Bogor | Jurnal Bogor
Sengkarut revitalisasi Jembatan Otto Iskandardinata (Otista) senilai Rp49 miliar terus menuai sorotan. Seiring dengan dibatalkannya pembongkaran struktur jembatan buatan pemerintah kolonial Belanda oleh Pemkot Bogor.
Eks Aktivis 98, Rommy Prasetya mengatakan bahwa langkah tersebut disinyalir lantaran kajian yang dilakukan tidak matang, dan bahkan terkesan terburu-buru. Terbukti, Pemkot Bogor yang mulanya akan membongkar total jembatan malah justru mempertahankan struktur lama karena jembatan tersebut merupakan bagian dari cagar budaya.
“Aspek historis tidak diteliti, melihat bangunan jembatan yang dibangun sejak zaman Belanda yang merupakan bagian dari cagar budaya sebagaimana Perwali Nomor 17 Tahun 2015 tentang kota pusaka yang diterbitkan Bima Arya. Disinyalir ini adanya keteledoran Dinas PUPR dalam membuat perencanaan,” ujar Rommy kepada wartawan, Kamis (25/5).
Tidak matangnya kajian, sambung dia, juga terlihat dari langkah Pemkot Bogor yang menerapkan sistem Contract Change Order (CCO) bukan addendum lantaran adanya perubahan rencana pembangunan.
Selain itu, Rommy pun menilai bahwa Pemkot Bogor kurang menghitung dampak sosial akibatk dari penutupan jalan, yang berimbas terhadap kemacetan yang terjadi dimana-mana.
“Lemah sosialisasinya. Kalaupun ada yg itu adalah bentuk glorifikasi semata yang dilakukan. Seberapa besar manfaat yang dirasakan oleh warga Bogor ketika ada penutupan jalan, merugikan secara ekonomis. Bagaimana nasib pedagang kecil, Apalagi ini akan dilakukan sampai bulan Desember,” jelasnya.
Seharusnya, kata Rommy, proyek penataan dilaksanakan tidak hanya dilakukan di sisa waktu jabatan. “Jangan hanya mengejar sisa waktu menjabat,” tegasnya.
Lebih lanjut, Rommy juga menyoroti mengenai pemenang tender yang sebelumnya sempat mendapat black list. Seharusnya ULP lebih teliti karena ini proyek besar seharusnya kepala ULP melakukan koordinasi dengan wali kota terlebih dahulu mengenai keikutsertaan perusahaan itu dalam lelang,” katanya.
Rommy menilai bahwa polemik revitalisasi mencuat akibat kesalahan wali kota, termasuk salah menempatkan Kadis PUPR, yang sebelumnya bukan berada di bidang itu.
“Artinya bahwa ini tidak sesuai dengan konsep the right man, on the right place. Proyek Jembatan Otista menelan anggaran yang tidak kecil dan bukan untuk sarana belajar kepala dinas. Jadi sebaiknya Bima mundur saja,” katanya.
Rommy juga menilai bila tak ada pengawasan ketat terhadap pemenang lelang. Padahal, ini adalah proyek ‘mercusuar’ Bima Arya.
“Akibatnya sekarang perencanaan berantakan. Oleh karenanya seharusnya Bima Arya malu kepada warga Bogor, yang sudah memberikan pernyataan plin plan hingga membuat warga bingung. Contohlah pejabat di Jepang ketika pejabatnya membuat kebijakan yang salah langsung mengundurkan diri sebagai pejabat. Kalau ini dilakukan, Insya Allah akan mendapat simpati dari masyarakat luas dan akan naik derajat ke jabatan yang lebih tinggi,” tuturnya.
Sementara itu, Dinas PUPR Kota Bogor menjelaskan, bila ada perubahan rencana di Jembatan Otista. Salah satunya, adalah akibat struktur lengkung yang diperkirakan sudah ada sejak tahun 1920 akan dipertahankan atau tidak dibongkar, sehingga perubahan rencana itu dimulai dari naiknya level jembatan.
“Konsekuensi jembatan tidak dibongkar, kemudian kita harus hitung ulang level jembatannya. Jadi ada kenaikan jembatan, karena kita memang tidak menyentuh jadi ada kenaikan 1,7-2,5 meter,” ungkap Kepala Dinas PUPR Rena Da Frina.
Ia menegaskan, naiknya level jembatan akibat struktur lengkung ini merupakan rencana yang cukup realistis. Karena, struktur lengkung itu dipertahankan keberadaannya, namun tidak dimanfaatkan fungsinya.
“Ke depan, struktur jembatan yang dipertahankan itu tidak sama sekali membebani bobot jembatan baru,” tegasnya.
Naiknya level jembatan akibat lengkung yang dipertahankan ini, masih jelas Rena, membuat kontraktor harus kerja ekstra keras. Dimana, timbunan tanah saat pembangunan bertambah lagi dari rencana awal yang sudah ditentukan.
“Kami tetap bangun jembatan baru. Hanya luasannya beda, pondasinya mundur ke belakang ada 50 meter. Terlalu beresiko jika memakai rangka yang lama. Meski hitungannya masih kuat. Tapi jika untuk beban sekarang, tentu tak bisa terkejar,” tandasnya.
Rena menjelaskan, perubahan rencana itu tidak akan memengaruhi progres pembangunan yang saat ini berjalan. Termasuk, nilai kontrak yang sudah tertera di jembatan ini.
Diketahui, akhirnya Pemkot Bogor tetap mempertahankan struktur lenkungan jembatan yang awalnya akan dibongkar, karena sebagai warisan budaya atau Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB). Tetapi, struktur tersebut tidak akan digunakan sebagai fondasi Jembatan Otista yang baru.
Wali Kota Bogor Bima Arya menegaskan, pihaknya akan membangun fondasi baru, bukan menggunakan struktur tersebut.
Bima menyatakan, kontruksi pondasi harus kokoh untuk menopang pelebaran jalan dan jalur trem.
“Dari masa-masa awal ada beberapa opsi pembangunan. Saya sampaikan apakah memungkinkan menjaga konstruksi lengkung itu. Setelah membahas beberapa kajian, ternyata sangat memungkinkan menjaga struktur itu. Tinggal nanti jalannya agak melengkung di atas, elevansinya naik. Tapi itu tidak masalah sama sekali,” ungkapnya, belum lama ini.
Politisi PAN itu mengatakan, kontruksi yang sempat diduga cagar budaya itu sudah berumur cukup tua sehingga tidak memungkinkan untuk dilewati trem. Atas dasar itu, ia memilih mempertahankan struktur tersebut dan tetap membangun pondasi baru.
“Ini win-win solution, warisan masa lalu tetap terjaga. Tetapi konstruksinya menjadi lebih kuat,” imbuhnya.
Ia pun memastikan bahwa langkah itu tidak akan berpengaruh pada biaya dan aspek lain yang sudah ditetapkan.* Fredy Kristianto