Jurnalinspirasi.co.id – Dengan membaca postingan yang beredar di medsos Detik.com bahwa Tim Pemenangan Nasional (TPN) Capres RI bpk Ganjar Pranowo dari PDIP telah terbentuk dan diketuai Arsyad Rasyid, beliau saat ini adalah Ketua Umum DPP Kadin Indonesia.
Berdasarkan informasi yang disampaikan bpk Harry Tanoe, Ketum Perindo, salah satu partai koalisi Pilpres bersama PDIP untuk pemengan Pemilihan Presiden (Pilpres) thn 2024 mendatang, ini merupakan salah satu fakta, ada gejala mengulangi sejarah bpk Erick Tohir, pengusaha sebagai Ketua TPN bpk Jokowi.
Sekarang Arsyad Rasjid yang diminta Ketum PDIP ibu Megawati Sukarno sebagai Ketua TPN Capres bpk Ganjar Pranowo yang diusung PDIP, yang diklaim sebagai partai pembela orang kecil (wong cilik), begitu proses sejarah lahirnya.
Penunjukan Ketua TPN Capres Ganjar Pranowo, dapat disimpulkan ada fenomen sosial paradoks dan anomali dalam praktik politik nasional kita, yang bercirikan superpragmatis, tanpa ruh kerakyatan dan lemahnya perjuangan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebab tampak sekali keterlibatan para tokoh dari kalangan pergerakan buruh belum tampak dan atau tidak ada (nihil) sama sekali.
Faktanya PDIP yang mengklaim atau mengesankan diri sebagai partai membela “Wong Cilik”, kaum pakir miskin dan orang-orang terlantar, ternyata dalam perilaku politik partainya, mereka “bermesraan”, bertumpu dan ditopang jejaringan para pendukungnya adalah kaum pengusaha, pebisnis.
Ya artinya barang tentu, disini dapat dikatakan keterlibatan kaum pemilik modal besar (oligarki) sudah pasti ada didalamnya, dan kemungkinan peran dan fungsinya sangat kental (intensif) dalam proses pengambilan keputusan politik, baik pra dan post pasca Pilpres.
Tampak jelas bahwa membela “wong cilik” hanyalah pencitraan, dan sekedar jargon “jualan’ politik PDIP semata, akan tetapi isinya yang sebenarnya nanti, ternyata kaum buruh berhadap-hadapan (versus) dengan para oligarki sebagaimana yang terjadi saat ini, era kepemimpinan bpk Jokowi, lahirnya UU Ciptanaker, Minerba dll.
Pantas kita merasakan bahwa dalam satu dasa warsa belakangan ini, dimana PDIP memenangkan Pilpres RI Jokowi, dan Pileg DPR RI pada tahun 2014 dan 2019, produk-produk public policy sangat kentara memberikan ruang gerak yang sangat besar dan sangat pro-oligarky serta memarginalkan kaum buruh (wong cilik).
Lihat isi beberapa pasal dalam UU Omnibuslaw Cipnaker yang banyak ditentang kaum buruh, karena diistilahkan buruh dijadikan “keset” sedangkan pengusaha mendapat hak istimewa bagi para pemilik modal besar (oligarki), yang disiapkan era rezim Jokowi “karpet merah”.
Dengan kata lain para oligarki sangat dimanja dalam berinvestasi diberikan berbagai kemudahan (fasilitas) yang murah dan meriah, terutama soal perizinan, perpajakan dll. Dan begitu banyak regulasi berupa UU, PP, Kepres, Inpres, Kepmen, Permen dll di bidang ekonomi dan investasi, dinilai banyak pihak (para ilmuwan dan pakar) keluar atau menyimpang dari sistem nilai, norma dan kaidah hukum konstitusi pasal-2 UUD 1945.
Kasus gerakan kaum buruh di Indonesia untuk membela hak-hak selalu mengalami kegagalan dan mereka tidak berdaya (powerless), terutama dalam penegakan hukum, sebab oknum aparat penegak hukum diduga sudah “fibeli dan dikuasai” para oligarchy.
Lihat saja fakta hukum di pengadilan, kasus korupsi dan kolusi (gragitasi) suap-menyuap perkara di lembaga peradilan negara yang dikitari para mafia. Praktik hukum di negara kita kini dalam kondisi carut-marut.
Fenomena sosial negatif tersebut terjadi kita kenal sebagai dampak Indonesia dalam cengkraman oligarki. Kini praktik hukum dan politik berada dibawah kendali kekuatan modal finansial (kapital).
Kita cukup prihatin memang melihat, mengamati, mempelajari dan memahami kondisi ipoleksusbudhankam negara-bangsa ini, demikian banyak “sumirnya” dengan permasalahan yang sangat komplek sebagai akibat lemahnya kepemimpinan nasional.
Sebenarnya inilah wajah “kemunafikan” para elite politik sebagian warga bangsa kita saat ini, yang menyelimuti alam jagat raya sistem perpolitikan nasional dan daerah di NKRI. Hal ini dapat kita katakan pengelolaan negara-bangsa ini diselenggarakan belum atay tidak ramah sosial (social unequity) dan juga tidak ramah lingkungan (konservasi).
