31.6 C
Bogor
Monday, May 6, 2024

Buy now

spot_img

SBY Pertanyakan Urgensi Sistem Pemilu Diubah

Rakyat Perlu Diajak Bicara

Bogor | Jurnal Bogor

Presiden Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan pendapatnya perihal isu penggantian sistem pemilu, dari sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup yang segera diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK).

Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat  ini memastikan harus punya urgensi dan alasan kuat untuk mengubah sistem pemilu. SBY bahkan mempertanyakan benarkah sebuah sistem pemilu diubah dan diganti ketika proses pemilu sudah dimulai, sesuai dengan agenda dan time-line yang ditetapkan oleh Komisi  Pemilihan Umum (KPU).

“Tepatkah di tengah perjalanan yang telah direncanakan dan dipersiapkan dengan baik itu, utamanya oleh partai-partai politik peserta pemilu, tiba-tiba sebuah aturan yang sangat fundamental dilakukan perubahan? Ini tentu dengan asumsi bahwa MK akan memutuskan sistem proporsional tertutup yang mesti dianut dalam pemilu 2024 yang tengah berjalan saat ini,” kata dia dalam keterangan yang diterima Jurnal Bogor, Minggu (19/2/2023).

SBY juga menanyakan apakah saat ini, ketika proses pemilu telah berlangsung, ada sebuah kegentingan di negara kita, seperti situasi krisis tahun 1998 dulu misalnya, sehingga sistem pemilu mesti diganti di tengah jalan. Mengubah sebuah sistem tentu amat dimungkinkan. Namun, di masa “tenang”, bagus jika dilakukan perembugan bersama, ketimbang mengambil jalan pintas melakukan judical review ke MK.

“Sangat mungkin sistem pemilu Indonesia bisa kita sempurnakan, karena saya juga melihat sejumlah elemen yang perlu ditata lebih baik. Namun, janganlah upaya penyempurnaannya  hanya bergerak dari terbuka – tertutup semata,” ungkapnya.

Menurutnya, dalam tatanan kehidupan bernegara yang baik dan dalam sistem demokrasi yang sehat, ada semacam konvensi baik yang bersifat tertulis maupun tidak. Jika hendak melakukan perubahan yang bersifat fundamental, misalnya konstitusi, bentuk negara serta sistem pemerintahan dan sistem pemilu, pada hakikatnya rakyat perlu diajak bicara.

“Perlu dilibatkan (rakyat). Ada yang menggunakan sistem referendum yang formal maupun jajak pendapat yang tidak terlalu formal. Menurut saya, lembaga-lembaga negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif tidak boleh begitu saja menggunakan kekuasaan (power) yang dimilikinya dan kemudian melakukan perubahan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat secara keseluruhan,” jelasnya.

SBY berpandangan, mengubah sistem pemilu itu bukan keputusan dan bukan pula kebijakan (policy) biasa, yang lazim dilakukan dalam proses dan kegiatan manajemen nasional (kebijakan pembangunan misalnya). Dia kembali menegaskan, bagaimanapun rakyat perlu diajak bicara dan harus membuka diri dan mau mendengar pandangan pihak lain, utamanya rakyat.

“Itu urusan saya dan saya yang punya kuasa, untuk semua urusan, tentu tidaklah bijak. Sama halnya dengan hukum politik yang kuat dan besar mesti menang, yang lemah dan kecil ya harus kalah, tentu juga bukan pilihan kita. Hal demikian tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang kita anut bersama. Consensus building yang sering diwujudkan dalam musyawarah untuk mufakat, berdialog dan berembuk, take and give, itulah nilai-nilai yang diwariskan oleh para pendiri republik dahulu,” jelasnya.

SBY mempelajari secara mendalam, bagaimana dengan cerdas dan arifnya, founding fathers Bung Karno, Bung Hatta, Yamin, Supomo, Ki Bagus dan lain-lain, bersedia untuk berembuk dan saling mendengar untuk merumuskan dasar-dasar negara baru (Republik Indonesia) yang dinilai paling tepat.

Dengan demikian, kata SBY, rakyat memang sangat perlu diberikan penjelasan yang gamblang tentang rencana penggantian sistem pemilu itu. Apanya yang berbeda antara sistem terbuka dengan sistem tertutup. Mereka harus tahu bahwa kalau yang digunakan adalah sistem proporsional tertutup, mereka harus memilih parpol yang diinginkan. Selanjutnya partai politiklah yang hakikatnya menentukan kemudian siapa orang yang akan jadi wakil mereka.

Sementara, jika sistem proporsional terbuka yang dianut, rakyat bisa memilih partainya, bisa memilih orang yang dipercayai bisa menjadi wakilnya, atau keduanya partai dan orangnya.

“Rakyat sungguh perlu diberikan penjelasan tentang rencana penggantian sistem pemilu ini, karena dalam pemilihan umum merekalah yang paling berdaulat. Inilah jiwa dan nafas dari sistem demokrasi,” kata dia.

SBY juga mengingatkan bahwa perkara besar yang tengah ditangani oleh MK ini adalah isu fundamental, hakikatnya salah satu fundamental consensus dalam perjalanan sebagai bangsa. Apalagi, putusan MK bersifat final dan mengikat. Bagaimana jika putusan MK itu keliru? Tentu bukan sejarah seperti itu yang diinginkan oleh MK, maupun generasi bangsa saat ini.

Bahkkan kata SBY, mungkin ada yang bicara, “tidak ada yang tidak bisa diubah di negeri ini”. Konstitusi pun bisa saja diubah. Demikian juga sistem pemilu. Pendapat demikian tidaklah salah, dan SBY pun amat mengerti.

“Saya hanya mengingatkan dengan cara menyampaikan pertanyaan seperti ini. Kalau sebuah konstitusi, undang-undang dan juga sistem pemilu hendak diubah; mengapa dan bagaimana semua itu diubah? Bangsa yang maju dalam tatanan kehidupan yang baik, mesti mengedepankan pentingnya what, why, how,” ungkapnya.

Dalam perjalanan ke depan, kata SBY, negeri ini harus memiliki budaya untuk selalu mengedepankan the power of reason. Begitulah karakter bangsa yang maju dan rasional. Permasalahan bangsa mesti dilihat secara utuh dan seraya tetap berorientasi ke depan, serta untuk memenuhi aspirasi besar rakyatnya.

“Bukan pikiran dan tindakan musiman, apalagi jika bertentangan dengan kehendak dan pikiran bersama kita sebagai bangsa,” tandasnya.

** Asep Saepudin Sayyev

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -
- Advertisement -

Latest Articles