalage facility), terutama pada sektor pertambangan, industri, perdagangan ekspor-impor, property, pembangunan insprastruktur dan penanaman modal (investasi) lainnya.

Begitulah pelik dan komplek permasalahan bangsa dan negara RI dewasa ini. Ada lingkaran setan, tali-temali, yang membelenggu, akibatnya supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara tak berjalan alias menjadi lumpuh.

Praktik penegakan hukum yang super (supremasi) hanya menjadi mainan para mafia dan cukong memiliki cuan yang tak berseri. Carut marut praktik hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini nampaknya semakin telanjang, vulgar dan sangat parah.

Maka jawabannya atau solusinya yang paling tepat dan cerdas, kembalilah kita kehidupan bernegara ke UUD 1945 Asli yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945.

Akhir kalam, semoga narasi singkat ini menjadi bahan perenungan kita bersama, terutama para Cendekiawan muslim Indonesia, teristimewa bagi mereka yang tetap konsisten mencintai NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 Asli yang telah ditetapkan para pendiri negara Republik Indonesia di sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 di Jakarta, ternyata itu konstitusi NKRI yang benar dan terbaik, serta sesuai dengan jati-diri (characters) budaya bangsa Indonesia yang adi luhur.

Sekian dan terima kasih atas perhatiannya dan kepedulian terhadap nssib bangsa dan negara, yang berdaulat, memajukan, mencerdaskan dan melindungi rakyatnya.
Save Rakyat dan Save NKRI, harga mati.
Wassallam

====✅✅✅

Penulis: Dr.Ir. H. Apendi Arsyad, M.Si
(Dosen (Assosiate Profesor) dan Pendiri Universitas Djuanda Bogor, Pendiri dan Wasek Wankar ICMI Pusat merangkap Ketua Wanhat MPW ICMI Orwilsus Bogor, Konsultan K/L negara, Pegiat, Pengamat dan Kritikus Sosial)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version