Jakarta | Jurnal Inspirasi
Reka ulang atau rekonstruksi peristiwa penembakan terhadap enam anggota Front Pembela Islam (FPI) dilakukan polisi, Senin (14/12) dini hari. Rekonstruksi itu sendiri digelar di empat titik, yakni LSI Karawang, Jembatan Badami, Rest Area Km 50, dan Km 51+200. Namun rekonstruksi tersebut menjadi kontroversi karena FPI sendiri menyebutnya rekayasa, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menemukan kejanggalan dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebut rekonstruksi itu versi polisi.
Untuk rekonstruksi di titik pertama, di jalan Interchange Karawang Barat, tepatnya di sekitar Bundaran Badami Karawang, terdapat 11 adegan yang melibatkan dua mobil (Avanza silver dan Chevrolet Spin abu-abu) yang diduga milik rombongan pengawal Habib Rizieq Shihab yang menghadang mobil petugas (Avanza silver).
Di titik itu, salah satu kendaraan yang ditumpangi rombongan anggota FPI (Avanza silver) menabrak kendaraan petugas, dan langsung kabur atau melarikan diri. Lalu di jalan sebelum Bundaran Badami, di titik rekonstruksi yang sama, kendaraan lain (Chevrolet Spin abu-abu) rombongan FPI mengadang kendaraan petugas. Saat itu, empat orang pelaku turun dari mobil sambil membawa senjata tajam dan melakukan penyerangan ke arah petugas.
Petugas melakukan penembakan peringatan sambil berteriak “anggota polisi, jangan bergerak”.
Lalu para pelaku masuk ke dalam mobil. Tapi dua pelaku lainnya dari dalam mobil pelaku melakukan penembakan ke arah mobil petugas sebanyak 3 kali. Kemudian petugas pun melakukan penembakan balasan ke arah mobil pelaku. Setelah itu, pelaku masuk mobil dan kabur ke arah jalan Tol Jakarta-Cikampek.
Sementara FPI menyebut rekonstruksi itu hanya rekayasa dan fitnah. “Kami mengimbau untuk hentikan semua rekayasa dan fitnah kepada enam syuhada tersebut. Mereka hanya para pemuda lugu yang mengabdi kepada gurunya, menjaga keselamatan gurunya dan berkhidmat untuk agama,” kata Sekretaris Umum FPI Munarman, Senin (14/12).
Ia mengingatkan agar jangan sampai enam laskar FPI menjadi korban dari spiral kekerasan secara berulang-ulang. Mulai dari kekerasan fisik dengan terbunuhnya mereka, sampai kekerasan verbal berupa fitnah. “Jangan memposisikan mereka seolah pelaku dan berlanjut lagi dengan kekerasan struktural yaitu berupa berbagai upaya rekayasa terhadap kasus mereka,” kata dia.
Keenam laskar FPI, kata Munarman, tidak membawa senjata tajam apapun. Sehingga apa yang disebutkan saat rekonstruksi yang dilakukan polisi, merupakan pernyataan yang tidak benar. “Mereka tidak bawa senjata tajam apapun. Itu hoaks,” kata dia.
Polisi telah mengubah keterangan soal kematian enam pengawal Habib Rizieq ini. Pada konferensi pers perdana polisi menjelaskan proses tembak menembak antara polisi dan Laskar FPI. Kini, dalam rekonstruksi polisi menyebut dua dari enam laskar ditembak ketika proses kejar-kejaran. Dan empat lain berhasil ditangkap hidup-hidup dan dimasukkan ke mobil polisi untuk digelandang ke kantor polisi.
Namun, dalam perjalanan di kantor polisi, tepatnya di KM 51, keempat laskar disebut polisi melakukan perlawanan dalam mobil sehingga ditembak hingga tewas. Polisi berdalih, keempat laskar itu bisa melakukan perlawanan karena tak diborgol.
“Dalam perjalanan tidak jauh dari KM 50 sampai 51-51,2 terjadilah penyerangan atau merebut senjata anggota dari pelaku dalam mobil. Di situlah terjadi upaya penyidik yang ada dalam mobil untuk lakukan tindakan pembelaan. Sehingga, keempat pelaku tersebut semua mengalami tindakan tegas terukur anggota yang ada dalam mobil,” kata Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Pol Andi Rian S Djajadi, usai rekonstruksi, Senin (14/12).
