JURNALINSPIRASI.CO.ID – Membaca artikel abang kita Dr. Ghazali Sitomarang, mantan Sekjen Kemensos RI, aktivis ICMI dan KAHMI. Saya tertarik untuk menulis, bersemangat untuk memperkuat hal-hal yang beliau ungkapkan, kritik sosial mengenai gerak-gerik (gesture) Presiden RI bapak Jokowi belakangan, untuk kedua kali tulisannya yang sempat saya baca.
Seandainya saya AA boleh berpendapat, merespons tulisan senior saya di ICMI dan KAHMI itu, jika bapak Presiden Jokowi dibiarkan, tidak dingatkan, beliau terus bermanuver politik, bisa-bisa berdampak buruk terhadap nasib NKRI, akan berada dalam ,”ambang bahaya”. Kita para ilmuwan dan cendekiawan harus saling mengingatkan dan mewaspadainya.
Gesture bapak Jokowi akhir-akhir ini memang agak “aneh” dan bahkan nyeleneh statemen-statemenya di media infokom, jujur saya berpendapat, beliau tidak menunjukan sosok dan figur Presiden RI sedang menjabat sebagai Kepala Negara yang tugas dan fungsinya melindungi dan berdiri semua golongan (inklusif, bukan eksklusif milik golongan tertentu dari PDIP).
Presiden RI itu fungsi dan peran pokoknya adalah mempersatukan bangsa sebagai amanat konstitusi negara UUD 1945, selain menjalankan sumpahnya saat dilantik menjadi Presiden RI di forum sidang MPR RI, Presiden harus bekerja keras sepenuh tenaga untuk mensejahterakan rakyatnya, menciptakan suasana hidup rukun damai dalam berkehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Bapak Jokowi dengan segala manuver politiknya akhir-akhir ini eskalasi semakin kencang, diantaranya menginisiasi pertemuan para pemimpin Parpol pendukung Pemerintah, kecuali pimpinan Parpol Nasdem, Surya Paloh, bertempat di Istana Negara.
Ini menunjukan fakta bapak Jokowi mengecilkan “bajunya” dari status sosialnya yang amat tinggi dan mulia itu sebagai Presiden RI yang dipilih rakyat lewat Pemilu 2019 yang syah dan diberi kekuasaan dan kewenangan memimpin negara (NKRI) guna mewujudkan tujuan bernegara. Ada 4 tujuan bernegara menurut pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi, memajukan, mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan perdamaian abadi. Itu tugas konstitusional yang mulia (YM) bapak Jokowi, Presiden RI.
Sulit kita membayangkan apa yang akan terjadi, jika gesture bapak Jokowi terus menggunakan jabatan dan fasilitas negara-istana kepresidenan RI untuk bermanuver politik guna mendukung dan memenangkan kontestan Balonpres dan Capres RI pilihan dan selera bapak Jokowi yakni bapak Ganjar Pranowo, saat ini Gubernur Jawa Tengah, yang beliau gadang-gadang sejak lama.
Publik sangat paham apa agenda, maksud dan tujuan yang dikerjakan bapak Jokowi tersebut yakni mempromosikan bapakGanjar sebagai Capres RI tahun 2024, tetapi tindakan paradoks lainnya ditafsirkan publik, beliau “menghadang dan mengganjal” Anies R Baswedan (ARB) sebagai Balonpres/Calonpres RI pada Pilpres RI 2024 yang diusung dan diinisiasi oleh bapak Surya Palo (Ketum Parpol Nasdem) yang kemudian mendapat dukungan Parpol PKS dan Demokrat. Kini bpk. ARB sebagai Balonpres RI, yang kemudian telah resmi membentuk 3 Parpol Koalisi Perubahan untuk mengusung dan memenangkan ARB sebagai Capres menjadi Presiden RI pada pesta demokrasi rakyat untuk Pemilu. 2024 yang akan datang.
Kemunculan bapak ARB, mantan Gubernur DKI Jakarta yang dipandang dan diakui sukses oleh rakyat, diusung oleh Parpol oposisi Pemerintahan bpk Jokowi-Makruf Amin, (PKS dan Demokrat) sebagai Capres 2024 adalah pilihan yang tepat.
Bapak ARB adalah seorang ilmuwan dan pakar yang cerdas (lulusan Doktor Universitas terkemuka luar negeri, bukan dari kampus abal-abal, aktivis ormas sejak mahasiswa seperti ketua BEM UGM, HMI, Kahminas dll, sebagai dosen dan kemudian menjadi Rektor, berpengalaman timses Presiden Jokowi kemudian menjadi Pembantu Presiden Jokowi sebagai Mendikbud RI yang punya banyak gagasan memajukan dunia pendidikan.
