Jonggol | Jurnal BogorÂ
Maraknya usaha kavling di Kabupaten Bogor, seolah menandakan lemahnya peran Pemkab terhadap pengaruh pengusaha. Hal tersebut terlihat dari lemahnya penindakan yang mengakibatkan usaha kavling justeru beranak pinak menjadi banyak.
Hal tersebut disampaikan Pemerhati Tata Ruang dan Infrastruktur Herry KH. Menurutnya, dalam kasus merebaknya usaha kavling di Kabupaten Bogor seolah memang seperti pembiaran yang terstruktur. Pasalnya, bukan tidak mungkin usaha kavling yang begitu terlihat di hadapan mata tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah.
“Kenapa saya bilang terstruktur, pertama dari izin lingkungan yang dikeluarkan oleh Kepala Desa dan Camat akan usaha itu, mereka selalu beralasan warga sudah menyetujuinya jadi desa juga menyetujuinya,” papar Herry.
Kemudian, sambung dia, sampailah izin lingkungan tersebut ke Camat. Camat pun melakukan hal yang sama menyetujui dengan dasar ada izin lingkungan dari desa. Mereka berkata seolah apa yang mereka lakukan sudah benar, padahal camat merupakan jabatan struktural dimana dia harusnya tahu apa hal yang memang melanggar dan tidaknya.
“Bukan berkata kita sebatas izin lingkungan selanjutnya diserahkan ke pemda. Sedangkan mereka tahu jika Pemkab Bogor belum memiliki izin usaha kavling, kan lucu lelucon ala pemerintah ini,” ungkap Herry kepada Jurnal Bogor, Selasa (2/5/23).
Dan yang lebih lucunya, kata Herry, peran penegak perda seolah dibuat tak berkutik oleh pengusaha kavling tersebut. Padahal jelas-jelas usaha mereka melanggar.
“Eh Pol PP cuma nengok dan mampir aja. Lalu apa gunanya ada Penegak Perda kalo dia tau perdanya dilanggar malah cuma silaturahmi pada si pelanggar,” guyonnya.
Dan yang tak kalah penting adalah peran masyarakat, sambung Herry, masyarakat pun jangan banyak diam dan terlena dengan orang-orang kota yang membeli lahan mereka untuk dijadikan usaha kavling, karena nantinya mungkin 10 tahun kedepan kavling berkedok kebun itu akan jadi hotel, resort , villa bahkan pemukiman atau perumahan.
“Dampak parah ya kepada masyarakat lingkungan, karena gak ada saluran irigasi, gak ada aliran air, pembuangan sampah, apalagi fasum pemakaman dan lain-lain,” ujarnya.
Lebih lanjut Herry mengatakan, kebanyakan pengusaha kavling itu mencari view yang menjual di bukit atau pegunungan. Nilai risiko bencana alam sangat tinggi, apalagi Bogor adalah kota hujan. Oleh karena itu jangan menunggu musibah besar datang dan menimpa, mencegah itu lebih baik daripada mencegah.
” Intinya, Pemda jangan bengong karena keberadaan usaha kavling ini jelas merugikan Pemda karena tidak ada pemasukan pembuatan izin dan fasos fasumnya asal-asalan,” cetusnya.
“Harusnya sih, jika betul-betul ditindak usaha kavling ini tidak akan beranak, karena adem ayem makanya mereka makin membiak. Mungkin para pengusaha kavling itu dengan pejabat Pemda sudah kenalan,” candanya.
Sementara, salah satu konsumen asal Semarang, Risma (42) menjelaskan dia tertarik membeli tanah di wilayah Jonggol dan Sukamakmur dari media sosial FB yang dilihatnya.
“Di video itu viewnya bagus, dan aslinya pun bagus. Harga tanahnya juga murah bahkan kami dijanjikan sampai sertifikat,” ucapnya.
Bukan hanya itu, sambung Risma, dirinya juga dibebaskan membangun apa saja di tanah yang dibelinya.
“Mau bangun rumah, villa, mungkin hotel juga bisa kalo belinya banyak. Gak ada bilang kavling khusus kebun ya, marketing menawarkan kavling di pegunungan ini boleh dibangun apa aja,” pungkasnya.
** Nay Nur’ain