Oleh: Nay Nur’ain *)
Sekolah negeri masih menjadi primadona bagi para orang tua, selain gratis dalam iuran SPP per bulanya, juga fasilitas yang memadai dan didukung penuh oleh pemerintah membuat sekolah negeri selalu menjadi rebutan. Namun sistem pendaftaran online yang sudah berjalan sejak tahun 2017 ini, menuai banyak polemik dan juga menjadi ajang bisnis ‘orang dalam’ dan mereka yang berpengaruh.
Muhadjir Efendy merupakan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang mencetuskan sistem zonasi untuk sekolah negeri, dengan tujuan awal, agar masyarakat memilih sekolah yang tidak jauh dari kediamannya guna menghemat anggaran, dan untuk menghindari julukan sekolah favorite.
Tapi, dampak lain yang terjadi di lapangan ialah sistem hanyalah sistem, pembuat sistem tetaplah dia yang memiliki ID untuk mengutak-atik, siapa titipan siapa?.
Belum lama ini, viral SMPN wilayah Bogor Timur, karena kedapatan melakukan praktik “pungli“ atau mungkin jual beli bangku. Hal tersebut membuktikan, jika sistem online yang dibuat oleh pemerintah masih memiliki kelemahan dan justeru menjadi sarat bisnis dalam dunia pendidikan.
Bukan hanya kasus yang menimpa SMPN. Salah satu SMAN pun turut menjadi sasaran geruduk dari organisasi masyarakat dan pemuda, karena banyak sekali warga sekitar yang tidak lolos sistem zonasi.
Dari peristiwa-peristiwa tersebut, sebaiknya Pemerintah Pusat terutama Kementerian Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Tekhnologi (Kemendikbudristek) yang kini dipimpin oleh Nadiem Makarim untuk berbenah dengan sistem online yang dibuat oleh menteri sebelumnya. Pasalnya, sistem yang dianggap safety justeru hanya menjadi keuntungan dari mereka yang bermain dari sistem itu.
Yang lebih mengerikan lagi saat ini dengan sistem online yang diterapkan sampai ada yang melaporkan kepada pihak kepolisan karena adanya pemalsuan data KK, miris bukan ?. Dengan kejadian yang beragam tersebut, jelas sudah sistem online dengan berbagai jalur masih bisa dimainkan dan dijadikan ajang bisnis segelintir orang.
Separah itukah dunia pendidikan kita, sejahat itukah pelaku pengolah data siswa dalam dunia pendidikan, harus sehina itukah dalam mencari uang untuk meraih keuntungan. Sehingga harus mematahkan harapan anak bangsa yang hanya ingin bersekolah.
Hingga tak aneh, bukan hanya DPR saja yang rebutan kursi dan rela merogoh kocek dalam-dalam. Tapi ingin duduk dan masuk dalam sekolah negeri pun, harus berebut kursi dengan mereka yang punya kuasa, uang dan jabatan.
Hingga tak jarang, untuk kalangan masyarakat miskin hanya kebagian sekolah swasta bahkan Paket C, karena jatah KETM yang menjadi jalur khusus untuk ornag miskin tak jarang justeru menjadi celah kecurangan dan diisi sang pemilik rupiah dengan nilai tinggi.
Selain jalur zonasi, zona KETM, zona tertentu pun tak luput menjadi celah permainan. Hal itu bisa dibuktikan dengan ketidak beranian pihak sekolah memberikan info data dari jalur-jalur tersebut. Dengan kesemrawutan sistem ini, pemerintah pusat harus berfikir keras untuk memperbaiki sistem lebih baik lagi. Bukan hanya itu saja, warning untuk pemerintah pun jika ingin membuat aturan harus juga dipersiapkan jumlah sekolah negeri. Karena yang ada saat ini, aturan tersebut menjadi ketimpangan atau kontraproduktif karena tak semua sekolah negeri tersebar rata.
So, perbaiki sistem, proses semua pihak yang bermain-main dalam dunia pendidikan, dan perbanyak sekolah negeri, itu baru hidup Sila Kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Hingga tujuan awal dalam membuat aturan, bisa berjalan sesuai harapan. Dengan demikian, tidak ada lagi istilah rebutan atau jual beli kursi di sekolah.
*): Wartawan Jurnal Bogor/Kabiro Bogor Timur