Home Edukasi Renungan Presiden RI itu “Pemenang atau “Pecundang?”

Renungan Presiden RI itu “Pemenang atau “Pecundang?”

AA (kanan) bersama Prof.Dr.Rokhmin Dahuri MS ilmuwan dan pakar ilmu perikanan dan kelautan terkemuka Indonesia.

Jurnalinspirasi.co.id – Jika mendengar syair lagu ini yang diposting di medsos WAG Wankar ICMI, terbaca Rabu 21 Nov 2023, maka kita bisa melihat sosok Presiden RI, bpk Jokowi, selanjutnya saya sebut mas Joko, yang tengah berkuasa saat ini, ada 2 persepsi, bisa beliau terkategori “pemenang” dilihat dari curahan waktu, tenaga dan pikirannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan RI, kasihan, iba kita melihat sosok fostur tubuhnya.

Akan tetapi jika kita melihat dan mengkaji dari public policy dan regulasi yang beliau keluarkan dalam bentuk Kepres dan Inpres RI, antara lain keputusannya seperti memaafkan G 30 S PKI 1965, politik luar negeri pro China, dengan poros Jakarta-Peking, perizinan usaha selama 160 tahun penggunaan lahan IKN Nusantara di Kaltim, Proyek  Strategis Nasional Eco City Rempang Kep.Riau yang melanggar HAM, piutang negara yang membengkak-melambung tinggi sehingga anak cucu bahkan cicit kita terimpa beban utang turunan.

Lalu korupsi meraja lela triliunan rupiah di birokrasi pemerintahan, memberi keleluasaan dan kelonggaran migran dan pebisnis China berinvestasi dan bekerja di Indonesia, sementara rakyat pribumi masih banyak pengangguran, angka stunting penduduk masih tinggi 27 persen berpotensi terjadi loss generation, dan terakhir yang amat memalukan “dinasti politik” yang beliau bangun dengan melanggar etika, moral dan cacat hukum, dan lain-lain sikap dan perbuatan Cawe-cawenya mas Joko, yang melanggar etika, moral dan konstitusi negara.

Dengan sederetan kasus ini, mas Joko kini telah berupaya membalikan jarum gerakan dan amanah Reformasi u 1995, era setelah jatuhnya Presiden RI bpk Jenderal Besar Soeharto (bpk Pembangunan Indonesia), beliau tarik mundur ke belakang, bukan kedepan, membersihkan birokrasi pemerintahan, baik di lembaga/badan maupun kementerian dari pernbuatan kriminal korupsi, kolusi dan nepotisme/dinasti (KKN) di birokrasi pemerintahan eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Bahkan mas Joko memberi contoh yang kurang baik selaku Kepala negara (Kepneg) dan Kepala pemerintahan (Keppem) RI, pertontonkan kepada rakyatnya secara kasat mata.

Kini, beliau, apakah seolah-olah sedang mengalami atau merasa panik dan gagap menghadapi demikian banyak kritik yang beliau hadapi belakangan ini. Kritik amat pedas adalah dari tokoh atau bapak “Akal Sehat Indonesia”, bung Rocky Gerung, kita mendengarnya ada kata dan bahasa ujaran yang tak elok, risih dengarnya di telinga seperti kata  ‘bajingan, tolol dan dungu”, tanpa ada pembelaan dari beliau. ‘saya kerja saja”, begitu gumamnya di media massa.

Barangtentu ini merupakan sanksi sosial, jika kita berpikir menggunakan nalar, akal sehat (mindset waras). Bahkan muncul wacana pemberhentian (empeacment) sebagai Presiden RI yang dianggap gagal mengamalkan sila-sila Pancasila dan amanat konstitusi  pasal-pasal di dalam UUD 1945.

Memang beliau mas Joko sangat diuntungkan dengan pola kultur dan situasi dinamika politik superpragmatisme saat ini, pola dan gayanya transaksional “wani piro” dan tidak ada makan siang gratis dalam sistem perpolitikan yang berlaku saat ini dalam koalisi besar Parpol di Parlemen RI.

