25.6 C
Bogor
Saturday, November 23, 2024

Buy now

spot_img

Bagaimana Nasib Anies Baswedan Pasca “Pengkhianatan G30A/Nasdem”?

Oleh : Muhammad Syarief Al-Haddad

(Sekretaris Departemen VIII DPP Partai Demokrat)

Jurnalinspirasi.co.id – Beredar tulisan ataupun argumen di beberapa grup whatsapp para pendukung, relawan dan simpatisan Anies Baswedan yang “memojokkan” Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Partai Demokrat dalam prahara politik di internal Koalisi Perubahan untuk Persatuan yang terjadi 3 hari terakhir.

Ada beberapa poin dalam tulisan tersebut yang perlu diluruskan, agar publik khusunya pendukung gerakan perubahan dan perbaikan tidak salah persepsi dalam memahami kemelut yang terjadi di internal Koalisi Perubahan Untuk Persatuan pasca penetapan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai Cawapres yang dilakukan secara sepihak oleh ketua umum Partai NasDem Surya Paloh.

Dalam tulisan tersebut, disebutkan bahwa,

“Nasdem, PKS dan Demokrat membentuk Koalisi Perubahan Untuk Persatuan (KPP). Diawali dengan deklarasi Nasdem, lalu PKS, kemudian Demokrat pada akhirnya ikut bergabung.”

Tulisan tersebut jelas diawali dengan informasi yang salah.

Kronologis yang benar adalah,

Pada tanggal 23 Januari 2023, Anies Baswedan sebagai Capres yang telah “memegang” tiket pencapresan dari Partai NasDem sejak 3 Oktober 2022 melamar Agus Harimurti Yudhoyono untuk menjadi Cawapres, dengan membawa “tiket” dari Partai Demokrat.

Menyadari bahwa koalisi 2 partai tersebut belum mencukupi Presidential Threshold 20 %, maka NasDem dan Demokrat pun melamar PKS untuk bergabung dan membentuk koalisi agar mencukupi Presidential threshold 20%, yang kemudian disepakati namanya menjadi “Koalisi Perubahan untuk Persatuan”, yang secara formal diresmikan pada tanggal 14 Februari 2023.

Peresmian koalisi tersebut juga ditandai dengan penandatanganan Piagam Koalisi oleh ketiga ketua umum partai, yang berisi 6 butir kesepakatan, yaitu:

  1. Namanya Koalisi Perubahan untuk Persatuan
  2. Sepakat mengusung Anies Baswedan sebagai Capres
  3. Capres diberikan mandat untuk menentukan Cawapresnya dengan kriteria yang telah ditentukan
  4. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, pasangan Capres-Cawapres dideklarasikan
  5. Capres diberi keleluasaan untuk memperluas dukungan politik
  6. Untuk menyelenggarakan keputusan KPP, dibentuk sekretariat. Piagam koalisi itu dilandasi oleh asas keadilan dan kesetaraan

Setelah peresmian koalisi tersebut, PKS pun baru mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Capres di tanggal 23 Februari 2023, atau 1 bulan setelah “lamaran Anies ke AHY”.

Jadi, tidak benar kalau dikatakan Demokrat adalah partai terakhir yang bergabung dalam Koalisi tersebut.

Lanjut ke paragraf kedua tulisan tersebut,

“Nasdem, partai yang menjadi inisiator terbentuknya KPP mendorong tiga parpol pengusung untuk deklarasi bersama. Namun, urung dilakukan karena Demokrat mensyaratkan deklarasi harus sudah ada pasangan Anies Baswedan. Akhirnya, Nasdem pun deklarasi sendiri di GBK dengan tema Apel Siaga.”

Saya tidak tahu penulis tersebut mendapatkan informasi darimana. Fakta yang sebenarnya terjadi adalah sebagai berikut:

Anies Baswedan menghubungi Agus Harimurti Yudhoyono pada 12 Juni 2023 dan mengatakan “Saya di telepon beberapa kali oleh Ibu saya dan guru spiritual saya, agar segera berpasangan dengan mas AHY sebagai Capres-Cawapres.”