Namun Kontras menemukan sejumlah kejanggalan dari hasil rekonstruksi penembakan yang menewaskan enam anggota Laskar FPI. Kejanggalan itu ditemukan Kontras dari beberapa pernyataan pihak kepolisian yang kontradiktif dengan hasil rekonstruksi yang digelar.
“Ada beberapa kejanggalan yang kami temukan di polisi, bahwa korban-korban ini meninggal di mobil, terus dia diduga melawan juga, ada sejumlah pernyataan pernyataan kontradiktif,” kata Wakil Koordinator Kontras Rivanlee Anandar, Senin (14/12).
Kejanggalan lainnya, polisi tidak mengundang pihak korban, dalam hal ini FPI, untuk mengawal kasus tersebut. Adanya temuan kejanggalan ini membuat Kontras semakin berharap kasus penembakan ini bisa diselesaikan oleh Komnas HAM.
Kontras berharap Komnas HAM mampu melihat kasus ini secara komprehensif. “Dari keterangan itulah kita merasa benar menolak rekontruksi tersebut dan mengharapkan kasus ini dibuka oleh Komnas HAM,” kata Rinvalee.
Kontras sendiri mengakui mendapatkan undangan dari pihak kepolisian untuk menyaksikan rekonstruksi penembakan Laskar FPI di KM50 Tol Cikampek. Namun, Kontras menolak undangan tersebut dengan alasan independensi. “Kontras sebagai lembaga juga diundang, namun terkesan terburu-buru. Kami khawatir proses rekonstruksi mengalami banyak kejanggalan-kejanggalan lain,” katanya.
Pihak Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengapresiasi upaya dan hasil rekonstruksi. Dia mengatakan, dalam konteks Komnas HAM, rekonstruksi itu sudah masuk dalam substansi perkara. Rekonstruksi itu dia sebut versi polisi. Sedangkan, Komnas HAM memiliki metode sendiri dalam proses pencarian fakta penembakan enam pemuda pengawal Habib Rizieq Syihab (HRS) itu.
“Kita masih dalam proses penelusuran, data, fakta, segala macam. Ya kita menghormatilah rekonstruksi yang dibuat oleh pihak Polri. Itu kan versi mereka. Tentu Komnas HAM dengan mandat yang ada sebagai lembaga negara independen menelusuri menurut data, informasi, yang kami kumpulkan sendiri. Nanti kami kroscek juga kepada pihak kepolisian, pihak lain, termasuk saksi-saksi lapangan yang sudah kami temui,” katanya.
Dia menolak mengungkap hasil sementara penelusuran Komnas HAM atas peristiwa berdarah itu. Sebab, investigator pencari fakta Komnas HAM masih terus bekerja mengumpulkan fakta dari lapangan dan menggali informasi dari berbagai pihak.
Dia mengatakan, pro kontra yang terjadi di masyarakat, sejatinya tidak boleh mengganggu kerja tim Komnas HAM untuk membongkar dan merangkai keseluruhan kasus tersebut. Karena itu, kata dia, mereka dan tim Komnas HAM tidak akan membicarakan substansi perkara yang sedang mereka dalami.
Komnas HAM, kata dia, baru akan membicarakan substansi masalah setelah seluruh bahan dan rangkaian peristiwa tersusun secara lengkap dan komprehensif. “Karena itu kami berharap sebaiknya sebelum ini dikumpulkan semua, dianalisis, dikroscek sana-sini, kita tidak akan bicara tentang substansinya. Tapi tahapan itu sudah kita lakukan. Kita sudah tiga hari tiga malam ada di lapangan. Mengkroscek semua bahan dan informasi-informasi,” ungkapnya.
Dia meyakini selama ini masyarakat menerima informasi yang simpang siur. Bahkan juga informasi itu tidak didukung bukti-bukti lapangan. Karena itu, akan tiba waktunya Komnas HAM membuka keseluruhan kasus tersebut setelah fakta, data, informasi dan analisis Komnas HAM rampung.
“Ya semuanya kan sebetulnya menjadi baru. Karena masyarakat kan masih melihat katanya katanya. Kalau nanti kemudian kita ungkap kan akhirnya jadi barun di masyarakat. Kenapa? Karena sampai hari ini masyarakat sebetulnya hanya mendengar opini. Lihat saja beredar di masyarakat kita beredar opini, orang bikin youtubenya sendiri, orang bikin analisisnya sendiri, tapi dia tidak pernah melihat fakta itu langsung,” ungkapnya.
** ass