Sementara MPR RI sebagai penjelmaan tertinggi kedaulatan rakyat, kini tinggallah kenangan, masa lalu akibat produk Amandemen UUD 1945 yang ke-4 kalinya, yang membuat MPR RI menjadi lembaga penyelenggara yang ‘banci dan mandul’ (powerless).

Konsekwensinya membuat kekuasaan mas Joko tetap langgeng, dan bahkan bisa leluasa bercawe-cawe dalam mempertahankan dan melestarikan kekuasaan dan kewenangan (power and authority), dan bahkan mau dan mampu mengendalikan institusi negara seperti oknum aparat kepolisian, BIN, KPK, MK, MA, pimpinan parpol yang tersangkut dan tersandera hukum, plt kepala daerah (Plt Gubernur, Bupati dan Wali Kota), bahkan para Kades di seluruh Indonesia dengan telah dikucurkan dana desa yang lumayan besar, fantastis dan masa jabatan Kades ditambah menjadi 9 tahun, yang tadinya 6 tahun.

Tentunya para Kades berutang budi sama mas Joko, itu masuk diakal, dan mereka barusan mengadakan acara akbar, namanya Konsolidasi Nasional Rebut Suara Desa tahun 2024, yang kemudian berubah menjadi ‘Silaturrahmi Nasional Desa 2023″ di Jakarta untuk pendeklarasian sinyal dukungan kepada Capres dan Cawapres RI nomor 2 Pasangan PS dan GRR, putranya Presiden RI.

Bahkan pimpinan delegasi para Perwakilan Assosiasi Desanya dibawah Koordinator Nasional Desa Bersatu. Bpk Muhammad Asri Annas berhasil menghadap dan diterima Presiden RI di istana negara Jakarta (harap dibaca di sejumlah WAG dan HU Kompas Senin 20 Nov 2023 pada hal 2 ruang Politik dan Hukum). Kini para Kades, DPD Desa dan perangkat desa, ikut cawe-cawe dalam menghadapi Pilpres 2024.

Alamak, ngeri sekali, apa jadinya negeri ini ? Sengketa demi sengketa, keributan, kekacauan (choas), konflik sosial baik vertikal maupun horisontal dan atau peoples power berpotensi besar bakal terjadi di negeri ini. Hal ini perlu diantisipasi dan mencari solusi cerdas yang reformatif, bukan revolusi. Para ulama, ormas Islam spt Muhammadyah-NU dll, dan Cendekiawan Muslim  bergandengan tangan bersama ABRI/TNI power tetap solit menjalankan politik negaranya, yaitu NKRI harga mati sesuai Sila ke 3 Pancasila (Persatuan Indonesia).

Tragis memang nasib NKRI, ada gejala “abuse of power”, jabatan publik digunakan untuk mensukseskan kepentingan pribadi dan keluarganya, yang dikenal populer “politik dinasti” yang ramai diperbincangkan saat ini. Fakta munculnya fenomena sosial politik, yang tidak sehat (not fairness), akan digiring menjadi sebuah negara monarky berbasis dinasti dibackup segelintir oligarki (liberal kapitalistik), bukan NKRI negara Republik lagi yang bersifat demokrasi berdasarkan falsafah bangsa dan ideology negara Pancasila. Dan akhirnya demokrasi Pancasila pun ikut “mati suri”, hidup enggan mati pun tak mau, begitulah nasib negeri kita ini saat ini.

Solusinya kembalilah ke UUD 1945 Asli, itu pilihan yang amat tepat dan bijaksana. Kita harus menyadari kesalahan kita dalam merubah sistem ketatanegaraan NKRI yang tidak sesuai dengan falsafah bangsa dan ideologi negara Pancasila.

Padahal kita tahu, bahwa demokrasi itu maknanya kita pahami, artinya proses keputusan publik yang dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, berlaku “ceck and balance” mengontrol kekuasaan dan kewenangan Presiden RI berjalan efisien dan efektif sesuai UUD 1945 asli, berdasarkan janji dan sumpah jabatannya. Dahulu kontrol politik dan ketaatan hokum ketatanegaraan itu diperankan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI berdasarkan UUD 1945 asli yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945, zaman Now tidak lagi.