Juga sosok yang teruji dalam Pemerintahan DKI Jakarta sebagai daerah Provinsi terbesar menjadi barometer kepemimpinan Indonesia, sukses dan ARB adalah tokoh muda yang cerdas bergelar Doktor benaran-bukan abal-abal, beliau keturunan keluarga yang terpelajar (ayah dan ibunya dosen UII, ibu yang mendidiknya bergelar Profesor, sedangkan kakeknya AR Baswedan adalah pejuang dimasa revolusi 1945 dan Pahlawan Nasional yang telah diakui jasa-jasa terhadap kemerdekaan RI.
Munculnya bapak ARB sebagai Bacapres RI memang sedang sangat dirindukan kehadiran sebagian besar rakyat dan bangsa Indonesia, terutama di daerah-daerah. Fakta yang tak terbantahkan, kita tonton di sejumlah media sosial dan koran-koran, terutama warga yang berafiliasi semangat keislaman bahwa ketika ARB berkunjung untuk bersilaturrahmi kepada para simpatisan dan pendukungnya di sejumlah daerah.
Sosok dan figur ARB diarak sepanjang jalan dari bandara hingga ke lokasi pertemuan atau lapangan yg besar dan sangat luas, dibanjiri ummat manusia (massa) penduduk yang sangat banyak, “membluak”, meluber dan ada mereka berada diatas pohon, antusias, memadati minta bersalaman, ditaksiran ratusan ribuan bahkan ada mungkin mendekati sejutaan, sambil mereka para jemaah mengelu-elukan rakyat sebagai “Presiden RI 2024”.
Jadi masuk di akal (commen sense) kiranya ada salah satu lembaga survei politik pernah mengungkapkan, jika Pilpres diadakan saat ini ARB adalah pemenangnya, menjadi Presiden RI. Hal ini membuat barisan pendukung bapak Jokowi, terusik dan dinilai publik agak kelabakan.
Hal ini wajar terjadi kepemimpinan Presiden bapak Jokowi dipandang “gagal” membawa NKRI berkemajuan dan berperadaban, dianalisis dari sejumlah indikator dan parameter ipoleksusbudhankam, fakta dan datanya begitu transfaran dipublish, diketahui, dimengerti dari berbagai mass-media mainstream dan dirasakan sebagian besar rakyat belum bahkan tidak merasakan kesejahteraan bersama.
Mereka ingin dan mendesak ada perubahan kepemimpinan nasional, akibatnya muncul fenomenal ARB sebagai Capres 2024 adalah sesuatu kewajaran dan masuk akal, ada kerinduan dan harapan.
Berbagai manuver politik untuk menahan lajunya popularitas bapak ARB dilakukan berbagai cara oleh pihak lawan, termasuk diantara terakhir adanya pertemuan 6 Ketum Parpol pendukung Pemerintah, mengambil tempat di istana negara atas undangan bpk Presiden RI Jokowi. Pertemuan para pimpinan 6 Parpol dengan Presiden tersebut banyak menjadi perhatian publik, dan menuai berbagai kritik dari beberapa orang pengamat dan pemerhati sosial politik yang peduli atas keselamatan nasib bangsa dan negara.
Banyak yang mempersoalkan bahkan mempermasalahkan “apakah yang dikerjakan Presiden Jokowi melakukan berbagai manuper politik, untuk mendorong konstestan Balonpres atau Capres pilihan parpol PDIP, apakah langkah ini sesuai dengan prinsip dan kaidah konstitusi negara UUD 1945?
Apakah Jokowi sudah melanggar konstitusi negara?
Pertanyaan yang menghawatirkan.juga muncul dibenak publik, mau dibawa kemana oleh bapak Jokowi, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdaulat dan bersatu ini, yang pernah diperjuangkan Pahlawan Nasional, Perdana Menteri RI Bapak Dr. Muhammad Natsir, dengan mosi integral Natsirnya?.
Hal ini sangat wajar dan rasional muncul di alam pikiran (benak) publik, mengingat resiko yang bakal terjadi, karena dunia politik penuh dengan berbagai kepentingan, kompetisi, pertarungan, intrik dan bahkan berpotensi mengundang konflik sosial horisontal, rakyat sesama rakyat dan bahkan rakyat versus pemerintah (vertikal).
Saran saya, alangkah cerdas dan bijaksananya seorang sosok dan figur seorang Presiden RI, yang kini diberi amanah kepada bapak YM Ir. H. Joko Widodo (Jokowi) , sudah kurang lebih 9 tahun bapak berkuasa, gerak gerik (gesture) yang tepat dan bijak adalah mempertahankan sikap netralitasnya dan berperilaku inklusif, berdiri pada semua golongan, dengan penampilan gerak -gerik (gesture) mengambil jarak yang sama pada semua Pimpinan Parpol yang ada dan resmi diakui UU Republik Indonesia, dan tidak melakukan berbagai manuper politik.
