Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bogor, akhir bulan lalu menggelar Rapat Koordinasi Pengarusutamaan Gender. Kegiatan ini diselenggarakan untuk mengkoordinasikan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan status Kota Bogor pada penilaian APE (Anugerah Parahita Ekapraya) 2020.
APE adalah penghargaan yang diberikan pada kementrian/lembaga, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota yang dinilai telah berkomitmen dan mengimplementasikan strategi yang terkait dengan pengarusutamaan gender, pemberdayaan perempuan dan perlindungan perempuan di berbagai sektor pembangunan. Dengan demikian bagi pemerintah-pemerintah daerah, APE menjadi motivasi dan dorongan untuk mewujudkan kesetaraan gender di dalam merumuskan kebijakan dan perencanaan serta melaksanakan dan mencapai hasil pembangunan di berbagai bidang di daerahnya masing-masing.
Pengarusutamaan gender (PUG) adalah istilah yang merujuk pada upaya mewujudkan hasil pembangunan yang manfaatnya dapat dinikmati secara merata dan adil oleh semua pihak, terutama kaum perempuan, anak-anak, para lansia dan kaum disabilitas. PUG menjadi penting diperhatikan, karena pemerintah menyadari, sejauh ini masih ada kesenjangan hasil capaian pembangunan antara kepentingan laki laki dan perempuan, anak-anak, kaum lansia dan kaum difabel.
Dengan kata lain, banyak kepentingan kaum perempuan, anak-anak, lansia dan difabel yang belum terpenuhi. Misalnya fasilitas bermain bagi anak-anak di ruang publik yang masih kurang, fasiltas publik yang tidak ramah bagi para lansia maupun perempuan serta difabel. Lalu, masih adanya anak-anak usia sekolah yang tidak atau belum menikmati pendidikan “Contoh lain yang nampak misalnya, jembatan penyeberangan yang tidak membuat para lansia maupun difabel mudah menggunakannya atau tidak ada ruang khusus bagi kaum ibu untuk menyusui bayi di ruang-ruang publik,” jelas Iceu Pujiati, Kepala DP3A Kota Bogor.
Belum cukup sampai disitu, karena pada dasarnya PUG juga mendorong supaya semua pihak dapat berpartisipasi dalam seluruh proses pembangunan, baik di tahap persiapan, perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pembangunan. Artinya, aspirasi , kebutuhan dan masalah semua pihak harus dipertimbangkan dalam perencanaan pembangunan. Di samping itu semua pihak diikutkan pada proses pengambilan keputusan dan penguasaan sumber daya pembangunan.
Sejauh ini Kota Bogor sudah berupaya mewujudkan PUG dalam pembangunan kota. Diantaranya telah tersedia beberapa sekolah yang masuk dalam kategori sekolah sehat dan sekolah ramah anak, yang tentu bermanfaat bagi anak-anak. Dalam hal ini misalnya, SMP Negeri V Kota Bogor telah berhasil meraih predikat sebagai sekolah sehat tingkat nasional.
Begitupun di ruang-ruang publik diantaranya telah tersedia sarana bermain anak-anak, toilet umum yang terpisah antara buat perempuan dan laki-laki, serta jalur-jalur pedestrian yang diberi tanda khusus untuk digunakan kaum difabel.
Upaya tersebut juga terdorong oleh upaya Pemerintah Kota Bogor mewujudkan Bogor sebagai Kota Layak Anak dan Kota Sehat. Di samping itu, dalam menyusun perencanaan anggaran daerah, telah dilaksanakan penyusunan penganggaran yang responsif gender. Hal ini sesuai ketentuan yang tertuang pada Permendagri Nomor 67 Tahun 2011 yang mengatur kewajiban pemerintah daerah menyusun perencanaan penganggaran responsif gender.