Zaman atau era sekarang tidak lagi demikian, dimana fungsi dan perannya MPR RI melemah, lumpuh secara drastis. Bahkan peran dan fungsi kedaulatan rakyat diambil, dibajak para pimpinan Parpol yang dibackup habis-habisan oleh segelintir pemilik modal besar (oligarky allout).

Oligarki bersikap demikian sangat masuk diakal, agar usaha bisnis dan investasi tetap berlangsung aman, pasti dan lancar. Lihat saja 2 pasangan Capres dan Cawapres RI thn 2024 adalah tokoh pengusaha nasional, diantaranya Koordinator Timsesnya adalah Ketua Umum dan stau mantan Ketua Umum Kadin Indonesia Pusat.

Hal ini barang tentu terjadi, karena tidak sesuai lagi dengan sistem nilai, norma dan kaidah kelembagaan hukum Sila 4 Pancasila yaitu sistem perwakilan (indirect system) dan hikmah kebijaksanaan. Sistem politik nasional akal sehat agak sulit dilakukan, dimana kini praktik rekruitmen anggota parlemen (DPR RI/DPRD di daerah-daerah) dengan pileg sistem langsung dan pilkadal (direct system) untuk memilih Kepala Daerah biaya politiknya sangat mahal dan berbiaya tinggi (high cost politic).

Wajar kiranya mereka mencari mitra kerja para pemilik modal, pengusaha mapan, kaya raya, yang nantinya mereka akan membayar dan membalas budi dengan menjual proyek negara yg dibiayai APBN dan APBD, dan atau memberikan karfet merah dalam perizinan berinvestasi seperti di sektor pertambangan, property, perindustrian dan perdagangan terutama ekspor-impor, perbankan, jasa transfortasi, telekomunikasi berbasis ITC,  proyek-proyek insprastruktur seperti jalan tol, kereta api cepat, sapras IKN Nusantara, dsb.
Sangat masuk akal kiranya regulasi dan public policy pro oligarky, bukan lagi berorientasi pada aspirasi, kebutuhan dan bermuara pada kesejahteraan rakyat, ada pergeseran paradigma pembangunan nasional seperti yang kita saksikan dewasa ini.

Artinya public policy dan regulasi berupa UU, Perpu, PP, Kepres dan Inpres RI didominasi kepentingan oligarky, ada perlakuan diskrimatuf,, dimana “karpet merah bagi oligarky, dan keset alas kaki bagi kaum buruh..”, begitu isi UU Cipnaker Ombibuslaw yang kontroversial itu, yang menuai protes kalangan buruh, tetapi gagal perjuangannya.

Apa yang dirasakan dan dipahami para cendekiawan Indonesia atau bagi kelas menengah atas (midle class) yang terdidik dan terpelajar yang peduli nasib negara-bangsa (state nation), Indonesia kini disebut eksistensinya dalam cengkraman oligarki.

Fenomena sosial politik dan ekonomi yang tak sehat, sesat dan tidakb sesuai dengan kultur dan spirit keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana konten Sila ke 5 Pancasila, dan pasal 33 UUD 1945 (bab Kesejahteraan Rakyat), sedang berlangsung dibawa kepemimpinan mas Joko.

Meminjam istilah Ketua MKMK RI, bpk Prof Jimly Assidiqie, yang telah memecat Ketua MK RI, Anwar Usman, iparnya mas Joko, terbukti melanggar kode atik hakim berat, bahwa institusi hukum negara kita telah dilanda perbuatan personal yang jahat, yakni “wabil fulus dan wabil bulus”, dan akal sehat terabaikan.

Sangatlah wajar dan masuk akal, banyak orang waras dan cerdas berkata bahwa mas Joko, bukan lagi pemenang, akan tetapi dalam situasi menjelang Pilpres 2024, yang mengusung putra bungsunya GRR menjadi Cawapres RI, keberhasilan mas Joko bercawe-cawe, beliau adalah “pecundang”.

