Jurnalinspirasi.co.id – Astaghfirullahalaziem. Penyakit 3 Ta, tetap marak, kambuhan dan berjangkit pada para pejabat dan petinggi Pemda-pemda di daerah Riau. Begitu juga di daerah lain hampir sama. Life stylenya, hedonis, penikmat hidup di lokasi discotik, sarana hiburan sering atau langganan juga ada kasus tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tempat kemaksiatan itu.
Tiga (3 Ta) maksudnya gemar atau doyan atau rakus tahta, harta dan wanita dalam kehidupan, secara berkelindan, free sex, LGBT. Suatu perbuatan haram, yang sangat merusak sendi-sendi kebudayaan dan peradaban masyarakat berkemajuan yang diberkahi Allah Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana isi sila pertama falsafah bangsa dan ideologi negara Pancasila.
Perbuatan tak terpuji gemar 3 Ta, berkelindan dalam berperilaku haram dan kemaksiatan, seperti gemar sogok menyogok dan suap menyuap, free sex, hidup bermegah-megahan (hedonist) yang sangat dilarang dan diharamkan ajaran agama mana pun. Apalagi terutama digunakan untuk mengejar, meraih dan merebut kekuasaan, dengan cara dan pendekatan transaksional, istilah populernya “wani piro’. Terjemahannya “tidak ada makan siang gratis”. Itu istilah populis gilanya untuk memburu kekuasaan, terutama unruk mendapatkan posisi puncak (tahta) seperti gubernur, bupati, walikota, kades. Demikian itu amat jelas perbuatan haram yang sesat dan menyesatkan.
Padahal menurut kitab suci Al Quran jabatan itu adalah amanah, yaitu kekuasaan yang dipergilirkan oleh Allah dalam sistem kemasyarakatan yang sehat dan hasil dari proses permusyawarahtan dari kalangan tokoh masysrakat, para cerdik pandai, jaum cendekiawan, para ulama, kiyai dan ustadz untuk menghasilkan kemufakatan sosial, baca sila ke-4 Pancasila.
Sekarang zaman now yang edan ini, atau era jahiliah moderen dikejar dan diperjual belikan, alias sogok menyuap, grafitasi, korupsi. Implikasinya kasus penangkapan oleh KPK kasus korupsi jual beli jabatan. Kepala dinas di dalam birokrasi Pemkot dan Pemkab di daerah-daerah sering terjadi, tanpa henti-hentinya hingga kini.
Memburu tahta, pejabat publik di pemerintahan tersebut, sungguh mahal harganya ratuaan juta bahkan miliaran rupiah, berbiaya tinggi (high cost) baik biaya politik (cost politic) untuk berbelanja atribut partai dan keperluan konstestan spt spanduk, biner, baju kaos, selendang caleg dan atau calbup dll maupun uang sogokan tim sukses dan uang serangan pajar untuk mendapatkan dukungan suara (money politic). Serangan fajar dengan membagi-bagikan uang kepada para calon pemilih, sering dan umumnya banyak terjadi menjelang penyelenggaraan Pemilu dilakukan, H min 2 atau 1.
Mesin tim sukses caleg atau calbub, cagub dan capres bekerja intensif pada saat itu di lingkungan masyarakat. Walaupun jauh hari uang dan barang haram sudah didistribusikan dan disebar ke daerah basis-basis pemilihan parpol, dimana sebagian besar masyarakat berafiliasi. Walaupun hasil “kajian” dan “pooling” timses hanya berupa laporan spekulatif, bersifat ABS, carmuk untuk menyenangkan pihak sponsor, penyandang dana.
Timses caleg dan cabub/calkot, cagub ini sangat pintar, menipu sang pemburu kekuasaan maniak, mereka timses ingin mencari keuntungan. Mereka beranggapan, ini kesempatan yang baik untuk berdagang suara, politik yang mereka kenal adalah proses transaksional, tidak ada kaitan moral, etika dan ahlaqulkarimah, yang penting bisa menjadi “pemenang” semu.
