Tanah Akan Dikembalikan ke Warga Jika Sertifikat Tidak Palsu
Cibinong | Jurnal Bogor
Sertifikat PTSL (Program Tanah Sistematis Lengkap) yang dibagikan Presiden Joko Widodo masih menjadi perhatian publik. Jokowi membagikan 300 bidang PTSL kepada petani di Jasinga, Kabupaten Bogor yang tergabung dalam Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) penerima redistribusi lahan eks HGU PT Rejo Sari Bumi dan PT Cimayak Cileles di Istana Bogor pada 21 September lalu.
Namun belakangan, Satgas BLBI (Bantuan Lukuiditas Bank Indonesia) malah membatalkan lahan PTSL milik ratusan warga yang sudah memiliki SHM (Setifikat Hak Milik) karena dikatakan palsu atau tidak sah. Menko Polhukam sekaligus Ketua Pengarah Satuan Penanganan Hak Tagih Negara (Satgas) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Mahfud MD mengatakan, tanah atau lahan tersebut akan dikembalikan kepada rakyat selamat surat yang diterima terbukti keasliannya atau tidak palsu.
“Prinsipnya sertifikat yang telah diberikan kepada rakyat oleh Presiden melalui Program Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) akan dijamin oleh Pemerintah asal sertifikat tersebut tidak palsu dan tidak terkait mafia tanah. Jika obyek ada di areal sitaan BLBI bisa dengan pelepasan hak kepada pemegang sertifikat,” ujarnya dalam keterangannya, Selasa (28/6).
Sebelumnya Kepala Bareskrim Polri, Komisaris Jenderal Agus Andrianto mengungkapkan 178 SHM yang sudah dibagikan dibatalkan karena redistribusinya tidak sah. Kini, masalah tersebut ditangani oleh pihak kepolisian dan sudah memasuki proses pidana. “Sebab obyek lahannya itu dalam sitaan tim Satgas BLBI. Ini sudah proses pidana, bakal ada tersangka. Kalau gak salah lebih dari tiga orang,” ujarnya.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pun langsung merespons persoalan ini karena redistribusi tanah dilakukan pada Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), yaitu tanah yang dikuasai oleh negara, dan/atau tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat untuk kemudian diredistribusi atau dilegalisasi.
“Akan dilakukan koordinasi melekat dengan beberapa pihak terkait, utamanya dengan Ketua Satgas BLBI, termasuk dengan pihak kepolisian,” kata Menteri ATR Hadi Tjahjanto dalam keterangannya, Selasa (28/6).
Hadi menegaskan, 300 sertifikat redistribusi tanah yang diserahkan itu telah dilegalisasi melalui program redistribusi tanah. Meski demikian, kata Hadi, dengan adanya permasalahan yang berkembang terkait penyitaan tanah di Kecamatan Jasinga itu, pihaknya akan melakukan pendalaman lebih lanjut.
Ia pun menjamin tidak akan ada masyarakat yang dirugikan. Pasalnya pihaknya melakukan program reforma agraria itu dengan niat baik, yakni menata kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan melalui proses penataan aset.
“Solusi atas masalah 300 sertifikat itu kini tengah disusun, dan sekali lagi tidak akan merugikan rakyat serta sesuai dengan komitmen dari pemerintah atau dalam hal ini Presiden Jokowi,” tandasnya.
Sementara Kepala Bidang Pertanahan Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan (DPKPP) Kabupaten Bogor, Eko Mujiarto yang merupakan bagian tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Kabupaten Bogor bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bogor ini menjelaskan bahwa sertifikat tanah tersebut sebenarnya sudah melewati proses sesuai ketentuan.
Namun ada temuan dari Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) terkait adanya surat palsu.
“Untuk penerbitan sertifikatnya sebenarnya telah diproses sesuai ketentuan, hanya terdapat bukti baru dari DJKN adanya surat palsu yang digunakan dalam proses penerbitan sertifikat tersebut,” kata Eko.
Penerbitan sertifikat tanah ini dibuat dalam Program Redis menggunakan tanah Eks HGU. Namun sebelumnya tidak diketahui kalau ternyata tanah Eks HGU tersebut telah dijadikan jaminan.
Sampai saat ini pun, kata Eko, penyitaan sertifikat tanah sebanyak 300 bidang di Jasinga ini masih dalam proses penyelesaian. “Hal inilah yang saat ini sedang dicarikan solusi penyelesaian masalahnya oleh BPN,” kata Eko.
Sedangkan Kepala BPN Kabupaten Bogor Yan Septedyas mengatakan, awal dari dokumen milik Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan yang dipalsukan. Namun belakangan ini menjadi sertifikat bukan seperti disebut orang adalah palsu.
Karena itu, ia mengingatkan kepada masyarakat setiap pemohon harus dimulai dari proses awalnya, jika awal sudah masalah dengan sendirinya akan timbul masalah. Sebab, atas penilainnya, permohonan masyarakat memang sudah lama. Sejak 2015 tanah tersebut, dulunya eks HGU, digarap oleh masyarakat dan jika melalui prosedur yang benar maka hal ini akan bisa diproses BPN. Sehingga kasus tanah eks perkebunan dimiliki para penggarap mengenai persyaratan dinilainya sudah jadi masalah. “Jadi, kalau jadi pasti masalah,” ujarnya.
Sekretaris Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor Ade Priatna menduga, redistribusi lahan eks hak guna usaha (HGU) PT. Cikopomayak Cileles yang saat ini, masuk dalam objek sitaan tim Satgas BLBI ada masalah utang piutang. Menurut Ade, bahwa lahan HGU PT Cikopomayak Cileles tersebut masa habisnya sekitar tahun 2012.
“Sebetulnya kalo memang HGU mutlak tidak punya utang BLBI pasti tidak akan menyita, tapi yang punya ini ada utang piutang ke BLBI,” ungkapnya.
Sebab, kata dia, pada saat lahan tersebut dikuasai oleh Kementerian Pertahanan (Menhan), masyarakat di Kecamatan Jasinga hanya sebatas atas nama saja, selebihnya kepunyaan Kementerian Pertahanan.
“Terus diproses lah sertifikat atas nama masyarakat seolah-olah redis, yang dasarnya ada keterangan lunas. Nah dibuatlah SK Bupati yang entah gimana-gimana buat proses sampai BPN buat sertifikat,” paparnya.
“Namun ternyata dalam perjalanan, utang piutang kepada BLBI belum pernah bayar, dan berarti SK pelunasannya palsu,” sambungnya.
Dia menjelaskan, karena itu sudah terlanjur proses sertifikat maka permasalahan tersebut lanjut kepada proses hukum. “Luas lahannya 504 Hektar, dan sekarang ditangani Bareskrim,” kata Ade.
Dia juga sangat menyayangkan, proses pembuatan sertifikat tersebut yang seharusnya melibatkan pemerintah desa dan kecamatan. “Yang namanya redis itu seharusnya kan melibatkan panitia dari kabupaten dan kecamatan, tapi selama itu, dari zaman camat sebelumnya, panitia tidak dilibatkan, padahal yang berkompeten pada saat itu camat,” jelasnya.
Selain itu, terkait ramainya masyarakat yang merasa dirugikan, dia menilai ada kemungkinan permainan mafia tanah karena masyarakat hanya atas nama saja. “Kalau masyarakat itu tidak ramai karena KTP-nya saja. Mungkin prosesnya ada mafia tanah yang bermain, dan masyarakat hanya jadi korban atas nama,” tukasnya.
** Andres | Asep S Sayyev