Sebab itu tugas dan kewajiban pimpinan parpol untuk menyiapkan pemimpin nasional atas prinsip demokrasi (musyawarah dan permukatan MPR RI, doeloe berdasarkan UUD 1945 asli), bukan Presiden RI yang tengah berkuasa sebagai Kepala Negara dan sekaligus Kepala Negara sebagaimana kini diemban bapak Jokowi.
Jika ini dilakukan bapak Jokowi berarti beliau selain dituduh menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power), beliau telah memperkecil “baju kekuasaan dan kewenangan”nya sendiri (yang tadinya besar dan luas), kini beliau bisa terkena “mental blok” dan memihak, bersikap eksklusif (bukan inklusif) dan kasihan rakyat, bangsa dan negarabakan terkena imbas negatifnya, terlebih bagi nasib bapak Jokowi sendiri pasca tak lagi menjabat Presiden RI, barang tentu sangat tidak menguntungkan.
Seandainya (kita berharap jangan sampai terjadi) tiba-tiba kondisi negara “gawat dan darurat” (chaos) terjadi perselisihan elite politik yang berlanjut menjadi situasi konflik sosial-politik dalam proses pencapresan RI menjelang Pemilu 2024 nanti, jika terjadi kepada siapa tempat mengadu dan meminta keadilan atau penyelesaiannya?.
Jawabannya ya! kepada Presiden RI sebagai Kepala Negara, sebab Presiden RI itu adalah simbol pemersatu bangsa, bukan kepada pemimpin Lembaga Kenegaraan RI yang lainnya seperti MPR, DPR RI etc. Makanya pada setiap ruang kantor resmi Pemerintahan dan terkadang kantor perusahan swasta dan fasilitas sosial-publik wajib di pasang gambar bapak Presiden RI disebelah kanan, dan sebaliknya gambar bapak Wakil Presiden RI di sebelah kiri.
Maaf, itulah materi hukum tata negara (konstitusi) dalam sistem kelembagaan negara NKRI yang pernah saya peroleh dalam kegiatan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di era Orde Baru yang pernah saya jalani, dan dipahami materinya pada Forum diskusi Penataran Pola 144 Jam Tingkat Nasional di BP7 Pusat Pejambon Jakarta pada tahun 1988.
Makanya saya belum pernah lihat gesture Presiden RI sebelumnya misalnya saja Presiden RI ke-3 bapak Prof. BJ Habibie (Pendiri dan Ketum MPP ICMI pertama) yang saya kenal, beliau bersikap netral dan tidak ikut campur tangan (intervensi) berlebihan dalam persiapan Pilpres, apalagi bermanuver menggolkan Capres RI yang beliau inginkan dan sukai.
Itulah kesan dan menurut pandangan publik yang tepat dan bijak sebagai sosok dan figur Presiden RI ke 3 yang tengah berkuasa sebagai Negarawan.
Kami sangat berharap bapak Jokowi menjadi negarawan sejati, bukan “petugas partai” sebagaimana didiclear oleh seorang Pimpinan Parpol tertentu, sayang jabatan publik Presiden RI yang tertinggi, terhormat nan mulia itu, kok direndahkan status sosialnya sebagai petugas partai, bukan Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan, yang bertugas memimpin para Menteri sebagai anggota Kabinet Pemerintahan yang berasal dari kader-kader terbaik sejumlah parpol koalisi.
Tujuan mulia kepemimpinannya mewujudkan masyarakat adil dan makmur dalam makna lain mensejahterakan rakyat Indonesia.
Harapan saya dan kita, sudah saatnya MPP ICMI hendaknya berinisiasi dan berani memberikan masukan-masukan cerdas, berharga dan konstruktif kepada Bapak Presiden dan Wakil Presiden RI demi kemasalatan dan keselamatan bangsa dan negara Republik Indonesia yg kita sama cintai.
Demikianlah narasi singkat saya selaku insan akademis dan pernah juga aktif di parpol, yang mencintai NKRI yang utuh dan bersatu serta berdaulat dengan masyarakat dan rakyatnya sejahtera dalam wadah NKRI, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta diridhoi Allah SWT.
Save NKRI.
Syukron barakalah, semoga Allah SWT selalu melindungi dan menolong hamba-hambaNya yang beriman, bertaqwa, gemar berbuat kebajikan dan saling mengingatkan dalam kesabaran. Aamiin.
Wassalam
Penulis:
Dr. Ir. H. Apendi. Arsyad, MSi
(Dosen-Assosiate Profesor, Pendiri Universitas Djuanda Bogor, Pendiri-Ketua Wanhat MPW Orwil Khusus Bogor dan Wasek Wankar ICMI Pusat, Konsultan K/L negara, Pegiat dan Pengamat Sosial)