Oleh: H. TAOPIK, S.Pd., M.Pd.I
(Kepala Sekolah MAN 1 Leuwiliang)
Kebahagiaan dan kesedihan itu sering datang silih berganti pada diri setiap manusia. Dua keadaan ini sama-sama berfungsi sebagai ujian hidup.
Kebahagiaan atau kesenangan datang untuk menguji seberapa besar rasa syukur manusia, sementara kesedihan datang untuk menguji seberapa kuat kesabaran manusia.
Rasa syukur yang muncul pada diri seseorang, selain akan menambah kenikmatan / kesenangan/ kebahagiaan hati, juga akan mampu membangun empati terhadap orang lain yang keadaanya tidak seberuntung dirinya.
Sementara rasa sabar yang muncul pada diri seseorang, akan mampu mengurangi beban penderitaan yang dia rasakan. Juga akan menghilangkan sangkaan buruk terutama kepada Allah Subhanahu wa ta’ala sang Maha Pencipta.
Tulisan ini sebenarnya terinspirasi pemandangan yang penulis temui di bawah pohon besar, saat penulis melewatinya. Tepatnya di Jl. Ir. H. Juanda Kota Bogor.
Pohon besar itu sedang mengalami daun rontok. Rontoknya daun itu menimbulkan pemandangan yang bagus seperti suasana di Eropa sana dimana terdapat musim gugur. Selintas di bawah pohon itu terlihat dua orang dengan tangan yang memegang dua alat yang berbeda. Satu orang memegang hp sambil selfie dan satu orang memegang sapu untuk membersihkan sampah daun itu.
Satu kondisi dengan dua efek yang berbeda bahkan bertentangan. Guguran daun bagi penikmat pemandangan dan hobi selfie adalah sebuah kesenangan yang langka dan sulit ditemukan apalagi di dalam Kota. Sementara bagi yang bertugas membersihkan sampah, guguran daun merupakan tambahan beban pekerjaan, yang bisa jadi membuatnya sedih.
Keduanya seharusnya bisa saling belajar. Tidak perlu euforia bagi yang sedang bahagia, sebab di sebelahnya ada orang yang sedang bersedih. Tidak perlu berkeluh kesah bagi yang sedang bertambah beban, sebab di sebelahnya ada orang yang sedang menikmati kebahagiaan.
Kondisi inilah yang coba di-ibroh-kan oleh Ramadhan selama sebulan dalam satu tahun. Kekenyangan makan, kelebihan harta yang dirasakan seseorang selama 11 bulan tidak perlu euforia, karena di sekitar rumahnya masih banyak orang yang kelaparan dan kekurangan harta. Puasa mengondisikan semua pelakunya dalam situasi yang sama. Apapun makanan sahurnya, maka si kaya dan si miskin akan sama-sama lapar dan haus dari terbit fajar sampai terbenam matahari.
Bagi si miskin mungkin terbiasa setiap hari menahan lapar dan kekurangan harta, sehingga tidak perlu lagi keluh kesah saat dia menjalani puasa. Bagi si kaya yang tidak biasa lapar dan haus, seharusnya menumbuhkan rasa empati kepada saudara-saudaranya yang biasa merasa lapar dan kekurangan harta. Tidak cukup baginya hanya menahan lapar dan haus, namun perlu tumbuh kekuatan untuk berbagi, baik sedekah wajib (zakat mal dan zakat fitrah) maupun sedekah sunnah. Sehingga batas/sekat yang memisahkan dia dengan si miskin makin tipis.
Islam sebagai agama sempurna memberikan kesempatan yang sama untuk meraih ridho Allah Subhanahu wa ta’ala. Rido-Nya merupakan kunci kebahagiaan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Lihatlah bagaimana Islam memberikan kesempatan kepada siapapun yang datang paling awal ke Masjid dan menginginkannya, maka dia berhak berdiri/melaksanakan shalat di shaf yang paling utama yakni shaf paling depan. Kesempatan ini buat siapa saja, pejabat atau rakyat biasa, kaya atau miskin yang penting laki-laki, sebab untuk perempuan diutamakan shalat di rumahnya.
