Rumpin | Jurnal Bogor
Jika anda berkujung ke Desa Kertajaya, Rumpin, Kabupaten Bogor, anda pasti akan melihat pembuatan tusuk sate di setiap rumah yang ada di sana.
Usaha kerajinan pembuatan tusuk sate ini sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu dan telah menjadi usaha turun temurun yang diwariskan dari orang tua mereka.
Namun sayang, belakangan ini sejumlah pengrajin tusuk sate di Rumpin, terancam gulung tikar. Pasalnya, mereka kesulitan mendapatkan bambu sebagai bahan baku.
“Di Rumpin sudah susah nyari bambu tua untuk dijadikan tusuk sate,” ujar Ulis (36), salah seorang pengrajin.
Ia dan pengrajin lainnya mengaku terpaksa mencari bahan baku hingga ke Lebakwangi yang jaraknya cukup jauh. Padahal, setiap pengrajin hanya membutuhkan lima hingga sepuluh batang bambu dalam satu minggu.
“Mau tidak mau, biaya produksi bertambah. Akibatnya, tak sedikit pengrajin yang menstop produksinya,” katanya.
Maka dari itu, solusi yang bisa diambil untuk mengatasi kendala tersebut adalah keberadaan “bapak angkat” sebagai penopang permodalan, guna meningkatkan produksi dan kesejahteraan. Karena, keberadaannya, selain sebagai salah satu sumber ekonomi, juga bisa menjadi lapangan pekerjaan.
“Ratusan warga kami masih berharap ‘bapak angkat’ yang bisa melakukan pembinaan, terutama dalam penambahan modal untuk meningkatkan produksi tusuk sate yang saat ini menjadikan komuniditas unggulan yang bisa diandalkan oleh masyarakat desanya,” ujar Baedillah, Sekretaris Desa Kertajaya.
Menurut Baedillah, usaha kecil masyarakat ini akan terus berkembang. Bahkan, bisa menjadi lapangan pekerjaan masyarakat. Tapi, yang masih menjadi kendala adalah, permodalan serta pemasaran yang harusnya bisa diperluas lagi.
“Memang, saat ini produksi tutus sate yang dihasilkan masyarakat baru bisa mencukupi untuk pasar lokal, namun dengan adanya tambahan modal dan pembinaan dari ‘bapak angkat’ masyarakat yakin produksi tusuk sate ini bukan hanya di pasaran lokal saja, akan tetapi pasar nasional, bahkan bisa di ekspor,” ungkapnya.
Pasalnya, selain bisa memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, terutama kaum ibu-ibu. Pekerjaan ini juga bisa menjadi bisnis yang menguntungkan. Karena, untuk membuat tusuk sate ini tidaklah sulit, dan yang diperlukan hanyalah kemauan dan ketekunan saja.
“Bahkan, hanya dengan modal sebilah bambu dipotong-potong berukuran. Kemudian dibelah tipis-tipis seukuran tusuk sate, lalu dibersihkan,” tuturnya.
Namun sayang, keberadaan perajin ini tidak begitu terkoordinasi dengan baik sehingga dalam pendapatan tergantung pada kemampuan masing-masing perajin untuk menghasilkan tusuk sate.
Padahal dalam sehari, warga Desa Kertajaya bisa memproduksi puluhan ribu tusuk sate yang dikirim melalui satu penampungan sebelum dikirim di Jakarta. Rata-rata setiap sepasang tusuk sate yang masing-masingnya terdiri dari 200 tusukan dihargai sekitar Rp 1.000,-.
“Tapi harga tersebut cukup tipis jika melihat harga bambu yang kini bisa mencapai Rp. 7.000 per-batangnya untuk ukuran yang kecil dan Rp 25.000,- untuk ukuran besar,” jelas Sekdes.
Dia berharap kedepan ada investor yang dapat menjadi penampung bagi tusuk sate yang dihasilkan warganya.
“Sehingga dapat lebih meningkatkan pendapatan warga yang secara tidak langsung akan berdampak pada kesejahteraan wilayah,” tukasnya.
** Andres