Bogor | Jurnal Inspirasi
Ancaman resesi ekonomi Indonesia sudah di depan mata. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan perekonomian Indonesia akan turun di kisaran -5,1 persen hingga -3,5 persen pada kuartal II 2020. Meski sebelumnya dia memprediksi pertumbuhan ekonomi kuartal III berpotensi minus 0,4 persen.
Memburuknya perekonomian akibat virus corona patut diwaspadai oleh kelas pekerja yang saat ini belum terdampak langsung, baik dirumahkan maupun terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Terlebih, belum ada kepastian kapan pandemi akan berakhir dan itu berarti kesempatan untuk dapat kembali berkarir seperti sebelumnya akan makin sempit.
Dikutip dari CNN, Sabtu (18/7), yang perlu dipersiapkan para pekerja untuk menghadapi ancaman resesi ke depan menurut Perencana Keuangan dari Advisors Alliance Group Andy Nugroho adalah karyawan yang saat ini masih bekerja harus mulai menabung dan mempersiapkan dana darurat untuk menghadapi krisis. Besarnya tabungan dapat disesuaikan total dengan pesangon atau gaji yang diterima tiap bulan.
Idealnya, kata dia, uang yang disisihkan sebagai dana darurat sebesar 20 persen dari penghasilan. Misalnya, jika seorang pekerja menerima upah sebesar Rp5 juta per bulan, maka Rp1 juta di antaranya harus segera dipisahkan.
Di samping itu Andy juga mengimbau pekerja mulai mengurangi aktivitas hiburan atau leisure activity. Jika dari awal anggaran untuk kegiatan ‘senang-senang’ sudah dialokasikan, ia menyarankan jumlahnya dipangkas hingga setengahnya dan dialihkan menjadi tabungan untuk dana darurat.
“Kesenangan pribadi saya sarankan juga anggaran dikurangi. Bisanya kan untuk leisure itu 10 persen dari total pendapatan. Misalnya gaji Rp5 juta sekitar Rp500 ribuan, kurangi lagi setengahnya jadi 5 persen. Kan lumayan 5 persen lagi bisa saving,” ucapnya.
Selanjutnya, Andy mendorong para pekerja untuk mulai mencari sampingan untuk tambahan tabungan serta memenuhi kebutuhan selama pandemi dari sekarang. Kesempatan itu terbuka lebar lantaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) telah mendorong orang-orang bekerja dan belajar dari rumah di mana banyak waktu kosong bisa dioptimalkan untuk kerja sambilan.
“Coba untuk mencari sampingan entah itu berbisnis maupun sampingan lainnya kalau beneran kena PHK, ada sampingan. Sehingga itu bisa jadi penghasilan walaupun enggak menutupi income utama paling enggak ada pelampung pengaman,” jelasnya.
Di luar itu, pekerja juga harus mulai mencari instrumen investasi yang tepat untuk menghadapi pandemi. Disarankan tidak menaruh uang pada instrumen yang kurang likuid seperti tanah dan properti. Andi merekomendasikan deposito dan logam mulia sebagai instrumen investasi para pekerja.
Instrumen investasi lain yang bisa dipertimbangkan adalah obligasi ritel yang diterbitkan Direktorat Jendral Pembiayaan dan Resiko Kementerian Keuangan. Dari sisi keuntungan, obligasi ritel menawarkan imbal hasil lebih tinggi ketimbang bunga bank.
“Untuk investasi aman dan likuid di masa sekarang sebetulnya logam mulia karena ada kemungkinan harga naik, tapi kalau mau lebih panjang kita bisa rasakan hasilnya ke depan. Tapi paling enggak ada barang investasi dan berpotensi naik kalau dibutuhkan mudah banget dilikuidasi,” terangnya.
Tapi, ini kurang pas untuk dana darurat karena cukup lama tenornya. Teman-teman yang kantornya lagi goyang, kalau pun mau investasi harus yang betul-betul likuid. Bisa juga deposito yang bulanan aja,” tandasnya.
Senada, perencana keuangan dari Finansial Consulting Eko Endarto menilai ancaman resesi bisa jadi momentum memperbaiki pengelolaan keuangan para pekerja. Krisis, menurutnya, memang bisa mengubah kebiasaan orang secara drastis dalam waktu singkat.
Selain untuk mengantisipasi terjadinya PHK, tabungan dana darurat juga dibutuhkan jika sewaktu-waktu tingkat inflasi melambung tinggi dan harga-harga kebutuhan pokok menjadi mahal. “Dengan tabungan kita jadi enggak was-was. Kalau anak kita, orang tua atau saudara kita butuh, juga bisa kita bantu kalau pekerjaan kita enggak terdampak,” ucapnya.
Namun Eko hanya merekomendasikan deposito sebagai instrumen investasi aman saat ini. Sebab investasi logam mulia seperti emas diperkirakan akan sulit dicairkan jika ada kebutuhan mendesak.
Sementara itu dana darurat yang perlu disiapkan, menurutnya, minimal sebesar 30 persen dari total penghasilan. Ia mensimulasikan, misalnya, pekerja dengan gaji Rp5 juta dapat menyisihkan Rp1,5 juta per bulan.
Sementara 70 persen lainnya bisa digunakan untuk pengeluaran wajib bulanan seperti sewa hunian sebesar 15 persen, makan 30 persen, transportasi dan pulsa 25 persen. “Kenapa makan 30 persen? Nah, ini harus sama dengan saving untuk dana darurat. Jadi, misalkan ada PHK paling enggak uang dia saving itu bisa dipakai untuk makan. Sisanya pesangon dari kantor bisa dipakai untuk bisnis dan lain-lain,” tuturnya.
Meski demikian, Eko menekankan bahwa simulasi tersebut adalah rencana keuangan untuk menghadapi resiko terburuk dari pandemi Covid-19. Artinya ada banyak kebutuhan lain-lain yang sudah dipangkas seperti aktivitas leisure dan belanja-belanja kebutuhan sekunder seperti buku bacaan hingga video game kesukaan.
ASS |*