Jakarta | Jurnal Inspirasi
Pemerintah hingga kini dinilai tidak memiliki rancangan induk (grand design) tentang guru sehingga kasus guru honorer masih akan terus terjadi alias jadi bom waktu. Seperti kasus pemecatan guru honorer Hervina di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan yang mengunggah gajinya selama empat bulan sebesar Rp700 ribu di media sosial, baru-baru ini, meski diperkerjakan lagi namun merupakan satu dari banyak cerita sulitnya perjuangan tenaga pendidikan.
“Di UU ASN, UU Guru dan Dosen, tidak dikenal guru honorer, yang ada guru ASN dan guru Yayasan. Guru ASN itu ada PPPK dan PNS. Nah, kenapa muncul guru honorer karena kelalaian pemerintah untuk segera mengangkat guru-guru menjadi ASN, banyak guru pensiun sementara yang diangkat minim,” kata Pakar Pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Cecep Darmawan dikutip dari BBC, Selasa (23/2).
Bahkan kata Cecep, minimnya jumlah guru ASN menyebabkan sekolah menjadi dilema. “Menunggu guru ASN sulit dan lama, akhirnya diangkat guru-guru yang diberi label honorer. Ini menurut saya kelalaian pemerintah yang menjadi bom waktu,” tambah guru besar UPI tersebut.
Pengangkatan guru honorer ini, kata Cecep, kemudian mengandalkan anggaran dana BOS yang terbatas, akibatnya gaji para guru honorer menjadi tidak layak. Untuk itu, kata Cecep, pemerintah harus segera membuat pemetaan untuk kemudian mengangkat guru honorer dengan memprioritaskan mereka yang sudah memberikan pengabdian lama.
“Mereka yang di bawah 35 tahun diangkat PNS, yang usia di atas itu jalur PPPK. Ada target waktu dan peta jalannya. Kalau tidak saya khawatir kita akan darurat guru. “Jadi kebijakan yang sifatnya afirmatif. Dihitung saja oleh pemerintah, berapa banyak yang sudah mengabdi lebih dari sepuluh tahun.”
“Kalau saya, angkat saja itu tanpa tes PPPK. Tentu yang memenuhi persyaratan. Logikanya, mereka sudah 10 tahun jadi guru, masa belum profesional,” kata Cecep.
Setelah diangkat, ujar Cecep, kemudian dilakukan pelatihan sesuai yang dipersyaratkan seperti pendidikan profesi guru (PPG). Pasalnya, guru-guru honorer di Indonesia mengungkapkan menerima gaji yang jauh dari kata layak walaupun telah mengabdi belasan bahkan puluhan tahun tanpa kepastian status kerja. Mereka terpaksa mencari pekerjaan sampingan demi bertahan hidup. Namun, mereka memutuskan tetap bertahan karena satu hal, yaitu mencintai pekerjaan.
Penyelesaian kasus Hervina yang mengabdikan 16 tahun sebagai guru honorer dengan mediasi dan kembali mengajar hanyalah solusi jangka pendek yang tidak menyelesaikan akar permasalahan guru honorer, yaitu upah minim dan tidak ada kepastian status kepegawaian.
Pemerintah lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berupaya menyelesaikan masalah guru honorer dengan program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) – merekrut satu juta guru. Namun, sebagian guru honorer menolak cara ini, khususnya bagi mereka yang sudah tua, hanya lulusan sekolah pendidikan guru – setara SMA – dan telah mengabdi belasan tahun, sebab PPPK mensyaratkan pendidikan minimal sarjana.
Sementara di Kabupaten Bogor juga ada cerita dari Dewi, seorang guru honorer dari tahun 2006 hingga sekarang, atau sudah 15 tahun. Ia sama seperti Hervina, seorang guru honorer SDN yang digaji menggunakan dana bantuan operasional sekolah (BOS).