Islam juga memberi kesempatan kepada umatnya untuk bersedekah, baik bagi si kaya maupun si miskin. Bagi si kaya bisa kapan saja dengan hartanya yang mana saja, bagi si miskin pun bisa kapan saja tapi tentu dengan amalan yang berbeda. Mari kita baca hadits ke-25 dalam Hadits Arbain Imam Nawawi:
Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ada sejumlah orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah pergi dengan membawa pahala yang banyak, mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian jalan untuk bersedekah? Sesungguhnya setiap tasbih merupakan sedekah, setiap takbir merupakan sedekah, setiap tahmid merupakan sedekah, setiap tahlil merupakan sedekah, mengajak pada kebaikan (makruf) adalah sedekah, melarang dari kemungkaran adalah sedekah, dan berhubungan intim dengan istri kalian adalah sedekah.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana bisa salah seorang di antara kami melampiaskan syahwatnya lalu mendapatkan pahala di dalamnya? Beliau bersabda, “Bagaimana pendapat kalian seandainya hal tersebut disalurkan di jalan yang haram, bukankah akan mendapatkan dosa? Demikianlah halnya jiak hal tersebut diletakkan pada jalan yang halal, maka ia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim, no. 1006]
Kembali kepada bahagia dan kesedihan yang sering datang berdampingan. Sekali lagi, sikap bijak yang perlu diambil adalah syukur dan sabar. Kita bisa belajar dari turunnya hujan, secara umum hujan adalah berkah, karena dengan air, kehidupan akan bisa berlangsung. Namun terkadang ada reaksi yang berbeda di tempat yang tidak berjauhan saat hujan turun. Peternak ikan yang kolamnya hampir kering akan bersyukur karena hujan turun, namun bagi petani padi yang sedang panen harus bersabar karena gabahnya kebasahan kerana turun hujan.
Begitupun dengan seorang pengendara mobil yang sedih karena mobilnya mogok, namun kesedihannya membuat orang lain bahagia. Rasa bahagia itu muncul di hati pemilik bengkel atau petugas derek. Jika musibah mogoknya mobil disikapi dengan sabar dan melihat sisi positif yakni memberikan orang lain kesempatan bekerja, maka yakinlah bahwa sikap sabarnya akan makin baik untuk dirinya juga. Sangatlah wajar jika Allah Subhanahu wata’ala memberi kabar gembira (berupa pahala yang tak terhingga) kepada orang-orang yang sabar.
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqarah: 155).
Ramadhan mengajarkan umat Islam yang berkekurangan untuk semakin sabar, karena di bulan lain dia terbiasa kekurangan. Ramadhan mengajarkan orang-orang yang berkecukupan untuk merasakan bagaimana orang-orang yang kekurangan menjalani hidupnya dengan rasa lapar dan haus, sehingga dengannya akan tumbuh empati untuk berbagi kebahagiaan berupa zakat, infak dan sedekah.
Seharusnya, tidak ada lagi dinding tebal yang menghalangi pandangan orang kaya terhadap kehidupan orang miskin selama dan setelah Ramadhan. Kedermawanan akan tumbuh di hati-hati para hartawan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang dermawan semakin dermawan saat Ramadhan tiba.
“Berkata Ibn Abbas ra : Bahwa Rasulullah saw adalah orang yang paling dermawan, dan lebih dermawan lagi saat Ramadhan, ketika dijumpai Jibril ‘alaihissalam, yang mengunjungi beliau setiap malam dibulan ramadhan, dan mengajarkan beliau saw Al Qur’an, maka sungguh Rasulullah saw lebih dermawan dalam berbuat baik daripada angin yang berhembus” (Shahih Bukhari).
**