Bogor | Jurnal Inspirasi
Gagalnya sidang mediasi dalam perkara gugatan hilangnya akses ke lahan milik warga akibat pembangunan bukaan atau interchange Tol Jagorawi Km 42,5 di Jalan Parung Banteng-Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, membuat Kepala Bagian Hukum dan HAM Setda Kota Bogor, Alma Wiranta angkat bicara.
“Mediasi gagal karena penggugat tak menyetujui adanya surat Kementerian PUPR yang dituangkan dalam akta van dadding (akta perdamaian). Sudah dijelaskan hakim mediator, kalau meminta surat dari PUPR itu sama saja mengeluarkan barang milik negara yang dikeluarkan melalui SK,” ujar Alma kepada wartawan, Rabu (27/1).
Namun, kata dia, SK itu tak bisa berlaku secara perorangan. Namun,mesti diserahkan dulu asetnya kepada lembaga dibawah kementerian seperti Jasa Marga atau PT Gunung Swarna Abadi (GSA).
“Dalam hal interchange, legal standing Pemkot Bogor hanya sebagai pemilik kawasan. Yang mempunyai kewenangan adalah menata PUPR. Kalau di dalam gugatan yang diinginkan penggunaan tanah, itu sudah difasilitasi PT GSA. Agar tak ada penyalahan kewenangan pemerintah makanya dituangkan dalam akta van dadding,” bebernya.
Menurut Alma, ada ketidak sinkronan antara penggugat dan para tergugat dalam hal persepsi, sehingga permasalahan ini maju ke meja hijau. Ia menilai, justru dengan majunya perkara itu di persidangan, membuat pemkot keluar daripada gugatan. “Hal itu karena pemkot bukan pihak yang langsung punya hubungan pretasi. Tapi hanya sebatas pemilik wilayah saja,” paparnya.
Alma menegaskan bahwa selama ini Pemkot Bogor bertindak untuk melindungi masyarakat. “Jadi salah kalau pemerintah tak mengakomodir. Bila masyarakat malah menggugat. Selama ini ada tidak pemkot tak mengakomodir kepentingan masyarakat. Tapi dalam hal interchange, Kementerian PUPR yang punya kewenangan mengatur. Pemkot hanya fasilitator saja,” bebernya.
Lebih lanjut, kata Alma, akta van dadding yang dituangkan dalam kesepakatan dan disahkan pengadilan adalah kepastian hukum. “Pemerintah punya kewenangan terbatas. Pemkot Bogor tak bersebrangan dengan masyarakat. Tapi ada beberapa prosedur yang harus ditempuh,” katanya.
Kementerian PUPR, sambung Alma, tak bisa menerbitkan perizinan. Hal itu karena adanya keputusan tata usaha negara, bila penyerahan SK tidak bisa ke perorangan. “Bila nantinya ada keputusan pengadilan yang memerintahkan kepada kementerian untuk mengeluarkan surat, itu baru bisa. Intinya harus ada kepastian hukum terlebih dahulu,” katanyam
Ia menambahkan bahwa dalam persidangan nanti, pemkot sudah menyiapkan bukti untuk menjawab gugatan. “Sudah delapan kali mediasi tak ada titik temu, maka harus dituntaskan di pengadilan. Tapi akibatnya, masyarakat tidak bisa memakai fasilitas yang ada di kawasan itu,” tandanya.
** Fredy Kristianto