Jakarta | Jurnal Inspirasi
DPR RI memprotes pemblokiran rekening Front Pembela Islam (FPI) oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang disampaikan dalam rapat Komisi III dengan PPATK, Rabu (24/3). Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani mempertanyakan apakah tindakan PPATK tersebut memang menjadi kewajiban atau sebatas ikut-ikutan.
Sebab menurut Arsul, Kepala PPATK dan jajarannya begitu bersemangat ketika menyampaikam penjelasan kepada publik atas pemblokiran rekening milik FPI dan afiliasi. “Saya tidak tahu persis apakah ini sebuah kewajiban hukum atau karena ini ikut-ikutan saja. Karena FPI ini kelompok yang katakanlah secara positioning politiknya berseberangan dengan pemerintah maka kemudian PPATK sebagai bagian dari atau lembaga yang ada dalam rumpun kekuasaan pemerintahan juga ikut merasa perlu, juga ikut-ikutan untuk men-disclose banyak hal terkait dengan FPI,” kata Arsul.
Arsul kemudian membandingkan kasus FPI dengan kasus lainnya yang jelas-jelas merugikan keuangan, namun tidak dilakukan pemblokiran rekening sebagaimana dilakukan terhadap ormas yang dilarang pemerintah.
“Padahal pada kasus misalnya, Jiwasraya, Asabri, PPATK tidak melakukan hal yang sama. Ini jadi concern kami pak terus terang. Saya tidak tahu apakah pada Jiwasraya dan Asabri banyak tersangkut juga dengan yang ada di pemerintahan atau yang pernah ada di pemerintahan atau bahkan yang ada di dunia politik,” ujar Arsul.
Kepala PPATK, Dian Ediana Rae mengatakan, berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2010 dan UU Nomor 9 Tahun 2013, penangguhan rekening hanya berlangsung selama 20 hari setelah ditetapkan. Meski demikian, dia menyebut kini keputusan pembukaan blokir itu bukan lagi berada di tangan PPATK, melainkan di Polri.
“Kita hanya melihat fakta-fakta saja, karena analisis transaksi keuangan menariknya begini, hanya betul-betul melihat fakta-fakta pergerakan dana itu ke mana, dari mana datangnya, keluarnya ke mana, itu saja dipastikan. Mengenai masalah apakah uang itu benar-benar dipakai untuk sesuatu yang melanggar hukum atau tidak itu bukan kewenangan PPATK,” kata Dian, Rabu (24/3).
Dian mengatakan kini ke-92 rekening FPI tersebut pun sudah diserahkan seluruhnya kepada pihak kepolisian. Dengan demikian, kata dia, kewenangan pembukaan blokir atau tidak itu saat ini berada di tangan Polri.
“Itu sebabnya kalau sudah berakhir dari kita, itu kita serahkan seluruhnya ini kepada pihak kepolisian, mereka yang menentukan apakah akan diblokir terus, atau dilepas, atau dilakukan penyidikan atau penyelidikan lain itu tergantung kebutuhan aparat penegak hukum. Kalau kita kan tidak boleh memanggil orang diklarifikasi dan lain sebagainya,” ucapnya.
Namun Polri membantah hal itu. PPATK dan Polri terkesan saling lempar setelah Polri menyatakan pemblokiran itu bukan kewenangan polisi. “Memang PPATK telah mengirimkan laporan rekening ke Polri dan semuanya sudah diteliti. Hasilnya juga sudah disampaikan kepada PPATK,” ujar Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian Djajadi, Rabu (24/3).
Polri mengatakan telah menerima laporan hasil analisa (LHA) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait 92 rekening FPI. Dari LHA tersebut, Polri mengatakan belum ada dugaan kejahatan asal atau predicate crime terkait rekening itu.
“Polri tidak freezing (membekukan, red) rekening-rekening itu karena belum menemukan predicate crime yang memadai,” kata Andi.
Namun, Andi tidak bisa memastikan nasib rekening FPI tersebut. Menurut dia, hal tersebut kewenangan PPATK. “Penyidik Bareskrim tidak pernah meminta pemblokiran atau pembekuan rekening itu kepada PPATK. Silakan tanyakan ke PPATK,” tandas Andi Rian.
Anggota dari Partai Gerindra, Habiburokhman mempertanyakan kaitan pemblokiran rekening FPI jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010, Pasal 2, 3, 4 ,5 dan Pasal 44 ayat 1, disebutkan bawha objek TPPU adalah hasil tindak pidana atau yang diduga sebagai hasil tindak pidana.
“Saya ingin tahu relevansinya apa? Karena informasi yang saya serap itu ada rekening pribadi-pribadi orang, keluarga yang sama sekali enggak ada hubungannya dengan oraganisasi itu, tidak ada akta dan lain sebagainya. Ada menantu, ada anak,” kata Habiburokhman, Rabu (24/3).
Habiburokhman juga menambahkan, sejauh ini tidak ada temuan unsur pidana dalam pemblokiran rekening milik FPI dan afiliasinya yang diblokir PPATK tersebut. Karena itulah, Habiburokhman menyarankan agar PPATK membuka blokir rekening itu.
“Saya pikir ini kita ada semangat bidang hukumnya ya, ada semangat restorative justice pak supaya tidak memperbanyak spekulasi. Saya pikir bijak kalau memang enggak ada ini sudah berapa bulan ya enggak ada masalah ya dibuka saja,” ujarnya.
Dia berharap PPATK lebih bijak dalam melakukan pemblokiran rekening pribadi. Karena akan dapat merugikan seseorang, apalagi jika mereka sedang dalam kesulitan. “Karena itu rekening-rekening pribadi yang menyangkut kebutuhan pribadi orang-orang tersebut. Kasihan sekali sama seperti kita, misalnya dana kita hanya ada di rekening tersebut malah dibekukan tentu kesulitan dalam memenuhi kebutuhan,” jelasnya.
** ass