“Pertama kali lulus SMA diterima jadi guru honorer dan digaji Rp50 ribu sebulan, lalu naik jadi Rp100 ribu, Rp150 ribu hingga Rp500 ribu,” kata Dewi kepada wartawan BBC News Indonesia Raja Eben Lumbanrau. “Setelah 11 tahun naik menjadi Rp1 juta sampai tahun kemarin menjadi Rp1,5 juta,”
Dengan penghasilan itu, Dewi yang telah mendapat gelar sarjana pendidikan tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Beruntung, ia memiliki suami yang bekerja.
“Penghargaan kepada kami, seperti gaji rendah, masih di bawah standar. Kalau dibilang cukup, itu tidak etis, sedih rasanya. “Ditambah lagi, gaji dana BOS datangnya tidak setiap bulan. Seperti sekarang, dana BOS belum turun ke sekolah. Jadi kami tidak gajian dari Januari,” katanya.
Dewi merasa tidak ada penghargaan dari pemerintah yang membuat dirinya dapat mengabdi dengan tenang. Hingga kini Dewi masih bergulat dengan kesejahteraan padahal jasanya telah membuat anak didiknya dapat mencapai mimpi menjadi tentara, sarjana dan dokter.
Lalu, apa tanggapan Dewi terkait program PPPK?. “Saya tidak setuju karena itu bukan solusi, tapi mau tidak mau harus daftar,” jelas Dewi.
“Saya sudah berumur 35 tahun, CPNS tahun ini tidak ada. Kalau tidak dicoba, saya bisa menjadi guru honorer seumur hidup,” jelasnya kemudian, seraya menyebut saat ini jumlah guru honorer rata-rata lebih dari 50% dari total guru yang mengajar di satu sekolah negeri di Kabupaten Bogor.
Dewi berharap, pemerintah mempertimbangkan guru honorer yang telah lama mengabdikan diri, belasan hingga puluhan tahun, agar mendapatkan prioritas menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Sementara pemerintah mengklaim ada perlindungan kerja dan kesejahteraan guru. Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan pada Kementerian Pendidikan, Iwan Syahril mengatakan, rekrutmen ASN-PPPK menjadi salah satu solusi untuk menyelesaikan masalah kekurangan guru, kesejahteraan guru honorer, hingga perlindungan kerja guru di berbagai daerah.
“Gaji dan tunjangan PPPK sama dengan PNS. Hal ini akan menjawab persoalan kesejahteraan guru honorer,” tegas Iwan dalam siaran pers yang merespon kasus Hervina.
“Selain itu, pada manajemen PPPK, terdapat pasal pemutusan hubungan perjanjian kerja yang sudah diatur dan ada prosedurnya sehingga bisa memberikan perlindungan kerja kepada guru,” lanjutnya.
Namun ketika ditanya mengenai keluhan para guru honorer dan upaya pemerintah untuk menyelesaikan masalah guru honorer itu, Iwan tidak merespon. Sebelumnya, Mendikbud Nadiem Makarim mengatakan, pemerintah akan membuka seleksi formasi guru PPPK hingga satu juta yang tidak terpengaruh batas usia dan lama bekerja.
Perekrutan PPPK dijadwalkan akan dimulai Juni mendatang. Guru honorer yang bisa mendaftar adalah mereka yang tercatat di dapodik dan lulusan pendidikan profesi guru (PPG) yang saat ini tidak mengajar.
Setiap pendaftar diberi kesempatan mengikuti ujian seleksi sampai tiga kali. Kemendikbud juga menyediakan materi pembelajaran secara daring dan seluruh biaya penyelenggaraan ditanggung negara.
“Semua guru honorer bisa mengikuti tes tersebut tapi yang akan diangkat menjadi guru P3K hanya yang lulus tes, berapa pun jumlahnya. Kalau yang lulus tes 200.000 berarti 200.000 yang diangkat,” kata Nadiem dalam Taklimat Media tentang Capaian Program Prioritas Tahun 2020 dan Program Prioritas Tahun 2021.
** ass