Gunung Putri | Jurnal Bogor
Kepala Desa Ciangsana Udin Saputra mempertanyakan dasar data yang tercatat dalam Surat Keputusan Bupati Bogor Nomor: 400/220/Kpts/Per-UU/2023 Tentang Penetapan Lokasi Interview Stunting di Kabupaten Bogor Tahun 2024. Dimana Desa Ciangsana, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor yang dibawah naungan binaan Puskesmas Ciangsana mendapat predikat 1 (Pertama), anak yang terkena stunting dengan jumlah 151 anak.
“ Saat itu saya masih di tanah suci dengan isteri, dan saat kembali melihat SK Bupati saya kaget, karena tidak sebanyak ini stunting di Desa Ciangsana. Makanya saya langsung minta kroscek ke lapangan, nama-nama yang disebutkan dalam SK tersebut, dan data itu salah, yang benar itu hanya ada 18 anak yang bisa dibilang masuk kedalam katagori stunting,” ungkap Udin Saputra kepada Jurnal Bogor, Senin (14/8/23).
Udin menyebut, Pemdes sudah melakukan pendataan ulang dan akan melayangkan surat keberatan akan data yang tidak valid yang tertuang dalam SK Bupati tersebut. Pasalnya, pihak Puskesmas Ciangsana sendiri memberikan data tersebut tanpa melakukan konfirmasi ulang kepada desa dan mungkin dari data yang sebelumnya.
“ Karena, dampak dari SK Bupati terkait stunting tersebut bisa berpengaruh dengan prestasi yang sudah diraih oleh Pemdes Ciangsana. Maka dari itu kami akan melayangkan surat keberatan, dan dimohon untuk SK Bupati yang sudah keluar harap ditarik kembali,” harap Udin.
Ditempat yang sama, Ketua TP PKK Desa Ciangsana Sintia Maharani mengatakan, dampak dari kesalahan jumlah penderita stunting di Desa Ciangsana bukan hanya berpengaruh dengan prestasi yang sudah diraih oleh desa, melainkan juga jadi dampak mental untuk kader posyandu. Mengingat, mereka sudah bekerja setiap hari dengan honor yang tidak seberapa dan data mereka selalu diberikan kepada Puskesmas setiap melakukan posyandu, tapi hasilnya sangat mengejutkan.
“ Memang adanya miskomunikasi antara Pemdes dan Puskesmas, tapi data dari posyandu sendiri itu selalu data terbaru. Makanya kami kaget jika jadi nomor 1 untuk stunting, sedangkan yang sebetulnya kami sendiri belum paham katagori stunting yang sesungguhnya bagaimana,” tandas Sintia sapaan akrabnya.
“ Yang saat ini diketahui adalah, usia anak tidak sesuai dengan tinggi badan dan berat badan anak, hingga dikategorikan stunting. Kami dilemanya, bagaimana jika anak tersebut memang sudah gen dari orang tuanya, apa itu masih dikatakan stunting,?,” tambahnya.
Dan lagi, sambung Sintia, dilemanya di lapangan ialah kebanyakan orang tua tidak menerima jika anaknya dikategorikan kurang gizi atau stunting. Karena mereka merasa anaknya baik-baik saja dan sehat-sehat saja, anak masih aktif bermain, anak masih mau makan dengan lahap, hanya saja berat badannya tidak naik-naik, begitu pun tingginya.
“ Itu dilema kita di lapangan, tapi yang pasti untuk sampai ke tahap gizi buruk di Desa Ciangsana itu tidak ada. Oleh karena itu hari ini saya akan turun langsung untuk mengkroscek kondisi dari 18 anak yang masuk dalam kategori stunting tersebut,” cetusnya.
Sintia berharap Pemerintah Kabupaten untuk merevisi kembali data stunting di Desa Ciangsana, apalagi data tersebut sudah tertuang dalam SK Bupati. Dia juga berharap untuk pihak Puskesmas agar melakukan komunikasi terlebih dahulu sebelum mengirim data terkait warga di Desa Ciangsana. Dia memahami kesibukan Puskesmas yang menaungi 3 desa pastinya data tersebut bisa tertumpuk.
“ Tujuan minta direvisi jumlah stunting di Desa Ciangsana ialah agar semangat kader posyandu yang sudah tidak kenal lelah memperhatikan perkembangan dan kesehatan warga sedesa tidak menjadi kendor, dengan adanya jumlah penderita stunting yang salah datanya, jadi mereka terkesan seperti tidak bekerja, padahal mereka sangat lelah dengan honor yang tidak seberapa,” pungkas Sintia mengakhiri.
** Nay Nuráin