Home News Pendidikan (di Negara) Guru Tertindas

Pendidikan (di Negara) Guru Tertindas

Kota Bogor | Jurnal Bogor – Musuh utama bangsa ini adalah kemiskinan dan kebodohan. Seandainya kemiskinan adalah makhluk maka aku akan membunuhnya, demikian kata Sayyidina Ali. Kemisikinan menyebabkan kebodohan karena kemiskinan membatasi pada berbagai akses perbaikan hidup, termasuk pendidikan. Kebodohan juga menyebabkan kemiskinan menjadi semakin akut, karena bodoh cenderung malas.

Ketika perang, tentara tahu mana lawan dan yang harus dilenyapkan. Sementara musuh guru adalah kebodohan dan mental miskin. Kemiskinan yang dilawan guru adalah kemiskinan mental. Mentalitas miskin sudah menjadi bagian dari budaya bangsa ini. Dalam kajian teoritisnya, kemiskinan di Indonesia disebabkan dua hal, kemiskinan struktural dan mental miskin.

Jika diibaratkan perang, guru berperang tiap hari untuk memerangi kebodohan dan mental miskin. Istirahat guru hanya ada dua hari, yaitu Sabtu dan Minggu. Minggu sore harus sudah mempersiapkan lagi untuk memerangi kebodohan dan mental miskin. Penulis sengaja menulis kata “perang”, merujuk pada kalimat bijak sayyidina Ali seandainya makhluk maka “kemiskinan (termasuk kebodohan) akan saya bunuh”. Pemilihan kata perang juga untuk menggambarkan “senjata apa yang harus dimiliki guru untuk senantiasa mampu menghadapi perang pada masa kini dalam dunia pendidikan.”

Sudahkah guru memiliki senjata yang memadai untuk menghadapi kondisi saat ini? Mari kita refleksi bersama-sama. Dari sisi pendapatan, masih ada guru yang penghasilannya Rp 300.000 perbulan, bagaimana dia harus menghadapi generasi yang bukan lagi pure intellegence, tetapi sudah bercampur sebagai generasi artificial intelligence. Untuk berlangganan internet saja agar bisa senantiasa meningkatkan kemampuan diri, uang Rp 300.000 tentunya habis untuk berlangganan internet, bahkan tidak cukup. Terbayang kita ingin menghilangkan kebodohan dan kemiskinan oleh orang yang dimiskinkan secara struktural, yaitu guru yang pendapatannya 300 ribu perbulan.

Guru adalah Abdi Negara
Menjalankan tugas guru adalah menjalankan tugas negara, baik sebagai guru negeri maupun swasta. Tugas utamanya termaktub dalam UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara khusus dimuat dalam Pasal 31 UUD 1945, tentang Pendidikan di Indonesia. Hal ini kemudian dijabarkan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003. Tujuan Pendidikan Nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Namun berbagai kasus yang menimpa guru akhir-akhir ini membuat dunia pendidikan prihatin, terutama kasus kriminalisasi terhadap guru. Kasus Guru Supriyani di Konawe Selatan Sulawesi Selatan adalah yang paling menarik secara nasional. Ada bukti rekayasa kasus, dan Jaksa pun akhirnya menuntut bebas.

Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 39 dengan jelas mengatur perlindungan guru dalam tiga hal, yaitu Perlindungan Hukum, Perlindungan Profesi dan Perlindungan Keselamatan Kerja. Perlindungan hukum mencakup tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi. Perlindungan profesi mencakup, pemutusan hubungan kerja, imbalan yang tidak sesuai, pelecehan terhadap profesi. Terakhir, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, serta perlindungan atas kekayaan intelektual.

Untuk pelaksanaan dari UU Guru dan Dosen, diperjelas dalam Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 Pasal 1 dan 2, “Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada siswa yang melanggar norma agama, norma kesiswaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan dan peraturan perundangan-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya. Sanksi yang dimaksud dapat berupa teguran, peringatan lisan maupun tulisan, dan hukuman yang bersifat mendidik sesuai kode etik guru dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tahun 2017 PGRI melakukan Nota Kesepahaman dengan Kepolisian Republik Indonesia, tentang Perlindungan Hukum Profesi Guru. Lengkap sudah, tetapi lemah dalam implementasi.