Sesuai dengan mandat yang tercantum pada butir ketiga Piagam Koalisi telah disepakati oleh ketiga Ketua Umum Partai yang tergabung dalam Koalisi, maka pada 14 Juni 2023, Capres Anies Baswedan memutuskan untuk memilih Agus Harimurti Yudhoyono sebagai Cawapresnya, sesuai dengan rencana awal sebelum koalisi terbentuk secara resmi.

Capres Anies Baswedan lantas menyampaikan keputusan tersebut kepada seluruh ketua umum dan petinggi partai yang tergabung dalam koalisi, dan semuanya menerima putusan tersebut tanpa ada penolakan.

Setelah kesepakatan tersebut, justru Partai NasDem yang selalu menunda deklarasi Capres-Cawapres Anies-AHY. Bahkan dalam beberapa kesempatan, Wakil Ketua Umum Partai NasDem Ahmad Ali kerap melontarkan pernyataan yang tidak sesuai dengan semangat perubahan yang tercantum dalam Piagam Koalisi, bahkan menjurus pada pernyataan-pernyataan yang bersifat provokatif, khususnya dalam konteks nama dan kriteria Cawapres Koalisi Perubahan untuk Persatuan.

Semoga jawaban ini dapat meluruskan persepsi masyarakat yang mungkin sempat “terbawa” informasi yang salah akibat membaca tulisan tersebut.

Saya tidak akan membahas lanjutan dari tulisan tersebut, karena “premis” dari tulisan tersebut sudah saya bantah dengan fakta yang saya kemukakan di atas.

Namun bagi rekan-rekan pembaca yang masih ingin mengetahui lebih dalam mengenai fakta yang terjadi dalam kegaduhan di internal Koalisi Perubahan untuk Persatuan ini, saya hendak mengajak kita semua untuk mengingat kembali “kriteria Cawapres Anies Baswedan.”

Capres Anies Baswedan pada tanggal 8 Mei 2023 lalu menyebutkan 5 kriteria Cawapresnya, yaitu:

  1. Punya kontribusi di dalam kemenangan
  2. Membantu mensolidkan koalisi
  3. Bisa membuat kerja sama di pemerintahan lebih efektif
  4. Memiliki visi yang sama sehingga dapat bekerja sama dengan arah dan agenda yang sama
  5. Berpotensi menjadi dwi Tunggal, punya chemistry yang baik

Bahkan pada tanggal 20 Juli 2023, Capres Anies Baswedan menambahkan kriteria “0” untuk sosok yang akan menjadi Cawapresnya. Apa itu kriteria “0”?

Kriteria 0 adalah sosok Cawapres tidak bermasalah dan berani. Capres Anies Baswedan menambahkan, jika tidak punya kriteria 0, maka cawapres ini rentan tersandung masalah.

Berdasarkan fakta yang sudah saya kemukakan di atas, secara moral dan etika politik sudah clear, bahwa Cawapres yang paling tepat dan pantas dari Koalisi Perubahan Untuk Persatuan adalah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Namun saya merasa perlu untuk mengkaji lebih dalam, karena saya mendapatkan fakta bahwa banyak dari pendukung koalisi ini khususnya dari kalangan “die hard fans” Anies Baswedan kurang bijak dan tepat dalam menyikapi “bencana” demokrasi ini.

Sebagai rakyat dan kader Partai Demokrat, saya adalah bagian dari pendukung Anies Baswedan dan sudah memutuskan sejak awal tahun 2023 kemarin akan mencoblos Anies Baswedan dalam bilik suara pada 14 Februari 2024 nanti.

Saya memutuskan hal tersebut karena saya berprinsip bahwa Indonesia butuh Perubahan dan Perbaikan sesuai dengan tagline Partai Demokrat, dan untuk mewujudkan Persatuan, yang juga tercantum dalam nama koalisi, yang menjadi resolusi bersama pihak-pihak yang tergabung dalam koalisi tersebut.