Dengan pola berperilaku dan budaya berpolitik pragrmatis dan amoral tersebut, dampaknya kemana-mana, antara lain perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) antar pejabat dengan para pengusaha terutama penguasaha yang ikut terlibat dalam proses “tender” proyek-proyek pembangunan daerah yang didanai APBD menjadi bancakan.
Selain itu pengumpulan dana politik untuk cost and money politic untuk mempertahankan dan merebut serta meraih tahta kembali, setelah meraih kekuasaan tertinggi, pejabat di daerah, ditempuh beberapa cara antara lain mengejar fee izin investasi pemanfaatan sumberdaya alam seperti perkebunan sawit, pertambangan, berburu rente di lapangan usaha perdagangan, fee promosi jabatan dinas, dan pungli-pungli mendapatkan dana llegal dan haram lainnya.
Tidak menjadi rahasia lagi untuk mendapatkan tahta, berupa jabatan publik di daerah, membutuhkan dana miliaran rupiah. Memang bangsa kita saat ini korban politik, demokrasi liberal, bukan demokrasi Pancasila sebagaimana sila ke-4, musyawarah dan mufakat atas hikmah kebijakan, yakni demokrasi akal sehat, bukan akal bejat, transaksional yang sesat menyesatkan, gejalanya semakin menggila (demograzy) banyak terjadi saat ini zaman now di tengah masyarakat kita.
Dampak negatif dari “proses demograzy” tersebut adalah salah produk pilpres, pileg, pilbub dan pilwakot adalah para penguasa yang gemar, doyan 3 Ta (tahta, harta dan wanita).
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa terjadinya kasus aib dan memalukan antara lain seperti kasus sekamar Wabub Rohil, om. Sulaiman dan Bupati Meranti Riau yang tertangkap KPK korupsi, juga Bupati Kuansing tertangkap tangan KPK menerima suap dari pimpinan perusahaan besar sawit di Riau untuk memuluskan perpanjangan izin usaha perkebunan dan lain-lainnya.
Hal ini bisa kita pahami akibat perbuatan suka bermaksiat, penyakit akut 3 Ta, gemar tahta, harta dan wanita. Pejabat negara dan pemerintahan yang bergelimang harta haram, pola berperilakunya akan menggemari wanita lain, dengan selingkuh, istri simpanan dan atau istri kawin siri, akhirnya pusing sendiri mengelola rumah tangga banyak istri dan mani. Napsu birahi dan serakah itulah yang mengendalikan para pemburu jabatan publik di negeri ini, akhirnya ditangkap, diadili di PB, kemudian terbukti bersalah, dan masuk penjara. Kejadian kriminal korupsi sangat memalukan dan menjatuhkan martabat diri dan keluarganya.
Dimana letak permasalahannya, kok bisa terjadi, karena kita semakin menjauh dari ideologi, falsafah bangsa Pancasila, dan kehidupan berkonstitusi sesuai UUD 1945 pun terlupakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita .
Sekian, semoga menjadi bahan perenungan, sehingga para pejabat pemerintahan berhentilan mendewakan 3 Ta. Kembalilah ke jalan yang benar, bekerja profesional dengan tata kelola yang baik (good governance) atas landasan moral, etika dan sistem nilai-norma kemaslahtan (sila-sila Pancasila dan pasal-pasal UUD 1945 Asli), serta mencampakan pola berperilaku kemungkaran dan kemudaratan, yang sesat dan menyesatkan, sehingga tujuan dan cita-cita bernegara untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur akan segera bisa kita raih bersama warga bangsa.
Syukron.barakalah.
Wassalam
===✅✅✅
Penulis:
Dr Ir H.Apendi Arsyad, M.Si
(Dosen Senior dan Pendiri Universitas Djuanda Bogor, konsultan K/L negara, pegiat dan pengamat serta kritikus sosial)