Jakarta | Jurnal Inspirasi
Peleburan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terbilang memiliki problematik dan tak solutif. Kemendikbud dinilai akan memiliki rentang kebijakan yang sangat luas. Padahal masalah di Kemendikbud sendiri juga tak sepenuhnya tuntas, pun demikian dengan agenda di sektor ristek yang belum terselesaikan.
Co-Founder CIPG Yanuar Nugroho tidak yakin Kemendikbud akan bekerja efektif ketika Kemenristek melebur di dalamnya. Sebab, Kemendikbud akan mengurusi urusan PAUD, pendidikan dasar, menengah, tinggi, vokasi, pembentukan budaya, riset, ilmu pengetahuan, teknologi, hingga inovasi.
“BRIN oke, tapi langkan pembubaran Ristek ini yang menurut saya problematik. Karena masalahnya ada pada masalah tata kelola,” ujar Yanuar dalam diskusi virtual ‘IPG Talks Dampak Peleburan Ristek ke Dikbud dan Otonomi BRIN’, Kamis (15/4).
Yanuar menuturkan, terpisahnya BRIN menjadi lembaga tersendiri juga akan memiliki banyak pekerjaan rumah, misalnya mengintegrasikan LPNK (Bapeten, Batan, BPPT, BSN, LAPAN, dan LIPI). “Seperti apa modelnya? Mau dilebur, dijadikan satu, atau tetap mereka bekerja dikoordinasikan BRIN?,” ujarnya.
Yanuar mengaku mengetahui tujuan Presiden Joko Widodo untuk meleburkan Kemenristek dengan Kemendikbud. Saat menjadi deputi di KSP, dia berkata Jokowi sempat bicara tidak ingin uang negara ‘diecer-ecer’.
Dia pun menduga kehadiran BRIN lewat Undang-Undang Sisnas Iptek merupakan solusi untuk ‘mengecer’ uang negara. Di sisi lain, Yanuar mengingatkan peleburan dua kementerian menjadi satu tidak pernah berjalan singkat. Dia mengatakan butuh waktu paling tidak satu tahun untuk benar-benar beroperasi.
Waktu selama itu diperlukan untuk menggusur administrasi pegawai hingga hal teknis lainnya. Terlebih, dia mengingatkan tahun 2024 sudah masuk tahun politik. “Bagi saya melakukan itu di tengah-tengah jalannya kabinet menunjukkan bahwa hal sestrategis ini tidak direncanakan dan itu adalah sinyal buruk di pemerintahan ini,” ujar Yanuar.
Terkait dengan hal itu, dia mengajak semua pihak untuk mengawasi kinerja Kemendikbud-Kemenristek, yang merupakan kementerian dengan rentang kebijakan paling besar di Indonesia dan dunia.
“Kita kawal saja kalau begitu. Itu posisi yang kita ambil sekarang,” ujarnya.
Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristek/BRIN, Ismunandar berharap masa transisi terus mempertahankan praktik yang telah berjalan dengan baik. Dia juga tidak ingin perubahan itu akan berdampak negatif terhadap layanan pemerintah.
Ismunandar juga berkata belum dapat memastikan bagaimana kerja dua kementerian pasca dijadikan menjadi satu. Dia mengaku masih menunggu aturan yang belum ditandatangani oleh Jokowi.
“Tapi sebenarnya kita tahun pekerjaan rumah kita masih banyak sekali, apalagi kita punya cita-cita kita itu pembangunan ekonomi berbasis teknologi,” ujar Ismunandar.
Ismunandar membeberkan beberapa pekerjaan rumah pemerintah dalam sektor teknologi, yakni menciptakan ekosistem hingga dukungan dana riset. “Jadi yang diperlukan saat ini adalah kerja keras sama-sama,” ujarnya.
Sementara itu Ketua Pokja Sains dan Kebijakan ALMI, Gumilang Aryo Sahadewo menyatakan peleburan Kemenristek dan Kemendikbud akan menghadirkan disrupsi dalam penyusunan kebijakan terkait riset.
“Akan ada disrupsi dari sisi penyusunan kebijakan terkait dengan riset pada saat pemerintah meleburkan Ristek ke Kemendikbud,” ujar Gumilang.
Gumilang melihat pemerintah sebenarnya memiliki banyak agenda di sektor ristek yang belum terselesaikan. Misalnya, menghadirkan kebijakan SDM dosen di universitas. Kemudian, bagaimana dosen memiliki akses memperoleh pendanaan riset, komite etik riset, hingga proteksi data.
“Dengan adanya peleburan Kemenristek ke Kemendikbud pasti akan ada disrupsi,” ujarnya.
Gumilang membeberkan beberapa disrupsi yang akan dialami antara lain terkait dengan masa transisi, beban institusi, hingga penyusunan kebijakan.
“Kami dari peneliti, ketidakpastian dari kebijakan itu juga bisa berdampak implementasi dan kualitas riset,” ujar Gumilang.
Gumilang menuturkan teori menyampaikan modal fisik, modal manusia, pendidikan, kesehatan, kelembagaan hingga teknologi mempengaruhi pertumbuhan atau perkembangan ekonomi. Sehingga, dia mengingatkan riset dan teknologi sangat penting untuk memastikan produktifitas.
Dalam kelembagaan misalnya, dia berkata butuh banyak sekali riset untuk memastikan apakah sebuah lembaga mengakomodasi hingga menyediakan insentif. Kemudian, dia menyampaikan riset dari komunitas epistemik sangat penting untuk menilai kinerja pemerintah berbasis bukti.
“Belum lagi riset terkait dengan modal manusia, seperti pendidikan dan kesehatan yang saat ini cukup penting dengan berbagai macam situasi dampak dari pandemi,” ujarnya.
Gumilang mengaku sulit menelaah bentuk riset di Indonesia tanpa memahami seperti apa kebijakan dan desain besar pemerintah. Dia mengakui pemerintah memiliki prioritas riset nasional hingga strategi nasional, tapi apakah hal itu menjangkau peneliti di lapangan, belum bisa dipastikan. “Jadi saya kira salah satu dampak dari peleburan ini adalah bagaimana arah untuk penyusunan kebijakan itu sendiri,” ujar Gumilang.
** ass