Namun demikian masih banyak yang perlu dilakukan untuk terus meningkatkan perwujudan PUG pada perencanaan, proses dan hasil pembangunan. Oleh karenanya penilaian dan evaluasi dalam rangka APE kepada pemerintah-pemerintah daerah, terus dilakukan oleh pemerintah secara periodik. “Pada penilaian dalam rangka APE tahun 2020, Kota Bogor berupaya meningkatkan status dari tingkat madya ke tingkat utama,” jelas Iceu.
Dengan maksud itulah maka rakor PUG pada akhir bulan lalu, diarahkan untuk meningkatkan komitmen pejabat pemerintah daerah di dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Selain itu juga ditujukan untuk memberikan kerangka acuan bagi seluruh OPD dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender, meningkatkan pemahaman OPD tentang mempercepat pengarusutamaan gender dan memberikan arahan pada pelaksanaan kebijakan dalam menyusun prioritas pembangunan.
“Ada delapan indikator pengarusutamaan gender yang akan dievaluasi dan dinilai dalam rangka APE,” lanjut Iceu. Kedelapan indikator dimaksud masing-masing adalah, komitmen, kebijakan, kelembagaan, sumberdaya manusia dan anggaran, data gender, alat analisis gender, peran serta masyarakat dan inovasi. Dari kedelapan indikator tersebut, sebagian besar dapat dirumuskan dan dilakukan oleh pemerintah daerah.
Namun indikator lain terutama peran serta masyarakat, jelas memerlukan dukungan warga Kota Bogor. Dalam hal inilah maka dukungan masyarakat dirasa menjadi sangat penting pada proses mewujudkan PUG pada proses pembangunan Kota Bogor saat ini dan di masa mendatang. Semoga warga masyarakat Kota Bogor dapat selalu memberikan dukungannya untuk mewujudkan capaian pembangunan yang memperhatikan kepentingan semua pihak secara adil dan merata.
“Pelaksanaan anugrah APE akan diselenggarakan 29 Maret nanti yang akan menilai terkait responsif gender pembangunan di Kota Bogor. Kami harap saat verifikasi, OPD semua sudah siap,” katanya.
Sementara itu, Sekda Kota Bogor, Syarifah Sofiah mengatakan, sudah sepatutnya jika semua anggota PUG ini dapat menguasai materi mengingat Kota Bogor mengikut penilaian dan mendapatkan predikat Madya.
“Selalu di bidang manapun ada seleksi dan kejuaraan yang kita harapkan itu bukan kejuaraan, tapi pada saat kejuaraan itu diperoleh jangan sampai akarnya tidak terimplementasi di program kita, karena itu bisa membuat kita rapuh” imbuhnya.
Syarifah menuturkan, sesuai pesan yang diamanatkan Wali Kota Bogor, Bima Arya. Kejuaraan itu merupakan evaluasi sejauh mana pekerjaan yang sudah dilakukan selama dua tahun ini dan pencapaiannya. Apalagi di PUG ini terdapat unsur pendekatan, salah satunya komitmen.
“Jadi kalau di dalam institusi itu ada komitmen maka akan terbaca dalam produk-produk yang dihasilkan institusi itu. Misalnya secara makro di Kota Bogor akan dihasilkan RPJMD, diturunkan ke OPD dibentuk Renja, RKA, salah satunya untuk PUG, termasuk dalam kebijakannya,” jelasnya.
Ia menjelaskan, sejauh ini sistemnya sudah bagus di dalam PUG, dan agar dapat merespon kelembagaan setiap OPD perlu dibentuk vokal point yang melekat di jabatan sekretaris OPD. Serta tentunya arah kebijakan komitmen tidak boleh berbeda dengan laki-laki, perempuan dan disabilitas
“Pemerintah yang harus mengakomodir perbedaan itu, kemudian dijabarkan di dalam aturan kebijakan dan komitmen. Jadi tidak hanya dilekatkan di DP3A tapi Dinsos, Disdukcapil dan Dinas PUPR juga harus membuat pedoman bangunan di Kota Bogor harus ramah terhadap perempuan, dan lansia dimana tangga tidak boleh tinggi dan bangunan yang bisa memenuhi protokol kesehatan,” pungkasnya.
** ad/fr