Pemikiran tersebut dilandasi oleh fakta bahwa Indonesia dalam 9 tahun terakhir di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo sudah semakin tidak karuan.

Ekonomi jalan di tempat, hutang meroket, pembangunan hanya dijadikan “dagangan” populis tanpa memikirkan rakyat yang akan menanggung beban hutangnya.

Belum lagi penegakan hukum yang makin “mengenal” siapa kawan siapa lawan, bukan siapa benar siapa salah. Dan yang tak kalah mengkhawatirkan, persatuan sesama anak bangsa semakin hari semakin merenggang karena keadilan seolah-olah telah di kubur di bawah gorong-gorong kekuasaan.

Atas dasar itulah, saya sempat berpikir bahwa Anies Baswedan adalah sosok yang tepat untuk memulai Gerakan Perubahan dan Perbaikan Indonesia.

Tapi seiring dengan berubahnya keputusan Anies Baswedan secara tiba-tiba, saya jadi berpikir untuk merubah keputusan saya itu.

Mari kita renungkan, apa yang dapat kita harapkan dari seorang calon pemimpin yang lebih memilih untuk “taat” kepada satu partai dan memilih untuk melakukan “pengkhianatan” terhadap apa yang sudah ditandatangani oleh dirinya sendiri bersama rekan seperjuangannya?

Suka tidak suka, kejadian ini pada akhirnya membuka tabir siapa Anies Baswedan sebenarnya, yang ternyata hanya seorang “petugas partai”.

Memang Anies Baswedan bukanlah pecinta film porno seperti petugas partai sebelah.

Namun dalam konteks integritas, Anies Baswedan tidak berbeda dengan Capres sebelah, sama-sama petugas partai yang tidak punya otoritas dan kedaulatan sebagai seorang pemimpin.

Selanjutnya, kehadiran Cak Imin dan PKB di detik-detik akhir.

Sulit untuk membantah bahwa kehadiran Cak Imin ke dalam tubuh Koalisi ini adalah “pesanan” istana untuk merusak soliditas dan kekompakan yang sudah terjalin hampir setahun ini, karena terjadi setelah Surya Paloh dipanggil oleh presiden Joko Widodo ke Istana pada tanggal 18 Juli 2023 lalu.

Saat itu Surya Paloh juga menjelaskan dalam pertemuan tersebut bahwa presiden Joko Widodo menanyakan siapa Cawapres Anies Baswedan. Itulah mengapa Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono sampai menulis buku tentang “cawe-cawe” Presiden Joko Widodo dalam kontestasi pemilihan presiden 2024.

Berdasarkan fakta yang telah kita ketahui bersama, Jika memang Surya Paloh dan NasDem komitmen terhadap kesepakatan yang sudah di tandatangani bersama dalam Piagam Koalisi, dan jika dia adalah seorang ksatria perubahan seperti yang sering dia tunjukkan di atas podium, seharuanya tidak perlu ragu apalagi takut menyebutkan di depan Presiden Joko Widodo kalau Cawapres Anies Baswedan dalam Koalisi Perubahan Untuk Persatuan adalah Agus Harimurti Yudhoyono.

Ironis, pada tanggal 29 Agustus kemarin, Surya Paloh dan NasDem justru malah melakukan “pengkhianatan” terhadap apa yang telah di sepakati bersama dalam piagam koalisi dengan melakukan pertemuan tertutup dengan PKB dan menetapkan secara sepihak bahwa Cak Imin adalah cawapres Anies Baswedan, tanpa melakukan kordinasi dan komunikasi kepada partai yang tergabung dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan.

Dua hari setelah pertemuan tersebut, bukannya melakukan klarifikasi ke sesama partai koalisi, Surya Paloh justru malah bertemu presiden Joko Widodo di Istana pada hari Kamis sore, 31 Agustus 2023.