Guru dan Kekerasan
Kita sepakat tidak setuju dengan hukuman kekerasan fisik, zaman sudah berubah. Namun terkadang guru terjebak pada keadaan emosi sesaat, ini yang bahaya. Banyak kejadian kekerasan, tidak hanya di dunia pendidikan, tetapi di tengah-tengah masyarakat karena didorong emosi sesaat. Sebuah harian nasional menuliskan seri tulisan tentang kejadian-kejadian kriminal pembunuhan karena emosi sesaat. Mengelola emosi inilah yang perlu dikelola dan dilatih.

Ketika siswa melakukan tindakan menentang peraturan, gunakan metode berhenti sejenak, dan menarik napas yang dalam, sehingga kemudian dapat memilih secara proporsional tindakan berikutnya. Jangan terjebak emosi sesaat, lalu mengambil tindakan spontan dan tindakan itu berupa kekerasan pada peserta didik. Jangan dibandingkan dengan zaman guru-guru ketika menjadi siswa, kenyang dengan lemparan penghapus, pukulan penggaris kayu. Zaman sudah berubah, ada UU Guru dan Dosen, tetapi ada juga UU Perlindungan Anak. Inilah yang sering dikedepankan.

Terlepas dari kejadian tindakan guru yang kadang terjebak pada emosi sesaat, selama tidak mencederai siswa dan masih dalam batas toleransi serta masih dalam kerangka pendekatan pendidikan harusnya orang tua kompak menjadi bagian pendidik. Tindakan mempidanakan guru adalah tindakan yang mencerminkan bangsa yang memandang pendidikan hanya sebatas jasa jual ilmu. Padahal tugas paling beratnya adalah menanamkan adab dan kedisiplinan. Ini tugas negara. Kalau hanya sekadar timbal balik ilmu, cukup mengikuti bimbingan belajar atau mengambil les privat.

Mari Belajar Bersama
Bangsa yang hebat adalah bangsa pembelajar. Mari berefleksi sejenak ke tahun 2020 sampai awal tahun 2023, ketika bencana Covid melanda Indonesia. Saat itu dipertontonkan rasa frustrasi para orang tua ketika mendidik dan mengajar anak-anaknya di rumah. Rasa bosan berkepanjangan, dikenal dengan istilah burnout, melanda seluruh Masyarakat Indonesia. Selain burnout, penyakit fisik berupa obesitas, mulai menjangkiti sebagian anak-anak. Kepanikan terjadi, maka saat itu prioritas pemerintah pun mendahulukan pendidik untuk divaksin terlebih dahulu, agar bisa secara terbatas melayani siswa. Kemudian program vaksinasi dikuti para siswa, mulailah pembelajaran terbatas dengan SOP yang sangat ketat.

Dari kejadian itu, harusnya tertanam, betapa sulitnya mendidik anak. Padahal yang dididik di rumah tidak lebih dari lima orang. Guru itu minimal 20 sampai 30 orang, sangat wajar jika profesinya dilindungi. Anehnya di masyarakat kita, selain tugas pokok kadang guru seperti pesuruh atau bahkan penjaga sekolah, ada saja “tugas tambahan” dari orang tua. Tempat minum ketinggalan, kehilangan uang karena keteledoran siswa, tidak segan untuk mengirim pesan WA bahkan saat guru harusnya istirahat. Sementara guru di jenjang rendah, seperti TK dan kelas 1 sampai dengan kelas 3 juga pasti terlibat saat siswa yang belum bisa cebok sendiri.

Solusi terbaik bukan hanya penguatan perlindungan pada guru, tetapi guru sebagai sebuah profesi mempunyai kewenangan untuk merekomendasikan siswa yang kenakalannya luar biasa diambil alih untuk dididik secara khusus oleh negara. Sebab sebagian besar masalah siswa dimulai dari rumah. Negara harus hadir secara nyata, tidak hanya melindungi guru, tetapi jangka panjang adalah melindungi pelemahan bangsa dan negara melalui Pendidikan.
Selamat Hari Guru Nasional!

Syabar Suwardiman, M.Kom
Kepala Sekolah SMP IT Bina Bangsa Sejahtera
Sekretaris BMPS Kota Bogor

Exit mobile version