Nanggung | Jurnal Bogor
Pembangunan hunian tetap (huntap) di Kampung Kebon Awi, Desa Nanggung, Nanggung, Kabupaten Bogor yang diperuntukan bagi korban bencana alam menjadi pertanyaan masyarakat.
Pasalnya, pembangunan huntap yang dibangun dengan teknologi Rumah Instan Sederhana Sehat (Risha) dengan panel beton yang disebut tahan gempa malah beresiko rawan gempa.
Bahkan pembangunan huntap di wilayah itu sebanyak 50 unit, dibangun secara bertahap disinyalir penuh dengan kejanggalan.
Janggalnya pembangunan huntap yang dikerjasamakan oleh Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan (DPKPP) Kabupaten Bogor dengan kelompok masyarakat di masing-masing desa itu disinyalir kental terindikasi adanya dugaan tindak korupsi dan kolusi.
Ketua Umum Genpar, Sambas Alamsyah, mengatakan, bahwa kejanggalan terkait huntap tersebut diketahui seusai dirinya bersama tim meninjau lokasi huntap yang sedang dalam proses pembangunan.
“Setelah kami cek ke lapangan bersama tim, proses pembangunan huntap terkesan lamban dan terasa aneh lantaran di papan proyek tidak dilengkapi atau tertera kapan tanggal dimulai dan selesainya,” kata Sambas Alamsyah, Rabu (03/05/2023).
“Kami menduga cara ini sengaja dibuat untuk mengelabui alias tidak jelas kapan kepastian selesai pengerjaannya,” tambahnya.
Lebih lanjut, kata dia, dari pembangunan huntap yang dikerjasamakan oleh DPKPP Kabupaten Bogor dengan kelompok masyarakat yang nilainya sampai dengan Rp 3.100.000.000 tersebut terdapat beberapa temuan material yang sangat meragukan kualitasnya.
“Bahan material sangat mengkhawatirkan, pintu kayu belum saja digunakan sudah terkena rayap (bolong-bolong) kemungkinan tidak sampai dengan satu tahun dipastikan akan lapuk. Kemudian, ditemukan juga material paralon yang digunakan itu tipe paling terendah yang kemungkinan juga akan menimbulkan konflik kedepannya karena mudah pecah,” jelas Sambas.
Jadi kata Sambas Alamsyah, pada konstruksi Risha yang gencar disosialisasikan sebagai rumah instan dengan teknologi dengan sistem knock down dengan sistem panel sambungan baut, namun kedapatan baut yang terhubung hanya beberapa gelintir saja. Bahkan tidak menggunakan pelat baja penghubung atau penguat.
“Bagaimana mau mencanangkan rumah instan dengan teknologi tahan gempa sementara realisasi di lapangan malah kebalikannya akan rawan gempa,” papar pria yang akrab dipanggil Sambo ini.
Dari bangunan rumah yang sudah jadi saja, menurut Sambas, pihaknya menemukan kejanggalan, seperti keramik yang digunakan menggunakan keramik KW 3.
“Bolehlah rumah instan murah, namun jangan murahan juga, jangan menari di atas penderitaan masyarakat yang sedang berduka,” bebernya.
Dengan temuan tersebut, Sambas menduga hal itu ada oknum dari DPKPP bermain di dalamnya. Sangat khawatir anggaran pembangunan huntap tersebut menguap seperti buih, karena setelah pihaknya analisa penguapan anggaran itu dapat terjadi hingga 40 persen.
“Lalu bagaimana dengan sistem pengawasan atau konsultan yang ditunjuk seakan terkesan makan gaji buta. Untuk sementara tim kami masih mengkaji dan menganalisa dan menelusuri lebih dalam terkait nilai kerugian negara dan tindakan perbuatan melawan hukum oknum yang diduga salah satu kabid di DPKPP yang terlibat dan terdepan dalam peristiwa ini,” katanya.
Sementara, Ketua Kelompok masyarakat (Pokmas) Pembangunan Huntap Desa Nanggung, Yusep membenarkan ada keterlambatan dalam pengerjaannya. Namun dia membantah pembangunan yang tidak sesuai dengan spesifikasi itu.
“Kalau keterlambatan memang betul, tapi pembangunan yang tidak sesuai. Saya melihat tidak ada yang tidak sesuai dengan spek dalam pembangunan,” katanya saat dihubungi melalui telepon.
Dia menuding, keterlambatan itu dari aplikator bahwa pengerjaan dengan target 45 hari akan tetapi sudah dua bulan belum selesai dan pihaknya hanya sebagai pelaksana.
“Kalau kita hanya pelaksana, kalau posisi aplikatornya cepat ya kita pasti cepat dalam pelaksanaannya,” pungkasnya.
** Andres