Jakarta | Jurnal Inspirasi
Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) telah berupaya mendesak dikeluarkannya pasal mengenai pers dari Omnibus Law. Salah satu yang paling disorot oleh awak pers yakni pasal 18, khususnya ayat (3) dan (4) lantaran dianggap membuka ruang intervensi pemerintah terhadap kebebasan dan kemandirian pers.
Hingga pada Juli lalu, pemerintah dan DPR akhirnya menghapus pasal tersebut.Meski begitu, penolakan terhadap RUU ini terus bergulir. Namun, pemerintah dan DPR juga tak hilang akal dan niat. Mereka terus melakukan pembahasan terhadap sejumlah klaster di Badan Legislasi (Baleg) DPR, bahkan pembahasan mereka lakukan saat akhir pekan.
Pada Agustus lalu, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengeluarkan rekomendasi agar pembahasan Omnibus Law tidak dilanjutkan. Taufan menganggap pembahasan RUU ini tergesa-gesa dan sangat kecil ruang partisipasi bagi masyarakat.
“Dalam rangka penghormatan, perlindungan, pemenuhan HAM bagi seluruh rakyat Indonesia. Juga untuk mencegah terjadinya komplikasi sistem politik, sistem hukum, tata laksana, dan lain-lain,” kata Taufan dikutip dari CNN, Selasa (6/10).
Meski gelombang penolakan baik dari buruh, tokoh agama, hingga aktivis semakin kencang, pemerintah dan DPR justru makin gencar membahas dan menyelesaikan RUU itu agar bisa kelar sebelum reses DPR yang dijadwalkan pada Oktober ini.
Paling menarik, pertengahan Agustus lalu, secara terbuka pemerintah mengkampanyekan RUU ini melalui sejumlah pesohor tanah air. Mereka mengkamapanyekan RUU ini melalui media sosial yang telah diikuti puluhan juta masyarakat.
Mereka mengkampanyekan Omnibus Law dengan tagar #IndonesiaButuhKerja. Para pesohor ini disebut-sebut menerima bayaran mulai dari Rp5 juta hingga Rp10 juta perunggahan.
Gelombang penolakan masih terus bergulir sampai hari ini. Alih-alih mendengar, pemerintah dan DPR justru tancap gas agar RUU Ciptaker bisa selesai tahun ini seperti yang diiginkan Jokowi.
Baleg DPR bahkan sampai semangat membahas RUU tersebut pada akhir pekan. Hingga akhirnya pada Sabtu (3/10), DPR dan Pemerintah melakukan pembicaraan tingkat satu dan menyetujui agar RUU ini dibawa ke Rapat Paripurna untuk pengambilan keputusan dan mendapatkan pengesahan.
Buruh dan masyarakat serta mahasiswa memutuskan turun ke jalan untuk memperjuangkan agar RUU Ciptaker tersebut tak jadi disahkan. Bahkan kaum pekerja merencanakan mogok nasional selama tiga hari, 6 sampai 8 Oktober untuk menolak RUU tersebut disahkan.
Dalam jadwal semula, Rapat Paripurna akan digelar pada Kamis 8 Oktober. Sementara reses anggota dewan dimulai pada 9 Oktober.
Lagi-lagi DPR mempercepat pengambilan keputusan RUU Ciptaker dengan alasan wabah Covid-19 di DPR semakin tinggi. Penutupan masa sidang dan rapat pengambilan keputusan RUU tersebut akhirnya dilakukan Senin (5/10) secara tiba-tiba. Sedangkan reses para wakil rakyat menjadi 6 Oktober.
Percepatan pengambilan keputusan ini diduga kuat karena buruh dan masyarakat luas berencana melakukan aksi serentak mulai 6 sampai 8 Oktober. Meskipun RUU Ciptaker telah disahkan menjadi UU, buruh dan masyarakat lainnya tetap turun ke jalan menolak RUU tersebut.
** ass