JURNALINSPIRASI.CO.ID – Astaghfirullahalaziem. Wabub Rohil Riau tertangkap razia kepolisian, om Sulaiman berduaan dengan wanita lain, bukan istrinya, berselingkuh, begitu bunyi pesan pers release dari pihak kepolisian daerah Riau, yang dikutip beberapa media social Riau yang muncul di WAG seperti Suara, Kuansing, dan lain-lain.
Saya membaca berita buruk (bad news) tersebut, sedih, prihatin, memalukan, kita muak serta jijik mendengarnya. Sebagai tokoh panutan, Wabup kok teganya berbuat haram tersebut. Kemudian saya tertarik untuk menulis, menarasikannya mengapa peristiwa atau kasus itu bisa terjadi.
Kasus seperti sebenarnya banyak terjadi, ibarat puncak gunung es. Beliau om Wabub Rohil apes saja saat itu, di saat razia tertangkap tangan di kamar hotel oleh aparat keamanan dan penegak hukum setempat di negeri Lancang Kuning Riau, Kota Pekanbaru.
Penyakit 3 Ta, berjangkit pada para pejabat publik dan petinggi pemda-pemda di daerah Riau. 3 Ta, doyan tahta, harta dan wanita.
Berkelindan dalam perbuatan haram dan kemaksiatan, seperti gemar sogok-menyogok dan suap-menyuap yang sangat dilarang dan diharamkan agama untuk meraih kekuasaan, cara dan pendekatan transaksional, istilah populernya “wani piro’. Tidak ada makan siang gratis. Itu istilah populis untuk memburu kekuasaan, terutama posisi puncak (tahta).
Memburu tahta, pejabat publik di pemerintahan tersebut, sungguh mahal, berbiaya tinggi (high cost) baik biaya politik (cost politic) untuk berbelanja atribut partai dan kontestan sepeti spanduk, baner, baju kaos, selendang dan baju “hadiah” dari para caleg dan atau calbup, cawalkot dan lain-lain, maupun uang sogokan tim sukses dan uang serangan fajar untuk mendapatkan dukungan suara (money politic). Serangan fajar dengan membagi-bagikan uang kepada para pemilih, sering dan umumnya banyak terjadi menjelang penyelenggaraan Pemilu dilakukan, H min 2 atau 1.
Mesin tim sukses caleg atau calbup bekerja intensif pada saat itu. Walaupun jauh hari uang dan barang haram tersebut sudah didistribusikan dan disebar ke daerah basis-basis pemilihan parpol, dimana sebagian besar masyarakat berafiliasi. Walaupun hasil “kajian” dan “pooling” timses hanya berupa laporan spekulatif, untuk menyenangkan pihak sponsor, penyandang dana.
Timses caleg dan cabup/cawalkot ini sangat pintar, menipu sang pemburu kekuasaan maniak, mereka timses ingin mencari keuntungan. Mereka beranggapan, ini kesempatan yang baik untuk berdagang suara, politik yang mereka kenal adalah proses transaksi, tidak ada kaitan moral, etika dan ahlaqulkarimah, yang penting bisa menjadi “pemenang” semu bisa duduk di singgasana, tahta semu.
Dengan pola berperilaku dan budaya berpolitik pragrmatis dan amoral tersebut, dampaknya kemana-mana, antara lain perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) antar pejabat dengan para pengusaha terutama penguasaha yang ikut terlibat dalam proses “tender” proyek-proyek pembangunan daerah yang dananya bersumber APBD menjadi bancakan para elite politik.
Selain itu pengumpulan dana politik untuk cost and money politic untuk mempertahankan dan merebut serta meraih tahta kembali, setelah meraih kekuasaan tertinggi, pejabat di daerah, ditempuh beberapa cara antara lain mengejar fee izin investasi pemanfaatan sumberdaya alam seperti perkebunan sawit, kehutanan, pertambangan, berburu rente di lapangan usaha perdagangan, fee promosi jabatan dinas, dan fungli-fungli ilegal lainnya.
Tidak menjadi rahasia lagi untuk mendapatkan tahta, berupa jabatan publik di daerah, membutuhkan dana miliaran rupiah dalam proses demokrasi liberal tersebut.
Memang bangsa kita saat ini korban politik, demokrasi liberal, bukan demokrasi Pancasila sebagaimana sila ke-4, musyawarah dan mufakat atas hikmah kebijakan, yakni demokrasi akal sehat (commen sense) bukan akal bejat, transaksional yang sesat menyesatkan, gejalanya semakin menggila (demograzy) banyak terjadi saat ini zaman now di tengah masyarakat kita.
Dampak negatif dari “proses demograzy” tersebut adalah salah produk pilpres, pileg, pilbup dan pilwakot adalah para penguasa yang gemar, doyan 3 Ta (tahta, harta dan wanita). Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa terjadinya kasus aib dan memalukan seperti kasus tertangkapnya Wabup Rohil sekamar dengan wanita lain, berzina (om Sulaiman) yang sudah viral di medsos se-Riau, dan Bupati Meranti Riau yang tertangkap KPK korupsi, juga Bupati Kuansing tertangkap tangan KPK menerima suap dari pimpinan perusahaan sawit di Riau untuk meluluskan perpanjangan izin usaha perkebunan dan lain-lainnya, bisa kita pahami akibat perbuatan maksiat, penyakit akut 3 Ta, gemar tahta, harta dan wanita. Napsu serakah mengendalikan para pemburu jabatan publik di negeri ini.
Dimana letak permasalahan sebenarnya, kok bisa terjadi perbuatan bejat itu? karena kehidupan kita semakin menjauh dari ideologi, falsafah bangsa Pancasila, ajaran agama (Dinnulislam) dan kehidupan berkonstitusi sesuai UUD 1945 pun terlupakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita.
Solusinya bagaimana? Ya kita terutama mereka yang berbuat maksiat, berhentilah, stop berzina, bertaubatan nasuhalah untuk menghindari penyakit sosial 3 Ta, minta ampun kepada Allah SWT untuk kembali ke jalan yang benar dan lurus (sirotol mustaqiem) sebelum dicabut nyawanya. Maaf kita sudah muak membaca berita buruk di medsos kasus pejabat terkena penyakit gemar maniak Tahta, Harta dan Wanita (3 Ta).
Sekian dan terima kasih, semoga ada manfaatnya. ###
Save masyarakat, bangsa dan negara RI, terutama rakyat Riau dari kemaksiatan penyakit 3 Ta.
Wassalam
Penulis:
Dr.Ir.H.Apendi Arsyad, MSi
(Dosen dan Pendiri Universitas Djuanda Bogor, Pendiri dan Ketua Wanhat ICMI Orwilsus Bogor, Wasek Wankar ICMI Pusat, Aktivis dan Pengamat Sosial)