Caringin | Jurnal Bogor
Koordinator Tenaga Ahli Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD) Kabupaten Bogor, Dadan Syarif Mutoan mengaku, tidak kaget saat mengetahui Kejaksaan Negeri (Kejari) Cibinong memanggil dan memeriksa empat kepala desa (Kades) di Kabupaten Bogor selama kurun waktu dua pekan ini, yakni Kades Tangkil dan Leuwinutug di Kecamatan Citeureup serta Kades Cipambuan dan Citaringgul, Kecamatan Babakan Madang.
Dadan mengatakan, pada tahun 2022 dari hasil pendampingannya di 416 desa yang ada di Kabupaten Bogor, sebanyak 99 desa terdeteksi potensi masalah dengan kadar atau tingkat kesalahan yang berbeda-beda. Dan setiap akhir tahun, lanjutnya, hasil dari pendampingannya tersebut direkap dan sudah disampaikan ke inspektur satu di Inspektorat Kabupaten Bogor.
“Jadi akhir tahun 2022 hasil pendampingan terhadap puluhan desa yang terdeteksi potensi masalah, kita rekap dan melaporkannya ke Inspektorat,” ujarnya kepada Jurnal Bogor saat berada di lokasi wisata Kopi Daong Pancawati, Caringin, Kabupaten Bogor, Jumat (1/12).
Dadan menyatakan, P3MD posisinya membantu potensi masalah dengan kategori desa-desa yang perlu pendampingan khusus untuk diluruskan, diaudit dan diperiksa oleh Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP).
“Termasuk desa-desa yang beberapa hari kebelakang dipanggil pihak Kejari Cibinong, tahun 2022 itu kita sudah laporkan ke Inspektorat,” ungkapnya.
Menurutnya, pemeriksaan Kejari terhadap ke empat kades itu, terkait anggaran bantuan keuangan desa pada tahun 2022, baik itu bantuan keuangan bersumber dari pemerintah pusat atau APBN, APBD Provinsi Jawa Barat (Jabar) maupun APBD Kabupaten Bogor.
“Tiga sumber bantuan keuangan itu yang diperiksa Kejari, seperti Dana Desa (DD) dari APBN, bantuan keuangan provinsi, Alokasi Dana Desa (ADD), BHPRD dan Samisade (Satu Miliar Satu Desa) bantuan keuangan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor,” paparnya.
Dadan menjelaskan, ada dua potensi masalah yang terjadi di pemerintah desa dalam mengelola bantuan keuangan, yakni mulai dari implementasi dan manajerial, namun semua masalah itu terjadi berawal dari kesalahan manajerial.
Untuk manajerial seperti perencanaan, dokumen-dokumen maupun proses penetapan menjadi potensi besar terjadinya masalah. Bahkan, sambung Dadan, sering terjadi kesalahan saat proses penetapan yang dilakukan desa, dimana antara pengajuan dengan yang ditetapkan, kondisi di lapangan selalu berbeda.
“Semua masalah itu berawal dari kesalahan manajerial dan secara otomatis lari ke implementasi. Kalau dari implementasi langsung, Itu kategori penyimpangan dan bisa saja kesengajaan. Berbeda dengan ketidaktahuan, itu masuk kedalam kesalahan manajerial,” tegas Dadan.
Dadan mengungkapkan, sumber bantuan keuangan desa yang rawan terjadi potensi masalah, yaitu ADD dan BHPRD bantuan dari APBD Kabupaten Bogor. Alasannya, karena siklus penyerapan bantuan tersebut terkadang selalu terlambat atau telat diterima desa, sehingga untuk menutup kebutuhan desa akhirnya menggunakan anggaran talangan yang tidak sesuai peruntukannya dan bisa menjadi temuan.
Kondisi keterlambatan penyerapan ADD dan BHPRD beberapa tahun ini, kata Dadan, menjadikan keberadaan desa tidak diuntungkan. Pasalnya, bantuan keuangan ADD maupun BHPRD selama ini sudah jelas peruntukannya untuk mengaji perangkat desa, membayar insentif RT, RW dan lembaga desa lainnya.
“Yang jadi korban itu saat ini desa. Kalau untuk bantuan keuangan DD dari pusat, saya rasa kadar masalahnya sudah mulai berkurang dari tahun lalu, karena siklus penyerapannya normal dan tidak terlambat,” imbuhnya.
(dede suhendar)