Kepentingan ekologi dan ekososial selalu dikalahkan dan mindset mereka the ruling party didominasi cara kerja mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi hasilnya tidak berkualitas.
Faktanya semakin kencang usaha bisnis dan investasi dalam proses pembangunan terutama dalam hal pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) yg tak terbaharukan (unrenewable natural resource) di seluruh wilayah Indonesia seperti usaha pertambangan misalnya.
Kemudian yang terjadi dampak negatifnya adalah ketimpangan sosial yang ditandai tinggi (menganga) dengan angka indeks rasio berkisar angka 0.38-0.4 bahkan lebih.
Demikian juga kita amati bahwa semakin tinggi pengeksploitasian SDA yang tak terbaharukan semakin tinggi angka indeks pencemaran lingkungan-degradasi ekosistem dengan berbagai bencana alam buatan manusia, serta berkurangnya keanekaragaman hayati akibat punahnya flora dan fauna, karena ekosistem hutan, perairan laut dan daerah aliran sungai (DAS) dirusak.
Dampak pemanfaatan SDA yang berlebihan dan melampaui daya lingkungan (natural resource of overexploitasion) lainnya sebagai dipraktikan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, akan tetapi gagal dan tak tercapai target, dan hasilnya ekosistem alam seperti hutan, DAS dan atmosfer semakin bertambah rusak.
Hal ini akibat regulasi yang dikeluarkan sebagaimana isi UU Omnibuslaw Ciptanaker telah mengabaikan atau bahkan menghilangkan dokumen AMDAL sebagai salah syarat perizinan berinvestasi. Akibatnya selain kontrol sosial masyarakat lokal dan menjadi lemah tak berdaya (unpowering society) karena keputusan bisnis dan investasi tersentralisasi saat ini di Pemerintahan Pusat.
Salah satu contoh kasus akhir-akhir ini yang hangat adalah penggusuran perkampungan tradisional etnis Melayu di pulau Rempang, Kota Batam Kepulauan Riau, beritanya saya baca di HU Kompas dimana warga masyarakat lokal protes dan demonstrasi menolak mereka direlokasi demi pengembangan investasi besar-besar di kawasan Barelang Kepulauan Riau.
Dengan fakta tersebut, sangat jelas membuktikan bahwa para penguasa (the ruling party) yang betkuasa saat ini kembali ke pola dan gaya pemerintahan lama, era Orba, sebelum Reformasi, yang topdown policy, gaya otoriter, antidemokrasi dan KKN bangkit-marak lagi.
Simpulannya arah kebijakan dan regulasi publik saat ini, ditandai adanya perputaran rezim politik saat ini membalikan jarum jam ke belakang (mundur), bukan ke depan (maju) sebagaimana cita-cita gerakan reformasi.
Itulah wajah sistem politik nasional kita yang berwatak munafik, rakyat hanya dikibuli dengan janji-janji kosong, akan tetapi setelah menang dan berkuasa, mereka melupakan dan memarginalkan rakyat. Itulah nasib rakyat Indonesia saat ini yang kebanyakan kurang beruntung, semoga Pilpres tahun 2024, insya Allah berhasil memilih para pemimpin yang bukan dari kalangan munafikun.
Jika mereka diberi amanah tidak berkhianat, dan jika mereka berjanji tidak mengingkarinya, dan jika mereka berkata-berucap, mereka tokoh politik itu tidak berdusta.
Harapan kita pada proses Pileg dan Pilpres tahun 2024, mendatang melahirkan sejumlah negarawan yang berakhlak mulia dan berperilaku baik sesuai karakter pemimpin yang islami, siddiq, amanah, fathonah dan tabliq, sehingga cita-cita dan tujuan hidup berbangsa dan bernegara bisa terwujud yakni melindungi, memajukan, mencerdaskan dan menciptakan perdamaian abadi, hendaknya bisa tercapai.
Syaratnya adanya kaum elite politik yang berkuasa, yang memiliki watak negarawan sejati, cerdas dan berintegritas, tidak munafik (satu kata dan perbuatan) serta terbebaa dari perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Walaupun kita menyadari bahwa beberapa kriteria kepemimpinan ideal agak sulit dan pesimis kita menemukannya di negara kita saat ini. Akibat sistem demokrasi liberal-kapitalistik dan padat modal yang dipraktikan dalam Pemilu Indonesia selama ini, yang nyaris bertentangan dengan Sila ke-4 Pancasila sebagai dasar falsafah dan ideologi negara kita
Sekian dan terima kasih, semoga Allah SWT selalu melindungi dan menolong mengarungi samudera gelombang dan dinamika politik Indonesia, yang sedang hangat menuju Pilpres 2024. Kita tetap bersatu, bersaing sehat, dan menggunakan akal sehat. Itulah harapan kita semua selaku warga bangsa yang mencintai Tanah Airnya Indonesia Raya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Save NKRI, jayalah Indonesiaku.
Wassalam
====✅✅✅
Penulis:
Dr. Ir.H.Apendi Arsyad, M.Si
(Pendiri dan Dosen Senior Universitas Djuanda Bogor, Pendiri dan Wasek Wankar ICMI Pusat merangkap Ketua Wanhat ICMI Orwilsus Bogor, Konsultan K/L negara, Pegiat dan Pengamat Sosial)