Jakarta | Jurnal Inspirasi
Sejumlah pegiat pendidikan mengaku merasa dibohongi dengan lolosnya pasal mengenai perizinan pendidikan pada Omnibus Law RUU Cipta Kerja, yang mereka khawatirkan dapat membuat pendidikan makin mahal.
Mereka menyatakan pula siap menguji undang-undang itu ke Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya, DPR telah mencabut aturan klaster pendidikan dalam RUU itu, tapi pasal perizinan pendidikan tetap dimasukkan dan disahkan DPR, dengan dalih hanya akan berlaku di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
Saat ini, KEK ada di 11 lokasi dengan 4 lokasi lain masih dalam tahap pengembangan. Dalam UU Ciptaker yang disahkan Senin (05/10), disebutkan bahwa perizinan pada sektor pendidikan di KEK dapat dilakukan sesuai aturan Izin Berusaha yang dicantumkan dalam undang-undang yang sering disebut Omnibus Law itu.
Pengurus Perkumpulan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBT), Darmaningtyas, mengkhawatirkan aturan itu akan membuat pendidikan makin mahal dan tak terjangkau bagi mereka yang miskin. Padahal, merujuk pada Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, lembaga penyelenggara pendidikan harus bersifat nirlaba.
Lembaga pendidikan pun tidak mengajukan Izin Berusaha, karena bukan badan usaha yang mengejar keuntungan. “Yang sudah pasti sekarang ini ada keluhan-keluhan pendidikan dikomersialisasikan… Itu akan semakin kuat [dengan aturan dalam Omnibus Law] karena pendidikan itu izinnya sebagai badan usaha. “Kalau badan usaha itu untuk mencari keuntungan sehingga praktik pendidikan sebagai bisnis akan semakin khas,” ujarnya dikutip BBC, Kamis (8/10).
Ditambahkan Darmaningtyas, sebelum pendidikan diizinkan menjadi badan usaha saja, akses pendidikan, khususnya pendidikan tinggi masih terbatas, baru mencapai di bawah 40% bagi orang-orang yang berusia 18-23 tahun.
Fauzi Abdillah Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) melihat pasal itu sebagai “pasal yang menyelundup, yang membuka jalan dan memberikan payung untuk komersialisasi pendidikan.” Sebelumnya, DPR sudah mencabut klaster pendidikan dalam aturan itu karena penolakan dari sejumlah pegiat pendidikan.
Namun, anggota Badan Legislasi (Baleg) dari fraksi PKS, Ledia Hanifa Amaliah, yang partainya menolak pengesahan RUU itu, menjelaskan pasal soal perizinan pendidikan akhirnya tetap masuk dalam pengaturan soal Kawasan Ekonomi Khusus karena Indonesia sudah terikat dengan Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan atau GATT.
Oleh karena itulah Darmaningtyas menyebut kalangan pegiat pendidikan “merasa dibohongi” oleh DPR dan mereka menyatakan siap untuk mengajukan uji materi undang-undang ini ke Mahkamah Konstitusi.
Namun Wakil Ketua Baleg DPR, Achmad Baidowi, membantah DPR berbohong. “Itu hak untuk berkomentar yang dilindungi undang-undang. Namun, kami sama sekali tidak mau membohongi siapa pun karena ini komitmen, berdasarkan kesepakatan dengan pemerintah bahwa prinsip pendidikan itu nirlaba.
“Ada pun yang dapat menggunakan izin usaha itu hanya yang di KEK. Yang lain mengacu pada ketentuan existing[yang ada],” ujarnya.
Kawasan ekonomi khusus itu, kata Achmad Baidowi, tak bisa dilepaskan dari komersialisasi. “Kita tahu semua Kawasan Ekonomi Khusus itu bicara bisnis, bicara ekonomi, orang punya duit semua, orang kaya di situ. Komersialisasi pasti ada di situ.
“Makanya kita gunakan klausul itu hanya untuk di Kawasan Ekonomi Khusus yang mendapatkan izin dari pemerintah pusat. Jadi tidak bisa tiba-tiba badan usaha pembuat lembaga pendidikan di KEK tanpa izin pemerintah pusat itu, nggak boleh.”
Dalih hanya akan berlaku di Kawasan Ekonomi Khusus itu dikritik Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan, Doni Koesoema. Ia mengatakan yang tinggal di wilayah itu juga merupakan anak-anak Indonesia yang harusnya dinaungi dengan aturan yang sama secara nasional.
Ia mengkhawatirkan dengan aturan berbeda itu, sekolah asing dapat beroperasi dengan lebih mudah tanpa mengikuti standar nasional, hal yang bisa berdampak juga pada gaji guru di sana. “Sekolah-sekolah internasional yang datang ke sini harus dipastikan bagus, itu kalau dengan UU Ciptaker tidak bisa memastikan sekolah itu berkualitas atau tidak.
“Lalu kemudian ada potensi diskiminasi juga pada guru-guru. Nanti kalau ada guru indonesia kerja di situ, dengan diatur pakai UU Omnibus Law mereka bisa mendapat diskriminasi gaji dan lain-lain,” ujarnya. Doni menambahkan hal itu juga bisa menimbulkan persaingan yang merugikan bagi sekolah swasta nasional dan sekolah negeri di wilayah setempat.
** ass