Kekhawatiran rakyat Indonesia dan terutama kaum cerdik-pandainya terhadap penyelenggaran Pemilu-Pileg dan Pilpres RI, yang menurut UU Pemilu berazaskan Luber dan jurdil pada Pebruari 2024, banyak pihak, para pemangku kepentingan (stakeholders) meragukannya.

Walaupun sudah banyak juga pimpinan Lembaga dan Badan negara, bersuara akan berkomitmen menjaga netralitas pemilu tahun 2024 seperti TNI dan juga Kepolisian RI. Sebab mas Joko, telah dikenal publik, antara ucapan dengan perbuatan sering tidak sinkron, alias  “berbohong”, alias “defisit trust” modal sosialnya merosot tajam (untrust society) lihat saja rekam jejak digitalnya, janji-janji tak sesuai visi dan misi sewaktu mencalonkan Presiden RI, banyak yang terdistorsi alias ‘menyimpang” dari apa yang dibutuhkan rakyat secara berkeadilan sosial.

Dan seharusnya menghargai HAM sesuai amanah konstitusi tujuan kita bernegara sebagaimana bunyi alinea ke 4 Pembukaan UUD 1945, melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia, memajukan, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut aktif menjaga perdamaian abadi.

Kasus menyolok, baru-baru ini terjadi adalah pelanggaran HAM pada proyek strategis nasional (PSN) Eco City Rempang Kepulauan Riau, memberikan karfet merah kepada investor China, dengan cara menggusur rakyat pribumi Melayu Islam dengan paksa (militeristik), yang memilukan hati.

Kembali lagi kita melihat video mas Joko, yang diiringi dendangan lagu dan syair sendu Ebit G Ade, penyanyi terkenal itu, kita kasihan juga melihat wajah Presiden RI,bpk Jokowi, beliau sudah bekerja keras, mengorbankan tenaga dan pikiran dengan keningnya yang sudah mengkerut, serta waktunya untuk memimpin negara besar NKRI dan mengelola pemerintahan RI dengan populasi penduduk lebih 240 juta jiwa, terbesar ke 4 atau ke 5 di dunia. 

Makanya harapan kita dan mari kita berdoa meminta kepada Allah SWT, sebagaimana perintah Sila pertama Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa), agar beliau diberi kekuatan, kelapangan hati, mendapat HidayahNya agar tidak prooligarki dan dinasti politik, sehingga beliau selamat dan sukses memimpin, serta mengakhiri tugas Kepresidennya dengan baik (husnul khotimah), Amiin. Itu doa kita yang tulus karena Allah SWT semata. Dan janganlah ditiru suksesi kepemimpinan nasional yang memperihatinkan “by accident” seperti yang menimpa pak Karno (era Orla), pak Harto (era Orba) dan pak Habibie dan Gus Dur (era Orde Reformasi).

Sekarang saatnya kita bisa menilai apakah mas Joko itu, statusnya “pemenang’ atau “pecundang”, sejarahlah yang akan bicara zaman Now, dan future. Kata syair lagu Ebit G Ade, agar lebih jelas jawabannya…”tanyakan saja kepada rerumputan yang bergoyang”.

Demikianlah narasi ini disusun berdasarkan pengamatan fenomena sosial, yang berita-berita buruknya (bad news) dan opini para pakar dan ilmuwan, terutama ahli hukum dll yang tersebar dan berani mengkritisi di media sosial dan koran mainstream seperti HU Kompas, majalah Tempo, dll.

Semoga opini ini bermanfaat, agar kita jangan sampai terlambat dalam merawat NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang sama-sama kita cintai ini. Mari kita tingkatkan kewaspadaan nasional demi kecintaan kita kepada negara. Save NKRI dari para pecundang negeri, jayalah NKRI dan sejahterakanlah rakyatnya. Wasalam

====✅✅✅

Penulis: Dr.Ir.H.Apendi.Arsyad, M.Si
(Dosen Assosiate Profesor dan Pendiri Universitas Djuanda Bogor, Pendiri dan Wasek Wankar ICMI Pusat merangkap Ketua Wanhat ICMI Orwil Khusus Bogor, konsultan, pegiat dan pengamat sosial)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version