Bogor | Jurnal Inspirasi
Wisata malam GLOW di Kebun Raya Bogor (KRB) terus menjadi polemik. Penolakan pun terus mengalir deras dari berbagai kalangan. Hal itu pun membuat Wakil Wali Kota Bogor, Dedie A. Rachim angkat bicara. Menurut dia, PT Mitra Natura Raya (MNR) selaku pengelola dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk menunggu hasil kajian terlebih dahulu terkait dampak yang ditimbulkan dari wisata tersebut.
“Sikap pemkot jelas, Wali Kota Bogor Bima Arya sudah meminta dilakukan kajian oleh IPB maupun BRIN,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (6/10).
Selain itu, sambung Dedie, pemkot juga meminta agar pengelola melakukan langkah komprehensif kepada masyarakat agar tak terjadi miss komunikasi. Sebab, sejauh ini Pemkot Bogor tak memiliki kewenangan 100 persen terhadap KRB.
Kata Dedie, seyogyanya kajian yang dibahas harus dibarengi praktik agar lebih menyeluruh dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.
“Bila ternyata hasilnya negatif, ikuti rekomendasinya. Ini harus ada kesepakatan. Artinya semua orang punya pertimbangan dan pandangan, semua harus duduk bersama. Yang menjadi objek pun yang harus diawasi,” jelasnya.
Ia menyatakan, nantinya kajian harus disampaikan secara terbuka ke masyarakat agar paham. “Ya, bila perlu dikoreksi, ya koreksi. Kalau perlu ditutup, ya disesuaikan dengan hasil kajian,” ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Jaringan Advokasi Masyarakat Pakuan Padjajaran Saleh Nurangga mengaku keberatan atas pengelolaan KRB yang dilakukan oleh swasta. Sebab, ia menilai sejak dikelola swasta, KRB semakin kehilangan marwah.
“Misalnya ada acara-acara di malam hari, merubah tatanan yang ada seperti jalan-jalan yang sengaja dibuat dari bebatuan agar tetap menjadi resapan air hujan, kini di tutup dengan semen. Apalagi GLOW menggunakan sound sistem yang memecah keheningan di waktu malam serta penggunaan lampu-lampu berlebihan yang bahkan diarahkan ke beberapa tempat yang medianya adalah tanaman,” ungkapnya.
Atas dasar itu, kata Saleh, budayawan dan masyarakat Bogor merasa wajib menegur kepada pihak terkait kondisi KRB saat ini. “Kembalikan fungsi KRB seperti semula, yakni sebagai area penelitian, area edukasi, dan area rekreasi alam bagi seluruh lapisan masyarakat yang terjangkau oleh semua kalangan,” bebernya.
Selain itu, kata Saleh, pihaknya juga menolak keras segala bentuk komersialisasi yang berkaitan dengan ekploitasi KRB, karena akan berdampak pada rusaknya tatanan originalitas yang sudah terbentuk selama berabad-abad.
“KRB sebagai Hutan Kota, resapan air, jantung oksigen kota, jaga kelestarian ekosistem 15 ribu jenis tumbuhan dan pohon, menolak adanya penginapan maupun hotel. KRB itu kawasan sakral ada maqom leluhur atau orangtua Bogor,” ungkapnya.
Saleh menceritakan, KRB mulanya merupakan bagian dari “Samida” hutan buatan atau taman buatan yang setidaknya pada saat pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), 1474 – 1513) dari kerajaan Sunda, sebagaimana tertulis dalam prasasti Batutulis.
Hutan buatan, sambungnya, ditujukan untuk keperluan menjaga kelestarian lingkungan sebagai tempat memelihara benih-benih kayu yang langka. “Hutan ini kemudian dibiarkan setelah kerajaan Sunda takluk dari kesultanan Banten, hingga Gubernur Jendral Van der Capellen membangun rumah peristirahatan disalah satu sudutnya pada pertengahan abad 18,” jelasnya.
Kemudian, pada awal 1800 Gubernur Jendral Thomas Stamford Rafles yang mendiami istana Bogor dan memiliki dan memiliki minat besar dalam botani, tertarik mengembangkan halaman istana Bogor menjadi sebuah kebun yang cantik. Dengan bantuan para ahli botani, W.Kent yang membangun Kew Garden di London. “Raffles menyulap halaman istana menjadi taman bergaya Inggris klasik, inilah awal mula KRB,” pungkasnya.
**fredykristianto