Jakarta | Jurnal Inspirasi
Pengesahan undang-undang kontroversial Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) mendapat sorotan Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Din Syamsuddin. Dia menilai Omnibus Law telah menciptakan kegaduhan nasional.
“Kecenderungan pemerintah bersama DPR untuk mengesahkan RUU untuk menjadi UU seperti UU Minerba, Perppu yang dikebut menjadi UU Keuangan untuk Penanggulangan Covid-19, UU Ciptaker, sangat potensial menimbulkan kegaduhan nasional yang besar,” katanya melalui surat terbuka kepada Presiden RI Joko Widodo, dikutip dari CNN, Selasa (6/10).
Alih-alih mempertimbangkan potensi kegaduhan yang muncul, pemerintah dan DPR justru tergesa-gesa merampungkan pembahasan dan mengesahkan UU Ciptaker tanpa membuka ruang aspirasi bagi masyarakat.
Menurutnya, hal tersebut bukan hanya berlaku untuk UU Ciptaker melainkan juga RUU kontroversial lainnya yang sampai saat ini masih dibahas yakni RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP).
Ia mengaku heran RUU HIP masih masuk Program Legislasi Nasional padahal menuai banyak kritik, terutama dari organisasi masyarakat seperti Nadhlatul Ulama, Muhammadiyah, sampai Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Kami tidak memahami, apakah pemerintah bersungguh-sungguh ingin menciptakan ketidakgaduhan atau sebaliknya, justru ingin mendorong kegaduhan itu sendiri,” ujarnya.
Selain perkara UU kontroversial, Din juga menyebut ragam permasalahan negara lain yang perlu diperbaiki Jokowi yakni penanganan covid-19. Ia menilai janji pemerintah mengutamakan kesehatan dibanding ekonomi nampaknya tidak terealisasi.
Hal ini terlihat dari alokasi anggaran kesehatan yang menurutnya jauh lebih kecil dibanding anggaran untuk stimulus ekonomi. Apalagi hingga kini masyarakat harus membiayai rapid test dan pemeriksaan swab secara mandiri.
Din juga menyinggung gelaran Pilkada Serentak yang tetap dilaksanakan 9 Desember mendatang di tengah pandemi. Menurutnya, pemerintah abai dengan usul dari beragam ormas yang meminta pilkada ditunda.
“Ini sangat potensial menimbulkan kegaduhan. Jika terjadi kegaduhan akibat kebijakan yang tidak bijak, bukanlah rakyat yang salah dan dapat disalahkan. Tapi pemerintahlah yang sesungguhnya penyebab kegaduhan itu,” lanjut Din.
Mantan Ketua Umum MUI ini juga menyinggung sejumlah perkara yang dinilai tidak ditangani dengan baik oleh pemerintah. Seperti kasus Jiwasraya yang terkesan ditutup-tutupi, tindakan kekerasan terhadap tokoh agama, hingga sikap aparat hukum yang dinilai tidak melindungi rakyat.
Ia mengatakan sikap dan tindakan represif, otoriter, serta abai terhadap aspirasi masyarakat merupakan tanda kemunduran bagi Indonesia. “Pada periode terakhir Bapak Presiden Joko Widodo, kiranya dapat dikenang dengan legacy sebagai Bapak Demokrasi Indonesia, bukan sebaliknya,” ungkapnya.
Pekan ini publik diramaikan dengan langkah DPR mengesahkan Omnibus Law UU Cipta Kerja pada Senin (5/10). Pengesahan UU Omnibus Law Ciptaker ini mendapatkan penolakan dari banyak masyarakat, khususnya kalangan buruh dan aktivis lingkungan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim negara tetap hadir untuk memberikan perlindungan kepada pekerja melalui Omnibus Law Cipta Kerja, terutama korban pemutusan hubungan kerja (PHK). Salah satunya, kata Airlangga, soal pemberian pesangon melalui jaminan kehilangan pekerjaan (JKP).
Airlangga bilang JKP akan dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan. Dalam hal ini, pemerintah berkontribusi penguatan dana di BPJS Ketenagakerjaan.
“Justru dengan UU ini (Ciptaker), kehadiran negara hadir dalam bentuk hubungan industrial Pancasila yang mengutamakan hubungan tripatrit antara pemerintah, pekerja, dan pengusaha dengan dikeluarkannya JKP,” kata Airlangga dalam Rapat Paripurna di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin (5/10).
** ass