Bogor | Jurnal Inspirasi
Jalur prestasi (japres) non akademik bidang keolahragaan tingkat SD, SMP SMA atau SMK pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2020-2021 dinilai oleh Komisi IV DPRD diskriminatif. Hal itu lantaran japres tidak menampung semua cabang olahraga (cabor).
“Hal itu karena Kantor Cabang Dinas Pendidikan (KCD Disdik) Jawa Barat Wilayah II dan Disdik Kota Bogor memberikan kebebasan bagi satuan pendidikan untuk menentukan cabor yang diterima di sekolah,” ujar Anggota Komisi IV DPRD, Akhmad Saeful Bakhri (ASB) kepada Jurnal Bogor, Selasa (2/6).
Padahal, kata dia, dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 31 Tahun 2020 tentang pedoman penerimaan peserta didik baru pada sekolah menengah atas, sekolah menengah kejuruan, dan sekolah luar biasa. Tidak mengatur satuan pendidikan untuk menentukan cabor pada japres.
Kata dia, hal itupun jelas tertuang pada Petunjuk Teknis PPDB pada SMA, SMK dan sekolah luar biasa (SLB) tahun 2020 di provinsi Jawa Barat. “Ini harus menjadi perhatian DPRD dan KONI. Jadi tidak benar kalau setiap sekolah hanya menerima japres dari cabor tertentu,” ungkap politisi PPP ini.
Menurutnya, apabila satuan pendidikan masih melakukan hal serupa, artinya hal itu bertengangan dengan pergub, dan akan berdampak terhadap lost potensi atlet di Kota Bogor. “Harus ada perbaikan soal hal itu agar aset atlet kita terdistribusi dengan baik. Kasihan anak-anak yang sudah berjuang untuk Kota Bogor. Tetapi akhirnya tidak mendapatkan ruang pendidikan dari japres karena ego satuan pendidikan,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua KONI Kota Bogor, Benninu Argoebie mengatakan, seharusnya sekolah, Disdik dan KCD mengacu kepada legalisir dan verfikasi KONI untuk mempertimbangkan siswa tersebut diterima pada sekolah itu. “Apalagi sudah ada rekomendasi mutlak KONI, yang artinya atlet itu adalah binaan yang diproyeksikan membela Kota Bogor pada event skala daerah, nasional dan internasional,” katanya.
Benn mencontohkan, terdapat salah satu sekolah yang hanya menerima japres untuk cabor karate lantaran terdapat ekstrakurikuler di sekolah itu. Akhirnya, ketika ada atlet judo mendaftar ia tidak diterima. “Padahal, sejauh ini karate belum dapat menyumbang kontribusi prestasi signifikan. Inilah yang menjadi masalah. Harusnya sekolah mengacu ke KONI karena yang tau medan itu kami. Kalau begini terus ada ruang lost potensi atlet,” paparnya.
Atas dasar itu, kata Benn, pihaknya memohon agar dinas terkait dan satuan pendidikan memperhatikan rekomendasi dan surat keterangan resmi atlet yang diterbitkan KONI. “Kami sudah komunikasi beberapa kali dengan semua sekolah. Tapi tiap ganti kepsek selalu berubah. Sekokah jangan mengacu ke ekstrakurikuler,” paparnya.
Terpisah, Kepala Bidang Pembinaan Prestasi KONI, Yudi Wahyudi mengatakan, PPDB japres non akademik tidak dapat mengacu kepada ekstrakurikuler, tetapi mesti melihat kontribusi cabor bagi Kota Bogor. “Kalau yang jadi kendala karena tak adanya ekskul cabor itu, sekolah bisa memberi kepercayaan ke pengcab untuk melatih. Sebab pembinaan terbaik ada di pengcab, bukan di ekskul,” katanya.
Yudi menegaskan, seharusnya Disdik, KCD dan sekolah bisa melihat mana cabor yang berkontribusi pada Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas) dan Pekan Olahraga Pelajar Daerah (Popda) sebagai salah satu acuan. “Perlu diperhatikan bahwa pelajar Kota Bogor berkontribusi 10 persen dari perolehan medali kontingen pada Porda. Dan itu bukan hasil pembinaan ekskul, tapi KONI dan pengcab,” tandasnya.
Yudi menegaskan, Kota Bogor sudah sempat kehilangan beberapa atlet lantaran tak difasilitasi dalam hal pendidikan. Salah satunya adalah perenang yang kini membela DKI Jakarta, yang mulanya adalah atlet binaan PRSI Kota Hujan. “Karena tak difasilitasi dia pindah ke DKI. Kita juga terancam kehilangan atlet potensial dari wushu, selam dan panjat tebing apabila tak difasilitasi dalam hal pendidikan. Mestinya dipahami bahwa dalam pergub pun tak ada batasan cabor yang diterima melalui japres non akademik,” pungkasnya.
n Fredy Kristianto