Nanggung | Jurnal Inspirasi
Anggota DPRD Kabupaten Bogor Halim Yohanes mendukung langkah pengawas Koperasi Agra Salaka Nusantara (ASN) Hulman OD.Marpaung, jika PT Antam Pongkor melanggar aturan harus ditindak. “Silakan ditindak sesuai ketentuan dan kami mendukung. Kalau memang PT Antam itu bersalah, ditindak saja,” kata Halim Yohanes, politisi dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI) ini melalui WhatsAppnya, kemarin.
Sebelumnya disebutkan, pengawas Koperasi ASN dan juga Koordinator Tim Akar Rumput Jokowi, Hulman OD.Marpaung menyebutkan bahwa perpanjangan izin PT. Antam Pongkor tidak sesuai dengan regulasi yang ada dan tidak sesuai dengan hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa pemerintah harus menetapkan terlebih dahulu Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) kemudian Wilayah Pertambangan Negara (WPN).
“Sudah sama-sama kita ketahui bahwa sampai besok pun WPR belum disentuh oleh pemerintah apalagi untuk ditetapkan. Semoga tidak melupakan kepentingan rakyat diatas kepentingan lainnya dan kiranya masyarakat setempat yang sudah lebih dahulu menambang sebelum adanya
PT. Antam Pongkor maupun perusahaan swasta lainnya tidak akan selamanya termarjinalkan atau menjadi penonton di wilayahnya sendiri (PETI: Penambang Tanpa Ijin). Lalu kapankah mereka akan disebut sebagai PERA (Penambang Rakyat)?,” ungkap Hulman OD.Marpaung.
Menurutnya, rakyat membutuhkan uluran tangan pemerintah khususnya di era Jokowi agar mereka dapat terlindungi dan bekerja secara aman dan nyaman. Tidak lagi dikategorikan sebagai PETI yang pekerjaannya dianggap ilegal tetapi uangnya legal. Sesudah WPR dan WPN ditetapkan, kemudian sisanya untuk pertambangan swasta, jika didalam salah satu wilayah tersebut sudah ada aktivitas pertambangan maka WPR harus terlebih dahulu ditetapkan. Dia juga menuding bahwa PT. Antam Pongkor mengabaikan batas wilayah hingga tidak jelas berapa luas cakupannya (tidak adanya tanda batas mengenai luas areal Penambangan milik PT. Antam Pongkor apalagi Peta Wilayah Penambangan yang terkesan selalu disembunyikan).
“Jadi, kalau saya bicara perusahaan PT. Antam Pongkor, mereka itu termasuk di wilayah WPN dan memiliki IUP (Ijin Usaha Pertambangan), sedangkan menurut Undang-undang yang seharusnya ditetapkan itu WPR-nya terlebih dahulu baru kemudian WPN. Justru dari kabar yang kami dengar bahwa PT. Antam Pongkor baru diperpanjang ijinnya, sementara para pengambil kebijakan belum pernah menetapkan WPR-nya,” jelas Marpaung kepada awak media usai menggelar Pembinaan dan Penyuluhan dari Dinas Koperasi Kabupaten Bogor beberapa waktu lalu.
“Itu perintah undang-undang yang tidak pernah dipatuhi dan ini jelas pelanggaran,” tegasnya.
Menurutnya, selama ini rakyat terlebih dahulu menambang, baru kemudian PT. Antam Pongkor beroperasi. “Lantas dimanakah hak masyarakat?, Sementara pengamanan dari PT. Antam Pongkor menyisir dan turut campur di wilayah tambang masyarakat yang notabene sangat jauh dari wilayah PT. Antam Pongkor dan masyarakat yang tidak dibekali oleh pengetahuan yang cukup hanya bisa pasrah bila dijadikan korban oleh para pengaman dan pihak-pihak tertentu yang mana mereka hanya bisa mengadukan nasib diri dan keluarganya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, jadi saya mohon pemerintah untuk segera menetapkan letak WPR dan berpihak kepada kepentingan masyarakat,” tandasnya.
Menurut Marpaung, syarat WPR mengacu Undang-undang Minerba disebutkan tidak dipermasalahkan lahannya milik siapa, tetapi minimal lokasinya sudah dikuasai atau dikelola oleh masyarakat selama 5 sampai 15 tahun. “Jadi disini ada tumpang tindih regulasi, disatu sisi masyarakat belum memiliki izin, tapi disisi lain yang akan diberikan WPR justru lahan yang sudah dikelola masyarakat minimal 5-15 tahun yang artinya sedang berproduksi atau ada aktifitas penambangan,” tandasnya.
** Arip Ekon