Kalau bukan “pesanan ” istana, untuk apa Surya Paloh sebagai salah satu pimpinan partai Koalisi Perubahan untuk Persatuan hadir dan bertemu dengan presiden Joko Widodo di Istana, 2 hari setelah pertemuan tiba-tiba dan tertutup dengan PKB di NasDem Tower?

Selanjutnya, saya ingin mengingatkan kepada saudara-saudaraku yang mengharapkan perubahan dan perbaikan di Indonesia dan masih beranggapan bahwa Anies Baswedan dapat mewujudkan itu Bersama Cak Imin.

Cak Imin adalah seorang yang tersandera oleh kasus korupsi “kardus durian” yang tiba-tiba dihentikan penyidikannya menjelang pilpres 2014, setelah PKB bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat, pengusung Joko Widodo saat itu.

Kasus ini lama tak terdengar sejak Cak Imin menjadi bagian dari rezim presiden Joko Widodo.

Pada Agustus 2022, Cak Imin dan PKB nya melakukan manuver dengan memprakarsai koalisi bersama Partai Gerindra dan mendeklarasikan dukungan kepada ketua umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebagai Capres. Saat itu, Presiden Joko Widodo belum terlalu “mesra” dengan pak Prabowo, dan masih sangat mesra dengan Ganjar Pranowo.

Tidak lama setelah deklarasi tersebut, tepatnya di tanggal 27 Oktober 2022, ketua KPK Firli Bahuri kembali menyebut kasus tersebut dalam konferensi pers di gedung merah putih KPK. Kebetulan kah?

Lalu, jika ada yang beranggapan bahwa Cak Imin adalah representasi ormas Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU), mari kita lihat beberapa fakta di bawah ini.

Tak bisa di pungkiri, KH. Abdurrahman Wahid atau lebih akrab dipanggil Gus Dur adalah salah satu tokoh paling berpengaruh di NU semenjak awal tahun 2000an hingga saat ini.

Gus Dur juga merupakan salah satu tokoh penting di balik berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang juga mengajak Cak Imin keponakannya, untuk turut bergabung di PKB.

Namun apa yang dilakukan Cak Imin kepada Gus Dur?

Pada tahun 2008, justru Cak Imin melakukan manuver yang tidak beretika dan “mengkhianati” Gus Dur yang merupakan pamannya sendiri dengan mengkudeta Gus Dur dari posisi Ketua Dewan Syuro PKB saat itu.

Terakhir, Wasekjen PBNU Sulaiman Tanjung melontarkan pernyataan “Siapapun capresnya akan kalah jika wapresnya Muhaimin. Teorinya sederhana, wong PKB saja tidak bertanggung jawab akan rating Ketua Umumnya.”

Sulaiman juga menambahkan, “Menurut survei Litbang Kompas, pemilih PKB enggan memilih Cak Imin sebagai capres ataupun cawapres. Padahal survei PKB mencapai 7 persen, sedangkan elektabilitas Muhaimin hanya 0,4 persen.”

Mari kita kembali ke 5 kriteria plus kriteria 0 yang telah disebutkan oleh Anies Baswedan, apakah Cak Imin memenuhi kriteria tersebut? Atau malah jauh dari kata memenuhi syarat? Silahkan anda jawab sendiri.

Lalu sebagai penutup, saya hanya sekedar mengajak kita semua berpikir secara jernih.

Apakah kita yakin, andai Allah SWT secara mengejutkan menetapkan takdir dan Anies-Cak Imin pun keluar sebagai pemenang dalam pilpres 2024, rakyat yang memilihnya tidak akan di khianati oleh seorang presiden yang pernah mengkhianati rekan seperjuangannya dalam koalisi dan seorang wakil presiden yang pernah mengkhianati paman, guru, dan mentor politiknya?

Wallahua’lam bishawab, semoga Allah SWT menjaga kita semua dari segala marabahaya dan kehancuran.

**

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -
- Advertisement -

Latest Articles